True Story
Putri Sampaghita: Mendampingi Masa Depan Difabel

3 Dec 2016


Foto: Fotosearch
 
Ditolak lamaran kerjanya oleh 500 perusahaan tentu saja membuat Putri Sampaghita Trisnawinny Santoso (25) sakit hati. Namun, ia tak hanya berdiam diri merutuki nasibnya sebagai penyandang masalah pendengaran berat  atau tuli sejak lahir. Sarjana Desain Komunikasi Visual ini sadar bahwa kaum difabel memang masih dipandang sebelah mata dan terpinggirkan oleh kompetisi di dunia kerja.

Kenyataan ini menggerakkannya untuk merangkul berbagai penyandang disabilitas dari seluruh Indonesia. Di bawah payung Sampaguita Foundation, ia membekali mereka dengan berbagai keahlian siap kerja, agar tak merasakan kepahitan ditolak perusahaan, seperti yang pernah dirasakannya dulu.
 
KENYANG DISKRIMINASI
Saat masih kecil dulu, Putri, atau biasa dipanggil Thie, tak pernah bisa benar-benar menikmati keriaan bermain bersama teman-temannya. Gelak tawa di sekelilingnya hanyalah sebentuk gerak bibir kosong tanpa suara. Tak jarang, Putri merasa terasing sendiri di tengah keramaian, tenggelam dalam kesunyian hampa yang membelenggu hari-harinya.

Putri terlahir tuli. Ia lebih menyukai sebutan ini ketimbang tunarungu yang menurutnya memiliki pengertian malfunction atau cacat. Kondisinya ini membuat Thie kecil sulit beradaptasi dengan dunia yang bergantung pada suara untuk berkomunikasi. Puncak terberat penolakan dari lingkungan terjadi saat ia duduk di bangku SMP.

“Tiap kali berbicara, saya selalu diejek karena suara saya sengau dan terbata-bata, terdengar aneh di telinga mereka. Tak ada satu pun teman yang mau menemani saya. Saya selalu sendirian. Bisa jadi mereka malas berteman dengan saya karena kesulitan memahami bahasa lisan saya. Atau mereka malu jadi perhatian orang karena artikulasi saya yang jelek,” jelas Thie.

Perlakuan guru-gurunya yang kerap kali tak memahami keterbatasannya membuat ia makin frustrasi. Salah satunya saat ia mengutarakan niatnya untuk ikut kegiatan ekstrakurikuler menari di sekolahnya. Ia selalu ditolak. Padahal, sejak SD ia ingin sekali belajar menari. Demikian pula dalam hal pelajaran, ia sama sekali tak paham apa yang dibicarakan guru saat mendikte.

“Guru sering memarahi saya, sebab saya sering melirik catatan teman. Padahal, saya terpaksa melakukan itu karena guru berbicara terlalu cepat. Atau, karena posisi guru tidak memungkinkan saya untuk membaca gerak bibirnya,” kisahnya, menjelaskan bagaimana lingkungan sering kali tak berempati dengan keterbatasannya.

Menangis akhirnya jadi satu-satunya pelarian yang bisa dilakukan Thie. Ingin rasanya di saat-saat terpuruk ini ia bisa mengadu kepada figur pengayom, seperti ayah. Tetapi, ayahnya, Erwin Santoso Sunaryo, meninggal sejak Thie masih di kandungan ibunya, Hanny Kusumaningtyas. Merasa dirinya tak berharga, Thie pernah mencoba mengakhiri hidup dengan cara gantung diri. Beruntung ibunya memergoki  sehingga misi nekatnya itu gagal.

Sosok ibu menjadi satu-satunya labuhan tempat ia menemukan keteduhan hati. Ketika tak sedikit orang tua yang menolak dan merasa malu memiliki anak dengan keterbatasan, ibunya tidak pernah menyembunyikan keberadaannya. Kesabaran sang ibu ini membuatnya ingin memberikan yang terbaik. “Saya ingin bisa mewujudkan harapan Ibu, melihat saya bisa mandiri dan sukses dalam bidang yang saya tekuni, meski saya punya keterbatasan fisik,” ujar Thie.

Wanita periang ini tak ingin menyalahkan sang ibu yang pernah demam tinggi saat usia kehamilannya baru menginjak 2 bulan. “Bisa jadi, saat itu ada virus yang menyerang Ibu dan akhirnya merusak organ pendengaran saya. Sebab, dalam silsilah keluarga, tak ada yang tuli,” ujar Thie, yang lahir sehat lewat operasi caesar pada 16 Januari 1991. Kakak dan adik laki-laki Thie juga terlahir dengan panca indra yang berfungsi sempurna.

Thie baru terdeteksi tuli di usia 1 tahun lewat pemeriksaan medis oleh ahli THT, Prof. dr. Hendarto HendarminSpTHT-KL(K). Pemeriksaan medis ini dilakukan ibunya saat Thie tidak pernah merespons suara. “Tentu saya shock mendapati anak saya divonis tuli berat. Saya teriak, marah-marah di depan dokter, karena tidak bisa menerima kenyataan ini,” cerita Hanny, ibunya, kepada femina.

Rasa sedih, bingung, kecewa, berdosa, begitu mengoyak hatinya, hingga tak pernah terlewat satu hari pun tanpa menyalahkan diri sendiri. “Apalagi Thie anak perempuan satu-satunya. Yang terbayang dalam pikiran saya saat itu hanya masa depan yang suram yang menanti anak saya itu,” ungkap Hanny.
 
