True Story
Kisah Isabella Springmuhl Menjadi Desainer Down Syndrome Pertama di London Fashion Week

21 Jan 2017


Foto: DowntoxJabelle.com


Usianya belum genap 20 tahun, tapi nama Isabella Springmuhl masuk dalam daftar 100 Inspirational Woman 2016 versi BBC. Pernah ditolak oleh beberapa sekolah mode karena dianggap tidak memiliki bekal inteligensi yang cukup, kini namanya mendunia sebagai desainer penyandang down syndrome pertama yang tampil di   karpet merah London Fashion Week 2016. Cita-citanya, mendandani para penyandang down syndrome lainnya untuk tampil gaya lewat busana rancangannya yang kaya warna.
 
KEKUATAN KASIH
Tangis pertama Isabella Springmuhl pecah pada 27 Februari 1997. Bungsu dari empat bersaudara ini terlahir sebagai penyandang down syndrome. Ia tumbuh dalam lingkup kasih sayang dan perhatian penuh dari seluruh anggota keluarganya. “Meski terlahir spesial,  kami tidak pernah membedakannya. Isabella selalu kami masukkan ke sekolah reguler, sama seperti kakak-kakaknya,” ungkap Isabel Tejada, ibundanya.

Sejak kecil Isabella selalu dilibatkan dalam segala kegiatan keluarga dan dalam komunitas. Kakak-kakaknya tidak pernah menganggap remeh dirinya, bahkan menjadikannya sebagai sumber inspirasi. Coretan kata-kata isengnya berakhir menjadi sebuah lagu di tangan kakaknya yang memiliki grup band Hot Sugar Mama.

“Padahal, kata-kata itu saya tuliskan saat sedang menunggu jadwal terapi. Tapi, di tangan kakak saya, tulisan itu menjelma menjadi lagu indah berjudul Jerigonza (jargon –red.),” ungkap Isabella bangga, karena lagu itu masuk di album pertama band kakaknya itu. “Saya bahagia sekali, dia menciptakan lagu itu untuk saya,” kenang Isabella.

Sepertinya, perhatian dan kasih sayang keluarga inilah yang membuat Isabella tumbuh menjadi gadis yang percaya diri. Ia tidak pernah minder dengan kondisinya. Aktivitas kakak-kakaknya di dunia musik  mulai menumbuhkan hasrat Isabella terhadap seni. Berawal dari dunia memasak dari inspirasi sang ibu, ia mulai terpikat oleh motif kain dan manik-manik warna-warni yang ada di meja kerja sang nenek yang hobi mendesain dan menjahit baju sendiri. Sejak saat itulah, hasrat Isabella pada dunia fashion tumbuh subur. “Saya menemukan panggilan hati sebagai desainer busana,” ujar Isabella, mantap.

Minat dan bakat Isabella terhadap dunia rancang busana ini telah menjadi perhatian ibunya. “Sejak kecil, ia senang membolak-balik majalah fashion, lalu mengambil kertas dan pensil, berusaha meniru gambar baju di majalah. Ia betah melakukannya berjam-jam,” cerita sang bunda. Tak puas hanya menggambar, Isabella lalu meminta kain pada ibunya. Berbekal gunting dan jarum pentul, ia membuat sendiri baju untuk koleksi bonekanya.

Kecintaan ini pula yang membulatkan tekad untuk mengambil spesialisasi pendidikan fashion di dua universitas lokal dan ditolak mentah-mentah.
Alasannya, sebagai penyandang down syndrome, Isabella dianggap tidak mampu mengikuti kegiatan perkuliahan. Anggapan  ini membuat mentalnya seketika jatuh. Isabella yang terkenal aktif dan pandai bergaul di sekolah, bahkan terpilih di antara siswa untuk menyampaikan pidato kelulusan di sekolahnya itu, rupanya belum mendapat tempat di dunia pendidikan tinggi.

Namun, Isabella tidak ingin berkubang dalam kesedihan. Berbekal semangat dan dorongan diri yang kuat, ia mendaftarkan diri di kelas menjahit umum. Di tempat kursus itu ia menggembleng diri, belajar dari dasar cara menjahit dan memotong pola. Tidak hanya itu, di rumah, ia mempertajam kemampuannya dengan menyaksikan video tutorial online menjahit. Kesungguhannya ini membuat sang nenek tergerak untuk menghadiahinya mesin jahit pertamanya! “Saya seperti tidak bisa berhenti berkreasi dengan mesin jahit hadiah dari Nenek,” ungkapnya, gembira.
 
MEWUJUDKAN IMPIAN
Melihat ke belakang, baik Isabella maupun ibunya justru mensyukuri penolakan dari dua lembaga pendidikan fashion di Guatemala tersebut. Ketidakberuntungan ini justru membukakan pintu kesempatan lain, di mana ia bisa belajar tanpa tekanan dan sesuai iramanya sendiri. Hobi masa kecilnya membuat baju boneka dikembangkan lebih serius di tempat kursus menjahit yang ia ikuti.

Dari mendesain  worry dolls –boneka mungil seukuran jari, khas Guatemala dan Meksiko– Isabella mulai mencoba membuat boneka seukuran anak manusia yang didandaninya dengan baju rancangannya sendiri. Apakah itu berupa jaket dengan hiasan bordir, dress dengan sentuhan renda yang feminin, dan ponco warna-warni. Uji cobanya ini bukan tanpa tujuan. Isabella menyimpan mimpi untuk bisa menjadi desainer yang menciptakan pakaian khusus bagi sesama penyandang down syndrome lainnya.

