True Story
Sikdam Hasim Memiliki Mata Baru

10 May 2016


Penglihatannya hilang dalam sebuah kecelakaan, tepat ketika Sikdam Hasim (26) menyusun rencana masa depan. Dunianya tiba-tiba menjadi gelap, dan ia harus bertarung dengan kekecewaannya. Sempat mogok kuliah, ia kemudian menemukan cara pandang baru yang membuat dunianya lebih terang. Pengajar bahasa Inggris dan pejuang hak penyandang disabilitas ini bahkan baru saja mendapat penghargaan International Award for Young People dari Kerajaan Inggris. 
 
TERPURUK DALAM KEGELAPAN
Bagaikan cincin yang longgar di jari dan terlepas saat dikibaskan, begitu pula saraf-saraf yang mengikat kedua bola mata Sikdam saat benturan dahsyat melontarkannya dari tempat duduk mobil yang ditumpanginya. Setelah 20 tahun memandang kehidupan lewat kedua bola matanya, kecelakaan di tahun 2010 itu mengganti terangnya dengan kegelapan total.
           
Saat itu, ia baru saja menyerahkan lamaran pekerjaan di sebuah perusahaan, saat seorang teman yang membawa mobil menawarinya tumpangan pulang. Saking asyiknya mengobrol, ia terlupa memasang sabuk pengaman di tempat duduknya. Tahu-tahu mobil direm mendadak.
 
“Hal terakhir yang saya lihat waktu itu adalah polisi tidur yang lumayan tinggi. Refleks, saya berdiri untuk menahan agar tubuh saya tidak terlempar keluar lewat kaca depan mobil,” cerita Sikdam memutar kembali kejadian itu.
 
Sial, kepalanya justru membentur langit-langit                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         mobil dengan cukup keras. Seketika itu juga, penglihatannya langsung hilang. “Saya panik dan shock! Persendian saya lemas, seakan tidak mampu berjalan, tak berdaya,” katanya, ngeri. 
 
Sikdam merasa seperti ditelan perut bumi yang gelap pekat tanpa cahaya. Ia memberontak seperti orang yang tidak waras karena rasa takut dan cemas. “Saat itu, saya lebih memilih mati, daripada hidup tanpa penglihatan,” ungkapnya, getir. Itulah masa-masa yang paling mengerikan dalam hidupnya.
 
Vonis Dokter cukup telak. Matanya tidak akan kembali melihat. Sebuah kelainan bawaan dari lahir, membuat kedua bola matanya sensitif terhadap benturan. Dunia medis mengenalnya dengan istilah Retinopathy of Prematurity (ROP). Kondisi gangguan perkembangan selaput saraf yang melapisi dinding dalam bola mata yang umumnya diderita oleh bayi yang lahir prematur, seperti dirinya.
 
“Benturan itu tidak hanya mengambil penglihatan saya, tapi ikut berimbas pada hilangnya sebagian memori saya. Daya ingat saya sedikit berkurang,” ungkap pria Aceh kelahiran Tapanuli Selatan itu. Sempat ia menjalani sekali operasi di Rumah Sakit Mata Aini, Jakarta. Setelahnya, keluarga saya berusaha membawa di sekitar lima rumah sakit lain, tapi berakhir dengan penolakan.
 
“Dokter mengatakan percuma menjalani operasi dan membayar biaya sekitar Rp50 juta. Toh, juga tidak akan bisa kembali lagi seperti semula,” ujarnya, mengulang pendapat para medis waktu itu. Namun, selama enam bulan lamanya ia terus mengupayakan pengobatan. Selama itu pula, ia merasa hidupnya kembali ke titik nol. Terlebih, ketika ia harus tinggal seorang diri di rumah, ketika adik-adiknya pergi  bekerja. Sementara ibunya, Nursiah (60) kerap pulang ke Gayo, Aceh Tengah, untuk mengurus rumah dan kebun mereka di kampung.    
 
