Trending Topic
Menakar Tingkat Toleransi di Indonesia

23 Aug 2016


Foto: fotosearch

Menurut data yang dimiliki Komnas HAM sejak tahun 2014,  tiap tahunnya pengaduan terkait dugaan pelanggaran hak kebebasan berkeyakinan selalu meningkat. Pada tahun 2014 tercatat 74 pengaduan dan  tahun 2015 mencapai 89 pengaduan. Sedangkan pada  periode Januari-Mei 2016, terdapat 34 pengaduan. Belum lagi, percikan isu SARA di media sosial, mudah sekali menyebar.

Pengertian toleransi yang dijabarkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merupakan sikap berpikiran terbuka dan menghargai perbedaan. Konsep toleransi ini seharusnya diaplikasikan tak hanya pada persoalan SARA semata, tapi juga terhadap perbedaan gender dan orang-orang dengan keterbatasan fisik dan intelektual.
           
Toleransi adalah mau menerima orang lain apa adanya dan juga berarti memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Sikap intoleransi atau diskriminatif sebetulnya menjadi PR tiap negara. Di Amerika Serikat misalnya, perlakuan diskriminatif masih sering dihadapi orang kulit hitam dan keturunan Yahudi.

Di Indonesia, kebencian terhadap etnis Tionghoa seperti sudah mengakar, yang dipicu sejak era Orde Baru. Pada masa itu, warga keturunan Tionghoa diwajibkan mengganti nama Cina mereka dengan nama Indonesia oleh pemerintah. Mereka dipaksa menghapus identitas heritage-nya dan mendapat predikat ‘konglomerat hitam’ alias pengusaha yang melakukan usaha dengan banyak kecurangan dan merugikan pribumi.    

Baca: Mengapa Masyarakat Kita Mudah Mengalami Konflik Sara?
            
Sikap intoleran juga makin permisif setelah reformasi. “Jika dulu gerakan-gerakan radikal-intoleran dibungkam oleh pemerintah, kini, ketika keran kebebasan bersuara dan berkelompok dibuka lebar, kelompok intoleran  makin menjamur. Kita ini seperti orang ‘kaget’ memiliki kebebasan bersuara. Sayangnya, kebebasan ini jadi aksi yang destruktif, seperti menghancurkan rumah ibadah, membunuh, melakukan kekerasan fisik maupun teror,” papar M. Abdullah Darraz, Direktur Program MAARIF Institute, LSM yang memperjuangkan pluralisme. 

Adanya khotbah-khotbah panas yang didengungkan oknum pemuka agama militan yang isinya menciptakan rasa antipati terhadap kelompok agama lainnya juga turut memperkeruh radikalisme di tanah air. “Tak dipungkiri, praktik seperti ini memang ada di beberapa masjid. Sebetulnya itu tidak mencerminkan Islam Indonesia yang cinta damai. Kebanyakan, suara-suara keras ini diadopsi oleh pemuka agama yang berkiblat pada Islam Timur Tengah,” sesal Darraz. 
Itu sebabnya, MAARIF Institute tiap tahunnya menggelar simposium atau halaqah nasional untuk membekali para ulama Muhammadiyah dalam menyosialisasikan indahnya pluralisme dan sikap toleransi bagi kedamaian bangsa kepada masyarakat.

Lebih jauh, riset MAARIF Institute di empat kota (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, Surakarta) mengungkap bahwa ada kelompok-kelompok radikal yang menyusup ke dalam sekolah-sekolah negeri. “Biasanya mereka adalah alumni sekolah tersebut yang telah teradikalisasi. Lewat jalur orientasi pembekalan siswa baru, yang dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan di luar sekolah dan di luar jam sekolah, banyak siswa dicuci otaknya untuk melakukan gerakan radikalisme. Sekolah biasanya tidak mengetahui hal ini.

Meski demikian, aksi radikalisme yang terjadi, menurut Darraz, hanya dilakukan oleh segelintir orang atau kelompok saja. “Bangsa Indonesia masih sangat toleran, kok, dibandingkan dengan yang terjadi di Timur Tengah. Nasionalisme yang tinggi dan budaya kekeluargaan kita yang kuat yang menjadi penyelamat. Di Timur Tengah lebih mengerikan kondisinya,” ujar Darraz, menenangkan.

Bukti masih tingginya kerinduan bangsa ini pada kedamaian tercermin dari kehidupan di Kampung Sawah di Jatiwangi, Bekasi, yang akhirnya dijuluki sebagai Kampung Pancasila. Warga di kampung ini  berasal dari beragam suku, ras, dan agama, tapi tetap saling menjaga toleransi sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Rumah-rumah ibadah dari tiap agama terlihat dibangun di sana.

Muhammadiyah juga telah membangun ribuan sekolah (TK-SMA) dan 150 universitas yang mengedepankan pluralisme. “Di Nusa Tenggara Timur, ada sekolah Muhammadiyah yang 90% siswanya beragama Nasrani. Di luar Pulau Jawa itu masyarakatnya justru malah lebih toleran, karena mereka lebih mengedepankan adat,” kata Darraz.

Sayangnya, toleransi orang Indonesia dinilai Darraz masih pasif. “Toleransi yang pasif itu di dalam hati mau mengakui dan menerima perbedaan, tapi ketika ada nonmuslim yang diserang, kita hanya diam saja tak membela orang yang disakiti tersebut. Padahal, pembiaran terhadap intoleransi berarti menjadi bagian dari intoleransi sendiri,” terang Darraz. Jadi, agar tercipta harmoni sudah seharusnya kita saling menjaga untuk menghentikan tindak kekerasan dan diskriminatif terhadap seseorang atau kelompok tanpa memandang agamanya. (f) 

Baca juga: 
Kita Memang Berbeda
 


Topic

#intoleransi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?