“Selama ini saya selalu kesulitan membeli baju yang pas di badan. Penyandang down syndrome memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Badan kami lebih pendek, torso kami pendek, leher kami lebih lebar dan tungkai kami juga pendek,” jelas Isabella. Ia teringat begitu repotnya perjalanan sepotong baju yang hendak dipakainya. Tiap membeli baju baru dari toko, ibunya harus merombak baju itu agar sesuai dengan potongan tubuhnya yang unik.

“Saya ingin melihat para penyandang down syndrome tampil keren dan trendi dalam baju rancangan saya,” urai wanita pemilik label Down to Xjabelle. Label fashion ini cukup istimewa baginya. Dulu, neneknya yang juga mendesain pakaian, pernah membangun bisnis fashion dengan label Xjabelle. Namun, usaha ini tutup sejak salah satu putrinya –bibi Isabella– meninggal dalam kecelakaan mobil.

“Kini saya ingin meneruskan impian Nenek dan membuat label Xjabelle menjadi besar,” ujarnya, antusias. Kali ini, ia menambahkan kata ‘Down’ di depannya, sebagai penanda bahwa seluruh karyanya ini merupakan hasil kreasi penyandang down syndrome dan ditujukan kepada para penyandang down syndrome.

Dalam perjalanannya, berbagai cibiran masih terus terngiang di telinganya. Banyak orang masih memandang impian dan kerja kerasnya dengan sebelah mata. Semua ini justru menjadi cadangan energi yang membakar semangatnya untuk terus berkarya. Memberdayakan tenun khas tradisional Guatemala buatan para wanita keturunan suku Indian Maya, ia tampil dalam gebrakan desain dengan corak dan warna-warna ceria. Ada jaket, ponco, blus, rompi, serta tas tangan wanita.

“Sebagai desainer, Isabella sangat keras kepala,” kata ibunya. “Bila saya atau orang lain memberikan saran untuk desainnya, ia akan menggelengkan kepala dan berkata tegas, ‘Tidak, tidak, saya mau seperti ini,’” lanjut ibunya, mengisahkan keteguhan putrinya itu.

Prinsip Isabella dalam menghasilkan karya berbuah manis. Ia mulai dikenal banyak orang ketika mendapat kesempatan tampil di Museo Ixchel (Museum Tekstil) Guate Extraordinaria. Di kesempatan itu, semua produk Down to Xjabelle laris manis diborong pengunjung.

Namanya  makin meroket ketika diundang oleh Cecilia Santamarina de Orive, kurator International Fashion Showcase London Fashion Week  untuk berpartisipasi di ajang itu pada 19 - 23 Februari 2016. Peristiwa ini juga penting karena inilah pertama kalinya Guatemala diundang untuk ikut serta dalam International Fashion Showcase London Fashion Week. Bersama 4 desainer Guatemala lain, Isabella memamerkan produknya dengan bangga. Uniknya, Isabella tak memakai maneken, tetapi boneka seukuran bocah berusia lima tahun.

“Saya bersyukur atas kesempatan yang diberikan Cecilia. Ia melihat jauh ke dalam hati saya dan menemukan talenta saya,” ucap Isabella. Keikutsertaannya di ajang fashion ini meroketkan Isabella dan label Down to Xjabelle ke dunia internasional. Berbagai media dari Inggris, Prancis, Australia, Argentina, Venezuela, Guatemala, sampai Amerika memburunya sebagai sumber berita.

Tidak melulu mengeksposnya sebagai penyandang down syndrome,  pers justru lebih banyak mengulas karya-karyanya yang memang memikat.  Terutama permainan bordir yang rumit sekaligus indah, serta warna-warna cerah yang memancarkan keberanian. Puncaknya, ia masuk dalam 100 Inspirational Woman 2016 versi BBC.

Semua ini membuat pintu kesempatannya makin terbuka. Ia sering diundang untuk menggelar karyanya di berbagai ajang fashion show. Oktober tahun lalu, ia terbang ke Meksiko untuk menggelar koleksinya di pameran tekstil internasional Exintex. Tahun 2017 ini, jadwalnya sudah padat oleh undangan serupa, beberapa di antaranya tampil di ajang fashion show di Miami, Chicago dan Paris. Lalu, apalagi yang masih menjadi impian Isabella?

“Saya ingin terus mendesain dan mengekspor karya saya ke seluruh dunia. Saya ingin orang melihat apa yang mampu dilakukan oleh anak-anak down syndrome. Ketika mereka tumbuh dan hidup di tengah dukungan keluarga dan komunitas yang penuh cinta, maka tidak ada yang tidak bisa kami lakukan,” ungkapnya.

Ia ingin menginspirasi semua orang yang sedang berjuang agar mereka tidak menyerah dalam mewujudkan impian. Mungkin penyandang down syndrome butuh usaha dan energi dua kali lipat lebih besar, tapi pada akhirnya mereka bisa menjadi sosok yang berhasil. “Lihat saja saya. Kelak saya ingin bisa hidup mandiri dan mencukupi diri sendiri 100 persen. Jadi, bermimpilah sebesar mungkin, kemudian wujudkanlah,” tegas Isabella.(f)
 
Eyi Puspita (Kontributor - Jakarta)
 


Topic

#kisahsejati

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?