Tekanan emosional yang menumpuk mulai mengganggu keseimbangan psikisnya, dan membuat berat badannya menurun dratis, dari 84 kg menjadi 54 kg. kemarahan dan kondisi mengasihani diri sendiri membuat ia mogok beraktivitas. Ia merasa bahwa mata adalah jendela kehidupan. “Setiap bangun tidur yang saya pikirkan adalah bagaimana agar saya bisa melihat kembali, bukan bagaimana saya kembali bangkit walau tanpa penglihatan,” katanya. 
 
Kondisinya ini ikut berimbas pada keluarganya. Persepsi negatif mulai berdatangan dari orang-orang di sekeliling mereka, dan mampir ke telinga ibunya. Membuat wanita yang melahirkannya itu berduka. “Mereka mungkin menganggap bahwa kondisi saya ini adalah sebuah kutukan. Secara naluriah, saya seolah merasakan hal itu,” katanya.
 
Sikdam makin terpuruk. Saat itu, bunuh diri menjadi pilihan paling masuk akal baginya. Menenggak racun antinyamuk tentu akan membebaskannya dari segala tekanan hidup. “Semangat hidup saya hilang seiring dengan hilangnya penglihatan saya. Saya ingin mati cepat, tapi tidak terlalu menyakitkan,” ungkapnya. 

 
“MATA BARU”
Di tengah-tengah guncangan emosional tinggi, ibunya mulai melakukan pendekatan. Dari ibunya, Sikdam mengetahui bahwa sungguh banyak orang-orang di luar sana yang hidupnya jauh lebih kurang beruntung darinya. Ada yang hidup tanpa lengan dan kaki, dan juga tanpa organ tubuh lain. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang dibuang oleh keluarganya!     
 
Ucapan ibunya ini berhasil membuatnya merenung. Niat bunuh diri yang ia rencanakan selama berbulan-bulan pun diurungkan. Setiap kali ingin bunuh diri, wajah ibunya selalu terbayang. Ibu, yang telah mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan, mendidik, dan selalu mendampinginya, sampai masa-masa tersulit dalam hidupnya.
 
“Jiwa dan batin ibu mungkin akan jauh lebih terguncang dari saya bila saya mati secara tragis karena bunuh diri. Saya tidak mau ibu dan saudara-saudara saya menanggung malu untuk kedua kalinya,” kata anak ke-9 dari 13 bersaudara ini. 
 
Atas dukungan sang ibu, ia mulai belajar menerima keadaan. Sang ibu membawanya berkunjung ke beberapa yayasan, memperkenalkannya dengan para penyandang disabilitas. “Pertemuan dengan para penyandang disabilitas menumbuhkan kembali semangat hidup saya,” tuturnya. 
 
Butuh waktu satu tahun, sebelum Sikdam mau kembali membuka diri dan melakukan akitivitas kembali. Ia mulai mencari kesibukan dan rajin mendengarkan radio untuk menambah wawasan dan menghibur diri. Kepada ibunya, Sikdam mulai membagikan ide peluang untuk kembali berkarya.
 
“Tuhan tidak akan mengubah nasib kita, bila kita tidak mau mengubah nasib sendiri,” pesan ibunya waktu itu.
 
Agar Sikdam bangkit semangatnya, ibunya menyebutkan kelebihan-kelebihannya yang menonjol. Salah satunya, keterampilannya dalam berbahasa Inggris. Mendengar ini, secercah semangat mulai menerangi kepalanya!
 
Di tahun 2012, dengan dorongan penuh keluarga, ia mulai membuka kursus bahasa Inggris khusus anak-anak SD secara gratis di rumah. “Saya mengajar 5 anak saat itu. Saya memilih anak SD untuk dijadikan sebagai tolok ukur, apakah saya mampu mengajar atau tidak,” katanya.
 
Sikdam berdoa dan memohon kepada Tuhan, bila diberi kesempatan hidup tanpa penglihatan, maka ia ingin menjadi manusia yang berguna, jauh lebih baik dari sebelumnya.    Dengan terobosan sendiri, ia mengajar dengan cara yang berbeda dari guru-guru lain, yaitu dengan lebih mengutamakan audio.
 
