True Story
Shandra Woworuntu, Kisah Kelam Terjerat Perdagangan Manusia

3 Apr 2016


Wanita bergelar sarjana yang pernah bekerja sebagai analis keuangan di sebuah bank internasional ini tak menyangka dirinya bisa mengalami nasib terjerat perdagangan manusia. Shandra Woworuntu, yang kini bekerja sebagai aktivis pembela korban perdagangan manusia di Amerika Serikat ini, tak lelah membagi kisah kelamnya yang pernah ia alami di tahun 2001, sebagai edukasi dan reminder bagi masyarkat bahwa kejahatan terorganisir bernama perdagangan manusia itu memang nyata adanya. Berikut ini pengalaman yang ia tuturkan pada femina:   

Wanita bergelar sarjana yang pernah bekerja sebagai analis keuangan di sebuah bank internasional ini tak menyangka dirinya bisa mengalami nasib terjerat perdagangan manusia. Shandra Woworuntu, yang kini bekerja sebagai aktivis pembela korban perdagangan manusia di Amerika Serikat ini, tak lelah membagi kisah kelamnya yang pernah ia alami di tahun 2001, sebagai edukasi dan reminder bagi masyarkat bahwa kejahatan terorganisir bernama perdagangan manusia itu memang nyata adanya. Berikut ini pengalaman yang ia tuturkan pada femina:  

Krisis moneter yang melanda Indonesia setelah tahun 1998, membuat saya kehilangan pekerjaan sebagai analis keuangan sebuah bank internasional di Jakarta. Demi mencari kehidupan yang lebih baik, terutama untuk menghidupi putri saya yang waktu itu berusia tiga tahun, saya mulai mencari pekerjaan di luar negeri. Ketika melihat sebuah iklan di surat kabar yang mencari peminat untuk bekerja di industri perhotelan di luar negeri, saya pun tertarik. Tujuan saya, Amerika Serikat. Dengan iming-iming gaji sebesar 5000 dolar AS (Rp66 juta) plus fasilitas tempat tinggal dan tip menggiurkan untuk bekerja di sebuah hotel di Chicago selama 6 bulan, saya memutuskan untuk melamar.

Setelah melalui serangkaian tes dan wawancara, saya diminta membayar biaya keberangkatan sebesar Rp30 juta, di luar visa yang harus saya urus sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta. Berbekal keberanian dan dokumen-dokumen resmi hotel di Chicago, serta visa, pada Juni 2001, saya pun terbang ke Amerika.
Menginjakkan kaki di bandara John F Kennedy, New York, saya yang tiba bersama empat wanita lain dan seorang pria, lalu dibagi dua kelompok. Seorang pria yang mengaku pihak agensi penjemput, mengambil semua dokumen-dokumen saya, termasuk paspor, lalu ia membawa saya dan dua wanita lainnya masuk ke dalam mobilnya.

Sampai detik itu, belum ada rasa curiga sedikit pun. Kecurigaan itu bermula ketika kami belum kunjung sampai di tempat tujuan, tetapi harus berganti mobil hingga empat kali.

Lebih terkejut lagi, karena sopir keempat ini membawa pistol dan menodongkannya ke arah kami. Ia membawa kami ke sebuah rumah, lalu ia mengetuk pintu, memanggil "Mama-san! Gadis baru!"

Pada saat itu saya langsung panik, karena saya tahu 'Mama-san' berarti mami-mami germo rumah bordil. Di situ, saya menyaksikan, seorang gadis di bawah umur yang dipukuli. Dari situlah saya sadar, pekerjaan di Chicago yang dijanjikan, ternyata bohong belaka. Saya tidak dipekerjakan di hotel, melainkan justru disekap di sebuah bordil. Tapi saya tidak bisa apa-apa, karena setiap gerak saya diawasi di bawah todongan pistol.