MENEMUKAN JALAN
Membesarkan anak tuli seorang diri tanpa dukungan suami tentu bukan pekerjaan mudah. Butuh ratusan kali pengulangan hanya untuk mengajarkan pelafalan satu kata saja. Namun, kasih sayang Hanny yang besar membuat ia mampu melewati semua tantangan.

“Saya tidak mau berlama-lama sedih karena ditinggal pergi suami dan dikaruniai anak tuli. Saya sadar, makin dini saya bergerak, maka kemampuan Thie untuk meminimalkan keterbatasannya akan makin besar,” jelas Hanny, yang baru menikah lagi saat Thie berusia 7 tahun.

Sesuai saran Prof. dr. Hendarto, Thie memakai alat bantu dengar (abd), segera setelah terdeteksi tuli, Keputusan ini diambil agar indra pendengarannya terstimulasi untuk mengenali suara. Padahal, harga perangkat abd sangat tidak murah, mencapai belasan juta rupiah. “Apa pun akan saya lakukan. Demi Thie, kalau perlu seluruh tabungan akan saya kuras,” tekad Hanny saat itu.

Sedihnya, alat bantu dengar itu tidak membantu Thie dalam mengenali pembicaraan. “Yang terdengar hanyalah suara-suara nyaring melengking yang membuat kepala saya mau pecah,” tutur Thie,  yang akhirnya melepas alat bantu dengarnya setelah 6 tahun memakai.

Menyekolahkan Thie ke sekolah umum juga jadi alasan untuk menumbuhkan rasa percaya diri Thie. Termasuk melatihnya berinteraksi sosial dengan mereka yang tidak memiliki keterbatasan fisik. Sejak usia 2 tahun, Thie bersekolah di Taman Latihan Bermain Santi Rama, Jakarta. Selama 5 tahun tersebut, ia mendapat terapi wicara dan les tambahan di rumah agar ia bisa menyusun kata dan mengerti pembicaraan. Karena belajar di sekolah umum, Thie tidak begitu menguasai bahasa isyarat.

“Perlu kesabaran dan ketekunan ekstra untuk membimbing putri saya,” cerita Hanny, yang kerap mengajak Thie pergi ke luar rumah, seperti ke mal, rekreasi keluarga, atau acara-acara agar Thie terbiasa bersosialisasi.

Perjuangan Hanny tak sia-sia. Penerimaan dan dukungan penuh bagi anak tercintanya pelan, tapi pasti membentuk sikap Thie yang optimistis, kuat, komunikatif, cerdas, cepat tanggap, dan percaya diri. Tertatih-tatih Thie berjuang mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Lulus SMA, ia memilih studi Desain Komunikasi Visual di Universitas Bina Nusantara, Jakarta.

Masa perkuliahan dilaluinya tanpa kesulitan berarti. Mengandalkan kekuatan belajar secara autodidak melalui buku teks, Thie mampu lulus tepat waktu pada Juli 2015 lalu. Tak terlukiskan betapa bangga dan bahagianya Thie berhasil meraih mimpinya, lulus dengan gelar sarjana. Ia tak tahu bahwa kenyataan yang menantinya tak seindah bayangan. Ratusan lamaran ia layangkan, semuanya berakhir dalam kebisuan, tanpa respons.

Hingga suatu hari, ada satu perusahaan yang memanggilnya. “Hati saya dipenuhi harapan ingin segera bekerja. Tapi, semua harapan runtuh setelah mereka tahu saya tuli dan menolak dengan halus,” cerita Thie, terpukul. Kejadian ini menjadi titik balik hidup Thie, bahwa penyandang disabilitas seperti dirinya ternyata belum mendapat tempat di masyarakat. Tak peduli meski ia memiliki kemampuan setara dengan kaum pekerja lainnya.

Kecewa, Thie membuang jauh-jauh mimpinya untuk bekerja kantoran. Mewarisi bakat dagang almarhum ayahnya, ia pun mulai banting setir untuk menjadi pelaku social entrepreneur. Pada 2 Agustus lalu, wanita penyuka traveling ini mendirikan Yayasan Sampaguita. “Yayasan ini didirikan khusus untuk penyandang disabilitas agar mereka bisa survive menafkahi dirinya,” jelas Thie, yang mendapat dukungan penuh sang bunda dan Terry Edward Huwae, pria non-disabilitas yang telah 8 tahun menjalin kasih dengannya.    

Berbagai keterampilan, seperti tata boga, membuat dompet kulit, membuat sepatu, menjahit tas, diberikan secara gratis oleh para relawan yang jumlahnya kini telah mencapai 130 orang. Mereka berasal dari berbagai komunitas disabilitas, seperti Gerkatin, Bisindo, dan sebagainya.

“Ke depannya, saya ingin menambahkan keterampilan garmen dan IT,” harap Thie. Baru dua bulan berjalan, anggota Sampaguita Foundation telah mencapai 1.700 orang lebih penyandang disabilitas dari seluruh Indonesia. “Semoga tak hanya membantu memberi keterampilan, tapi sebaiknya sesama penyandang disabilitas bisa saling bersinergi dan membangun networking,” pungkas Thie, bahagia melihat secercah harapan bagi masa depan rekan-rekannya.(f)


Topic

#kisahsejati

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?