True Story
Sumarsih 20 Tahun Menagih Keadilan Lewat Aksi Kamisan

18 Oct 2018


MENANTI KEADILAN DI BAWAH PAYUNG HITAM

“Setelah lewat masa berduka, akhirnya saya berpikir saya harus turun ke jalan. Yang bisa saya lakukan untuk Wawan adalah meneruskan perjuangannya.” Sejak tahun 1999, Sumarsih pun bergabung dengan TRK. Di sanalah ia mengenal korban-korban pelanggaran HAM lain. Hingga kemudian ia mendirikan paguyuban keluarga korban 1998 yang sayangnya hanya bertahan hingga tahun 2002.

Ketika terbit UU No. 26 Tahun 2000 yang mengatur pelanggaran HAM, semangat mencari keadilan Sumarsih makin membara. Terlebih ketika pada tahun 2004, ia dianugerahi penghargaan di bidang hak asasi manusia Yap Thiam Hien Award. Tak lama, Romo Sandyawan menginisiasi dibentuknya Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) yang dipimpin Sumarsih bersama Suciwati (istri aktivis HAM Munir Said Thalib) sejak 9 Agustus 2005.

“Sayang, meski undang-undang sudah dibentuk, itu hanya normatif. Berkas penyelidikan Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti di Kejaksaan Agung selama 16 tahun (2002-2018) menggantung. Indonesia negara hukum, tapi masih melindungi penjahat HAM. Itu sebabnya, kami pikir harus berjuang bersama,” tuturnya.

Kemudian, JSKK bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan Indonesia dan KontraS, menggagas Aksi Diam untuk bertahan dalam perjuangan membongkar fakta kebenaran, mencari keadilan, melawan lupa dan impunitas. Aksi ini untuk pertama kalinya digelar pada 18 Januari 2007.

Tanpa kenal lelah, berdiri di bawah panas matahari dan terjangan hujan, tiap Kamis, pukul 4-5 sore, mereka berdiri di depan Istana Presiden bersama para simpatisan dalam balutan busana dan payung hitam. “Hitam ini bukan merepresentasikan dukacita, tapi keteguhan dalam cinta. Cinta kepada Wawan dan korban-korban lainnya,” kata Sumarsih, sambil tersenyum.

Menggelar spanduk dan foto para korban dimaksudkan untuk selalu menjadi pengingat pada pil pahit ketidakadilan hukum yang harus keluarga korban telan selama ini. Mereka juga membuat surat yang ditujukan kepada Presiden.

Mereka tidak ingin tinggal diam. Sebut saja Kerusuhan Mei ’98, Tragedi Trisakti, dan Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II, serta kasus-kasus penghilangan paksa sejumlah korban, kasus Talang Sari-Lampung, kasus Tanjung Priok, termasuk tragedi lawas 1965, merobek-robek HAM yang patut diperjuangkan.

Sebelas tahun tentunya bukan waktu yang singkat untuk menunggu. Meski fisiknya kini tampak telah digerogoti waktu, hal itu tidak pernah melemahkan semangat Sumarsih dan keluarga korban pelanggaran HAM lainnya untuk menuntut keadilan.

Hingga 24 Mei 2018, aksi Kamisan sudah digelar 539 kali. “Aksi Kamisan kini sudah menyebar ke 25 kota. Di antaranya Kota Banten, Karawang, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Sragen, Malang, Surabaya, hingga ke Kota Medan dan Bukittinggi di Sumatra, juga Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur,” terang Sumarsih, terharu.

Sejak pertama kali awal digelar di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kepemimpinan beralih ke tangan Jokowi, tidak pernah ada indikasi kasus pelanggaran HAM akan benar-benar diproses.
“Berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM di Kejagung bahkan dikatakan hilang, kesulitan mencari barang bukti, saksi, dan tersangka akibat peristiwanya sudah lama sehingga tidak bisa diproses adalah alasan yang mengada-ada,” keluh Sumarsih, kecewa.

Diakui Sumarsih, gamang sempat merayapi hatinya. “Mencari keadilan itu ternyata sulit sekali,” ucapnya, dengan mata nanar.

Kecewa dengan sikap pemerintah, membuat Sumarsih selama ini enggan ikut menyumbangkan suaranya tiap kali pemilu digelar. Namun, baru pada pemilu 2014, Sumarsih semangat untuk menyumbangkan suaranya demi terpilihnya Jokowi yang menggaung-gaungkan janji akan menyelesaikan kasus HAM di Indonesia.

Begitu besar harapannya, hingga membuat Sumarsih sempat terpikir untuk menghentikan Aksi Kamisan di era pemerintahan Jokowi. Namun, mendengar niat ini, teman-teman Wawan mendatanginya di rumah dan meminta Sumarsih tidak menghentikan perjuangannya karena janji Jokowi ini belum terwujud.
 


Topic

#aksikamisan, #TrueStory, #TragediSemanggi, #kasusHAM

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?