Dan hanya beberapa jam setelah kedatangan saya, saya sudah dipaksa untuk melakukan seks. Anehnya, mereka mengatakan, saya berutang kepada mereka sebesar 30 ribu dolar AS atau sekitar Rp366 juta. Dan, tugas saya, harus melayani pria-pria yang datang. Untuk setiap pria yang dilayani, itu artinya saya mengangsur 100 dolar AS. Saya dan para tawanan lainnya terus-menerus diancam akan dibunuh keluarganya, dan ditakuti akan dipenjara bila kabur.
 
Hari demi hari berlalu, saya dibawa pulang pergi ke rumah bordil yang berbeda-beda, apartemen-apartemen, hotel-hotel dan kasino-kasino. Dari Brooklyn, Manhattan, Chinatown, Queens, Bay Side, New London sampai ke Foxwoods. Saya jarang berada di tempat yang sama dalam dua hari.
Di bawah pengaruh alkohol, narkoba, dan ganja, saya dipaksa untuk melayani para pelanggan  yang datang. Makan tak layak, tidur pun seringkali kurang.
Setiap saat, yang saya pikirkan adalah bagaimana saya bisa melarikan diri atau menyelinap. Tapi di sisi lain, ada perasaat takut karena saya tak kenal siapapun di Amerika. Saya juga tak tega meninggalkan dua teman wanita dari Indonesia.

Pada satu kesempatan, akhirnya saya berhasil kabur dengan seorang teman dari Indonesia. Kami nekat keluar dari jendela kamar mandi dari lantai dua. Dalam pelarian itu, saya langsung melaporkan apa yang saya alami pada polisi. Dalam benak saya, urusan akan beres kalau bertemu yang berwajib. Sebab, mereka akan menjadi penolong saya. Akan tetapi, ternyata tidak demikian. Polisi tidak mau mempercayai saya. Saya pun berlari ke petugas yang lain, namun, kembali mereka juga tidak mau membantu saya.

Konsulat menjadi harapan saya berikutnya. Namun lagi-lagi, mereka juga tidak mau membantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa menggelandang, tinggal di stasiun kereta api bawah tanah dan di taman-taman. Hingga suatu hari, ada seorang pria di taman, bernama Eddie, yang mendengarkan cerita saya. Pria pelaut asal Ohio, berjanji akan membantu saya melaporkan kasus ini, dan meminta saya datang lagi menemuinya keesokan hari.

Sebetulnya, setelah berada di luar, saya merasa sangat lega. Bisa saja saya berusaha survive, tanpa perlu melaporkan kejahatan yang saya alami. Akan tetapi, dalam pikiran saya, saya hanya mencemaskan seorang teman dari Indonesia yang masih di dalam. Saya tak mungkin meninggalkannya begitu saja. Saya pun bertekad, apa pun yang terjadi, saya harus lapor!

Pada waktu yang dijanjikan, Eddie muncul. Dia mengatakan pada saya bahwa dia sudah menghubungi FBI, dan pihak FBI sudah menghubungi kepolisian. Eddie pun mengantarkan saya ke kantor polisi. Berbekal keterangan saya, polisi pun menggelar operasi penyergapan di rumah bordil di mana saya ditawan. Saya sempat cemas, bagaimana jika ternyata para trafficker itu tidak bisa ditemukan? Apakah nanti saya akan dituduh berbohong dan masuk penjara? Banyak yang tak percaya, bagaimana saya bisa mengingat alamat rumah tempat saya ditawan? Saya bersyukur, saya dikaruniai ingatan yang cukup tajam. Selain itu, saya juga rajin menulis diari. Segala hal yang saya alami pada hari itu, saya tulis di diari. Belakangan saya bersyukur, catatan ini sangat membantu yang berwajib untuk mengungkap sindikat perdagangan manusia yang saya alami.

Kecemasan saya tak terbukti, pada akhirnya operasi penyergapan berhasil menangkap para trafficker. Tiga kepala sindikat, termasuk seorang warga Indonesia, ditangkap. Puluhan korban dibebaskan. Sejak itu, saya bisa menghirup kebebasan dan melanjutkan hidup dengan tenang. (f)

Foto: dok. Shandra.




 
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?