Health & Diet
3 Alasan Seseorang Senang Memprovokasi

11 Apr 2017


Foto: Fotosearch

Pernah nggak marah dengan teman kita hanya karena gosip murahan? Misalnya menurut gosip yang beredar, nih, sahabat sering jalan bareng pacar kita. Awalnya kita cuek aja, tapi bukannya nggak mungkin kita jadi marah besar akibat dipanas-panasi oleh seseorang. Kata si sumber tadi, sahabat diam-diam berniat merebut pacar kita soalnya dia dulu sempat naksir juga, sih. Begitu kita melabrak sahabat, eh... dia pun ikut marah karena nggak merasa berbuat salah.

Belakangan baru ketahuan kalau ada pihak tertentu yang sengaja ingin menyulut emosi kita. Sayangnya hubungan kita dan sahabat telanjur renggang—nyesel banget! Sst... hal ini nggak bakal terjadi, tuh, kalau kita mengenali ciri-ciri provokator.
 
Dari kecil hingga besar
Provokator memang pintar mengubah kesalahan kecil jadi bencana besar. Lihat aja unjuk rasa yang berakhir rusuh atau konflik berbau SARA di daerah biasanya ulah para provokator. Menurut Ceti Prameshwari, Psi., provokator selalu punya keinginan memengaruhi emosi orang lain.

“Tujuan provokasi yaitu untuk kepentingan kelompok tertentu dengan cara memaksa. Berbeda dengan persuasi yang bertujuan mencari win win solution—agar kedua pihak sama-sama untung,” ujar Ceti.

Ceti melanjutkan bahwa provokasi awalnya hanya bertujuan sekadar 'menyemangati' orang. Namun kenyataannya—terutama di era modern seperti sekarang—provokasi justru digunakan untuk menjatuhkan orang lain dengan berbagai cara. Mulai dari menyebar gosip hingga menciptakan suasana nggak aman.

“Provokator cenderung nggak mikirin efeknya, yang penting dia mendapatkan keinginannya. Dia nggak akan tertarik cara positif seperti negosiasi atau diskusi,” tambah Ceti.

Contoh gampangnya, nih, demi naik jabatan kita tega memfitnah rekan kerja mengambil uang perusahaan dan 'mengadukannya' kepada atasan. Jika atasan terpengaruh, pastinya kita bebas saingan, kan?
 
Sekarang kita mulai kepikiran, kok, ada orang yang berbakat menghasut orang lain? Padahal seorang provokator, tuh, nggak lahir dengan sendirinya. Lingkungan dan kepribadian seseorang ternyata juga ikut menentukan. Jika norma sosial nggak tertanam kuat dan kita pernah hidup di lingkungan penuh konflik, maka kemungkinan untuk menjadi provokator bakal terbentuk dengan mudah.

“Pola asuh dan adat istiadat memengaruhi value yang kita anut. Orang yang menganut paham kekuasaan dapat mengalahkan segalanya cenderung berbakat jadi provokator. Yang pasti provokator biasanya bukan orang yang pendiam, justru kemampuan verbalnya besar dan ambisius,” ujar Ceti.

Sifat provokator pun bisa menular lewat pergaulan. Misalnya, nih, kita yang hobi bergabung dengan organisasi massa—terutama yang bergerak di masalah sosial dan politik—pasti lebih mudah mempersuasi orang lain. Soalnya kita terbiasa dengan paham kelompok dan biasanya ingin selalu berbagi pendapat kepada orang lain.

“Provokator mampu memengaruhi orang lain karena sering berinteraksi dengan orang lain. Mereka pun pintar mencari informasi dan sangat tertarik dengan debat atau diskusi publik. Mereka nggak bisa diam melihat situasi tertentu sehingga selalu bergabung dalam kelompok,” kata Ceti.
 
Doyan memprovokasi juga muncul akibat iri dan dendam berlebihan karena nggak ingin melihat orang lain lebih berhasil dari kita. Sayangnya rasa ini nggak memacu kita untuk jadi lebih baik, tapi justru berusaha untuk menjatuhkan lawan. Berhubung nggak pede menghadapinya sendirian, kita langsung cari dukungan orang lain.

“Provokator sebenarnya nggak pede dengan kemampuannya sendiri. Nggak berani mengambil risiko, makanya menggunakan orang lain sebagai tameng. Kalau sportif, nggak perlu menghasut orang lain, yakin aja dengan diri sendiri,” kata Ceti.

Selain itu, seorang provokator juga gampang terpancing emosinya. Tapi saking pengecutnya, dia lebih memilih menyalurkannya lewat orang lain.

“Mereka nggak bisa menerima keadaan yang nggak sesuai dengan kemauannya. Setiap ada masalah emosinya tersulut, sayangnya tindakannya malah membuat situasi jadi lebih buruk karena ikut melibatkan orang lain,” kata Ceti.

Provokator bisa ada di mana saja, termasuk di lingkungan sekitar kita. Tapi nggak berarti kita nggak bisa menghindari 'kata-kata manisnya'. Provokator nggak bakal berani menghasut kita yang berwawasan luas dan punya pendirian.

“Agar nggak mudah dihasut, kita harus berpikir logis sehingga kita bisa objektif menanggapi gosipnya. Misalnya kita nggak langsung ngomel saat teman mengatakan si dia selingkuh, tapi buktikan dulu kebenarannya. Pintar-pintar memilah informasi yang didapat, apalagi berita negatif,” kata Ceti.

Keberanian kita untuk mengungkapkan pendapat juga nggak kalah penting. Jangan keseringan memendamnya karena bikin kita berasumsi sendiri. Akibatnya, begitu ada yang mencoba memengaruhi, kita ikut terhasut, deh. Jika masalah yang kita pendam berhubungan dengan orang lain bakal jadi dendam kesumat, tuh!

“Tambah rasa pede dengan mengeksplorasi kelebihan kita. Lewat kelebihan ini kita bisa menunjukkan eksistensi diri dan nggak malu untuk bertukar pikiran dengan orang lain—termasuk berdiskusi dengan orang yang bermasalah dengan kita. Perbanyak pergaulan untuk lebih mengenal bermacam karakter orang sehingga nggak mudah terjebak provokasi,” kata Ceti.
 
Kalau kita yang hobi ngomporin orang? Mending coba, deh, mengevaluasi diri sendiri. Memangnya kita mendapat keuntungan tertentu dengan membuat orang lain bertengkar? Justru bikin kita nggak nyaman sendiri, kok, karena bawaannya takut ketahuan terus.

“Lebih peka lagi dengan suara hati nurani kita karena dia bisa protes kalau kita berbuat buruk. Minta pula pendapat orang lain untuk introspeksi diri,” saran Ceti.

Ceti juga menambahkan kalau kelebihan kita memprovokasi orang lain dapat disalurkan untuk hal positif. Contohnya yang dilakukan motivator ulung, konsultan karier, dan psikiater lewat kata-kata mereka yang justru menginspirasi banyak orang.

“Provokasi positif seperti Mario Teguh jelas lebih menguntungkan karena efeknya lebih lama. Provokasi negatif hanya menimbulkan kemarahan dan penyesalan. Dijamin orang lain bakal lebih berterima kasih jika kata-kata kita menginspirasinya,” kata Ceti. (f)

Baca juga:
Rekan Kerja Suka Adu Domba
Cara Menghadapi 3 Tipe Rekan Kerja yang 'Sulit'
Fitnah Dibalas Prestasi


 


Topic

#psikologi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?