True Story
Max Mandias & Helga Angelina, Disatukan Oleh Makanan Vegan

4 Aug 2018


Foto : dok. pribadi

Saya awalnya adalah ‘pemakan daging'. Namun, sejak berkenalan dengan Helga, yang sangat sehat dan energik, saya tertarik untuk mencoba pola makan vegan (hanya mengonsumsi produk vegetasi) yang diterapkan Helga. Saat itu, kami berdua masih sama-sama di Belanda. Saya bekerja sebagai analis data, dan Helga masih menyelesaikan kuliahnya.

Baru sebulan menjadi vegetarian, tubuh saya sudah merasakan manfaatnya. Problem pencernaan saya hilang, dan saya merasa lebih segar dan sehat. Akhirnya keterusan sampai sekarang. Total sudah 5 tahun saya menjadi vegetarian. Dari sini juga kami terdorong untuk membuat bisnis restoran vegan saat kembali ke tanah air. Waktu itu kami sudah resmi menjadi sepasang kekasih. ‘Jadian’ pada tahun 2012 di Belanda, pada November 2013 kami membuka gerai vegan Burgreens yang pertama di Rempoa, Jakarta Selatan.

Dua tahun pertama menjalankan bisnis memang sangat berat, tapi penyesuaian selama kami pacaran dan mengelola bisnis bersama menjadi fondasi kuat kami dalam membangun hubungan. Jujur, saat mematangkan ide bisnis, saking seru dan bersemangatnya, tidak pernah terlintas di kepala bahwa berbisnis bersama pasangan bisa menjadi complicated. Masalah terutama mulai terasa saat kami mulai mengeksekusi ide-ide tersebut. Mulai dari membuat standar patty (daging burger dari bahan nabati), saus, mencari supplier, sampai urusan marketing. Semua kami kerjakan secara serabutan. Ketidakjelasan batas wewenang inilah yang sering menyulut api konflik.

Ketegangan yang muncul berpengaruh pada hubungan kami di wilayah personal. Bayangkan saja, dari buka kafe sampai tutup kafe, total kami bekerja bersama-sama selama 15 hingga 16 jam tiap harinya. Berbagai kekesalan, ketidakpuasan, dan kerunyaman campur aduk menjadi satu. Ini makin diperparah oleh perbedaan karakter kami yang benar-benar merupakan gambaran yin dan yang. Saya tipe orang yang tidak suka berkonflik, sehingga saat merasa tidak puas, saya memendamnya. Sementara itu, Helga adalah tipe yang vokal, yang bisa menyuarakan argumennya. Saya memiliki batas toleransi tinggi saat pegawai melakukan kesalahan atau sulit belajar, sementara Helga adalah sosok dengan target-target yang jelas dan cukup ketat terkait peraturan.

Bayangkan saja, dia pernah memasang target untuk saya menciptakan menu baru. Gara-gara ini, kami pernah sempat putus, walau cuma dua hari saja. Ha… ha… ha…. Saya capek sekali, dan merasa bahwa ini bukan menjadi mimpi saya lagi. Saat itu kami berdua memang sangat emosional. Tapi, setelah dibawa tidur, kami berdua ternyata masih sama-sama ingin memperjuangkan hubungan dan mau berubah. Pasti ada cara komunikasi yang lebih baik dalam relasi.

Kebiasaan saya memendam ketidaksetujuan dalam hati ternyata tidak sehat dan menjadi bom waktu. Ujung-ujungnya, saya jadi frustrasi sendiri dan ketika keluar lewat kata-kata, jadi seperti meracau tidak jelas ujung pangkalnya. Ini bukan bentuk komunikasi yang baik. Sebaliknya, Helga belajar bahwa karakter vokal dan ceplas-ceplosnya bisa melukai perasaan saya. Kami mulai memikirkan cara berkomunikasi yang lebih baik agar hubungan ini terus berlanjut.

Kami mulai belajar saling memahami bahasa masing-masing, dengan menghargai perbedaan karakter. Saya belajar lebih terbuka dan mengomunikasikan segala hal yang mengganjal di hati. Sedangkan Helga belajar mengungkapkan kritik dan masukan dengan bahasa yang tidak terlalu pedas.Kami juga tidak memaksakan diri penyelesaian masalah ketika masih sama-sama emosi. Kami akan menunggu dan membicarakannya saat kepala sudah dingin. Sebisa mungkin, sebelum tidur malam masalah sudah selesai. Sebab, kalau terbawa sampai pagi, bisa bikin cranky. Ha… ha… ha….

Kami juga mulai membagi tanggung jawab di bisnis. Saya lebih kepada urusan pengembangan dapur, seperti menciptakan menu-menu baru dan memberikan pelatihan kepada pegawai untuk urusan terkait. Helga mengambil peran mengurus manajemen Kafe Burgreens. Kami juga membayar tenaga profesional. Sebab, besar dana yang kami irit tidak seimbang dengan harga yang harus kami bayar di relasi personal.

Dari kejadian ini juga kami belajar bahwa mengembangkan bisnis bersama pasangan sebenarnya bisa menjadi sarana latihan dan ujian terhadap kesiapan mental kami sebelum menikah. Sebab, memiliki bisnis itu sama seperti membesarkan seorang anak bersama. Ada komitmen dan harga yang harus kami bayar agar ‘anak’ kami ini tumbuh besar dengan sehat. Setidaknya hal ini cukup berhasil bagi kami.

Pada November 2017, kami pun sama-sama mantap menikah. Membangun intimasi dengan pasangan juga sangat penting. Setidaknya seminggu sekali kami akan mengambil libur, hanya untuk berduaan atau menghabiskan waktu bersama keluarga besar. Setahun sekali, kami melakukan liburan ‘detoks digital’. Artinya, liburan di tempat-tempat indah yang tidak terjangkau sinyal HP, seperti di Pulau Macan, tempat liburan kami belum lama ini.

Kami juga selalu meluangkan waktu untuk beryoga dan bermeditasi bersama untuk kesehatan batin dan raga. Kami memiliki visi dan membangun mimpi yang sama, Ini sangat penting! Tiap tahun kami akan duduk bersama untuk memikirkan mimpi-mimpi kami, lalu memasangkannya di sebuah papan yang kami gantung di apartemen. Ketika permasalahan mulai muncul, kami akan mengingat kembali visi dan mimpi yang sedang kami bangun berdua. Mimpi terdekat? Kami sedang mencicil membeli rumah. (f)

Baca Juga:

3 Pasangan Selebritas Hollywood yang Kerap Bikin Heboh di Media Sosial
Marcel Siahaan & Rima Melati Adams, Cinta yang Mendewasakan
Irfan dan Jennifer Bachdim: Cinta yang Teruji Perbedaan


Topic

#relationship

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?