Sikdam meminta setiap anak didiknya untuk membaca dan menulis soal dan jawaban yang diambil dari LKS (lembaran kerja siswa). Sikdam akan mengoreksi dan membetulkan ejaan dengan mendengarkan. Begitulah caranya mengajar. 
 
Setahun mengajar privat, ia mendapat hasil yang luar biasa. Anak-anak didiknya mendapat nilai bahasa Inggris, rata-rata 8. Percaya dirinya pun semakin tinggi. Ia mulai berpikir untuk bisa mendapatkan uang dengan mengajar. Ia mulai menyebar brosur jasa kursus privat bahasa Inggris di lingkungan tinggalnya, di Depok, Jawa Barat.
 
Di brosur itu ia tidak mencantumkan bahwa ia tunanetra. Ia baru membuka kondisinya saat diminta datang. “Saya bilang kepada orang tua anak, saya tidak akan merepotkan. Saya yakinkan mereka bahwa saya mampu mengajar, dan siap mewujudkan target yang mereka minta,” katanya, mencoba meyakinkan. 
 
Sikdam tak segan memasang tarif untuk jasa profesionalnya ini. Satu kali pertemuan dipatoknya dengan harga Rp200.000 untuk 120 menit. “Saya berani memasang harga mahal, karena saya tahu kualitas saya. Saya sangat tegas, murid harus mengikuti aturan yang telah saya buat,” ungkap Sikdam yang telah memiliki dua unit rumah di daerah Bojonggede, Bogor, Jawa Barat.
 
Tuhan memang selalu punya rencana yang indah untuk hidup kita. “Tanpa penglihatan pun, Sikdam bisa tetap mewujudkan impian,” ujarnya, penuh syukur.  Satu dari harapannya yang masih harus menunggu, yaitu menikah dengan wanita yang mengasihi dan mau menerima keadaan dirinya. Ia yakin, harapan ini akan terjawab pada waktu-Nya.   

 
MENGABDI UNTUK SESAMA
Sembari mengajar privat, Sikdam mulai aktif berorganisasi. Salah satunya di Yayasan Wisma Cheshire, Jakarta. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini fokus untuk memberdayakan para penyandang disabilitas. Setiap minggu, Sikdam mengajar dan menerjemahkan bahasa Inggris untuk teman-temannya di lembaga tersebut. 
 
Ia juga aktif menjadi relawan di beberapa LSM yang memperjuangkan hak-hak disabilitas di sekitar Jakarta dan Jawa Barat. Seminar-seminar tentang disabilitas juga kerap ia datangi. Pada Juni 2013, ia menjadi peserta dalam acara Young Voices Regional Meeting yang diadakan di Jakarta. Ini adalah sebuah pertemuan anak-anak muda penyandang disabilitas dari wilayah Asia Selatan dan Asia Pasifik. Selain sebagai peserta, ia bertindak sebagai penerjemah.
 
Di bulan Oktober 2013, pengurus National Coordinator of Young Voices Indonesia mengutus Sikdam untuk mewakili Indonesia dalam acara Global Meeting of Young Voices di Nairobi, Kenya, Afrika yang dihadiri oleh penyandang disabilitas muda dari seluruh dunia.
 
“Saya bertemu dengan banyak anak muda penyandang disabilitas dari negara lain. Kami saling belajar dan berbagi infomasi tentang isu disabilitas di negara kami masing-masing,” katanya senang.  
 
Pada Februari 2014, dedikasi Sikdam yang tinggi dalam memperjuangkan hak-hak disabilitas serta pendidikan membuahkan penghargaan International Award for Young People dari Pangeran Philip Duke of Edinburgh, suami Ratu Elizabeth II dari Kerajaan Inggris. Ajang penghargaan yang telah diselenggarakan sejak 70 tahun lalu itu, diakui di 140 negara di dunia.  
 
“Saya adalah orang Indonesia penyandang disabilitas pertama yang mendapatkan penghargaan itu,” ungkap Sikdam yang terbang ke Kanada untuk menerima penghargaan tersebut. Apresiasi dunia ini membuatnya makin sadar, bahwa penyandang disabilitas juga bisa melakukan pengabdian yang berguna untuk sesama dan juga negaranya.
 
