Trending Topic
Alissa Wahid : Menguatkan “Kita” di Tengah “Aku”

19 Sep 2018


Foto: Dok. Femina
 
Ada yang menarik dalam perayaan ulang tahun femina ke-46, hari ini, Rabu (19/9/2018) yaitu kehadiran Alissa Wahid sebagai pembicara dalam acara power breakfast yang berlangsung di ruang Tapi & Limar, gedung femina, di Kuningan, Jakarta Selatan. Alissa berbicara tentang satu topik hangat yang saat ini perlu menjadi perhatian kita bersama sebagai satu kelompok masyarakat Indonesia, yaitu tentang toleransi dan intoleransi di masyarakat.
 
Membuka talkshow yang berlangsung selama 1,5 jam, Alissa bercerita tentang kunjungannya ke Femina tahun 2011 - 2012 untuk sharing tentang value dan tren di masyarakat yang berubah. Salah satunya, saat itu ia melihat di lapangan masyarakat Indonesia mengalami transformasi atau perubahan, yang sayangnya mengarah ke nilai-nilai yang lebih intoleran.
 
Apa yang menjadi perhatiannya beberapa tahun lalu itu, belakangan menjadi sebuah tantangan. Ada banyak kasus intoleransi atas nama agama yang terjadi di masyarakat. “Saya masih optimis hingga saat ini. Karena apa yang terjadi setahun belakangan ini seperti wake up call untuk orang Indonesia, ketika kita memilih untuk berdiam diri yang terjadi justru nilai-nilai intoleransi ini semakin kuat,” ungkap putri pertama dari pasangan Mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid dan Sinta Nuriyah.
 
Penelitian tentang intoleransi beragama yang dilakukan CSIS di 22 kota besar di seluruh Indonesia bisa menjadi gambaran besarnya. Atas pertanyaan: Percayakah Anda dengan orang yang berbeda agama? Sekitar 25% responden menjawab ‘tidak percaya’. Sedangkan 60% lainnya menjawab ‘harus waspada’. Hanya 15% responden yang tidak menggunakan agama sebagai pengukur dalam mempercayai seseorang. Hasil ini bisa menjadi pengingat kita bahwa ada perubahan nilai di masyarakat yang terjadi dalam hal intoleransi agama. “Ini jauh lebih berbahaya karena mengubah struktur dan nilai kemasyarakatan,” katanya.
 
Lebih lanjut Alissa menjelaskan tentang enam hal yang mendorong penguatan faham intoleransi di masyarakat belakangan ini. Pertama, meningkatnya jumlah insiden kekerasan dan intoleransi sejak 10 tahun belakangan. Kedua, meningkatnya jumlah legislasi yang rentan diskriminasi. Ada 430 Perda (Peraturan Daerah) yang berpotensi mendiskriminasi wanita dan anak-anak. Ketiga, menguatnya pratek intoleransi dari masyarakat karena munculnya sikap ekstrim dalam beragama. Hal ini didorong juga oleh meningkatnya sikap eksklusifitas. Keempat, walaupun Indonesia memiliki prosedur demokrasi lengkap, namun dalam pelaksaan prinsip demokrasi masih lemah. Prinsip demokrasi ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’ dalam hal ini hak individu belum terpenuhi. Kelima, meningkatnya kelompok pendukung kekerasan. Dan keenam, yang terakhir dan paling kencang terasa adalah meningkatkan konstelasi intoleransi adalah praktek politik yang berbasis kekuatan dan kapital.
 
Sayangnya, kita sebagai masyarakat, kerap merasa tidak dekat dengan masalah intoleransi ini. Karena adanya anggapan bahwa kekerasan agama hanya terorisme, padahal ada hal lain yang juga perlu disikapi yaitu intoleransi beragama. Dan pemahaman tentang intoleransi beragama ini tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan, ekonomi, dan masyarakat urban atau pedesaan.
 
“Kabar gembiranya, penelitian yang dilakukan Gusdurian beberapa waktu lalu menemukan fakta bahwa anak muda masih percaya pancasila, NKRI, dan demokrasi. Nilai-nilai keyakinan atas ke Indonesiaan masih tinggi. Ini artinya, semakin tinggi tingkat kepercayaan responden terhadap nilai demokrasi maka semakin sulit diajak untuk bersikap intolerant,” ungkap wanita lulusan Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.
 
Fakta ini menjadi sebuah angin segar bahwa kita masih bisa membentuk penerus bangsa yang memiliki sikap toleransi. Di sinilah peran orang tua menjadi penting untuk membentuk jati diri anak. “Banyak orang tua yang kebingungan sendiri, merasa tidak mampu untuk membentuk jati diri anak-anaknya. Kalau orang tua tidak mengisi dignity anak mereka, maka ini akan diisi oleh siapapun yang ada di sekitar anak. Orang tua perlu menguatkan nilai-nilai kepada anak, termasuk nilai-nilai toleransi. Semakin kita mengingatkan anak-anak pada nilai-nilai yang baik maka semakin menguatkan anak-anak,” katanya.
 
Alissa pun mengajak agar kita sebagai masyarakat Indonesia tidak hanya berdiri di pinggir, tapi ikut ke tengah dalam hal menyuarakan toleransi. "Play your role. Wujudkan masyarakat Indonesia yang kita inginkan. Ayo bergerak kembalikan Indonesia sebagai mainstream toleran. Ada tempat menjadi ‘AKU’, tapi yang paling penting ada ruang untuk menjadi ‘KITA’,” katanya, tegas. (f)

Baca Juga: 

Fakta Baru Tentang Terorisme Ini Membuat Orang Tua Harus Makin Waspada
Lakhsmi Puri Agen Perubahan di UN Women
Apakah Generasi Z Lebih Toleran Terhadap Perbedaan?




 

Faunda Liswijayanti


Topic

#femina46, #toleransi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?