Sebagai rangkaian kegiatan International Award for Young People dari Pangeran Philip, maka pada November 2015 lalu, ia diundang dan berpidato dalam acara spesial Royal Dinner dengan keluarga kerajaan Inggris yang dihadiri oleh Pangeran Edward dan Putri Sofie, di London, Inggris.
 
Ternyata, cita-citanya sejak kecil untuk menjadi seorang diplomat, dapat ia wujudkan dengan cara yang berbeda. Cita-cita ini terpicu saat ia dan almarhum ayahnya, Muhammad Hasim, kerap menonton siaran berita lewat televisi. “Saya ingin menjadi diplomat, biar bisa keliling dunia,” katanya, tertawa. Alasan ini pula yang membuatnya kuliah di Sekolah Tinggi Bahasa Asing American English Institute, di Bali. Kota surga wisata ini sengaja dipilih agar ia bisa langsung mempraktikkan keahlian berbahasanya kepada para wisatawan asing di sana.
 
Seiring dengan berbagai undangan sebagai pembicara di berbagai seminar, kariernya sebagai seorang guru juga meningkat. Pertengahan tahun 2014, Sikdam mulai mengajar bahasa Inggris di SMA Adria Pratama Mulya (APM), Tigaraksa, Tangerang. Sekolah itu berada di bawah yayasan pendidikan milik Marciano Norman, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
 
Kesempatan ini terbuka saat Sikdam diundang untuk berbicara tentang dunia para penyandang disabilitas di kantor BIN. Kemampuan dan kepercayaan dirinya membuat banyak orang terkesan, tak terkecuali Triwatty Marciano, istri dari Marciano Norman. Beliaulah yang lantas meminta Sikdam untuk mengajar di sekolah tersebut.
 
“Siswa di SMA APM, membutuhkan ilmu pengetahuan Sikdam, bukan kekurangan fisiknya,” ucap Sikdam mengulang kata-kata Triwatty, saat ia mulai meragukan diri. Agar bisa tetap mengurus organisasi dan menjalankan misi untuk memperjuangkan hak-hak para disabilitas, Sikdam memilih untuk menjadi karyawan lepas.
 
Pada tahun 2013, bersama rekan-rekannya, Sikdam mendirikan Disabilities Youth Centre. Organisasi  berbasis komunitas ini berkonstrasi untuk memperjuangkan hak-hak, mempromosikan, dan membela para penyandang disabilitas di bidang pendidikan, pekerjaan, akses, kesehatan, dan layanan publik.
 
Dalam programnya, mereka mendatangi berbagai instansi, seperti kampus, kantor kecamatan dan kelurahan, perusahaan swasta dan juga BUMN untuk melakukan sosialisasi tentang disabilitas. Dalam sosialisasi itu, mereka menyampaikan bahwa, kaum disabilitas bukan sampah, bukan orang bodoh. Bisa membanggakan kalau memang diberdayakan. “Kami ini manusia, jangan menyebut kami orang cacat!” katanya tegas.
 
Ia tak menyangkal bahwa di Indonesia, hidup sebagai penyandang disabilitas masih dihadang banyak tantangan. Selama 6 tahun menjadi penyandang disabilitas, beragam pelecehan verbal sudah dialami Sikdam. “Saya kerap dikatain sebagai tukang pijat,” katanya kesal. Seperti yang terjadi padanya saat menghadiri undangan penting dari Kementerian Ekonomi di sebuah hotel mewah di Jakarta.
 
Walau kerap menghadapi pelecehan, namun Sikdam tidak pernah melawan, ia justru tersenyum. “Saya tidak mau menghabiskan energi saya untuk hal-hal yang tidak penting,” tuturnya. Stigma dan cara pandang masyarakat yang negatif tentang kaum disabilitaslah yang ingin diubah oleh alumnus SMAN 79 Jakarta dan SMPN 10 Depok, Jawa Barat ini.

Foto: DESIYUSMAN MENDROFA, DOK. PRIBADI
 
 


Topic

#berprestasiditengahketerbatasan

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?