True Story
Keterbatasan Fisik Tidak Menghalangi Eman Sulaeman Sukses Jadi Penjaga Gawang

7 Jan 2017


Foto: Dok. Komunitas Cemara
 

Eman Sulaeman (28) lahir sebagai penyandang disabilitas. Kaki kirinya sebatas lutut, sedangkan kaki kanannya hanya mencapai pergelangan. Namun, keterbatasan fisik itu tidak menjadi penghalang untuk melakukan aktivitas berat, termasuk berolahraga, khususnya sepak bola. Pada tahun 2010, ia membentuk klub futsal dan telah meraih beberapa kali juara dalam berbagai kompetisi di tingkat Kecamatan Jatiwaringin, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Ia meraih penghargaan sebagai penjaga gawang (kiper) terbaik dalam ajang Homeless World Cup (HWC) 2016, sebuah kompetisi sepak bola jalanan tingkat dunia di Glasgow, Skotlandia, Juli 2016 lalu.
    
SEMPAT DIRAGUKAN
Aksi Sule, begitu ia akrab disapa dalam ajang HCW 2016, mencuri perhatian dunia. Sejumlah media internasional pun menyorotnya karena kepiawaiannya menghalau bola yang berusaha dimasukkan oleh pihak lawan ke gawangnya. Sedikit pun ia tak lengah. Baginya, mempertahankan gawang ibarat mempertahankan harga diri bangsa. Ia menendang dan melempar bola begitu cepat. 

Sule tergabung dalam tim Komunitas Rumah Cemara yang tiap tahun mewakili Indonesia di HWC sejak tahun 2011 lalu. Kompetisi sepak bola jalanan (street-soccer) internasional itu diikuti kaum miskin kota, pengidap HIV/AIDS, anak jalanan, dan kaum marginal lainnya dari seluruh dunia.

Pria kelahiran Majalengka, 7 Februari 1988, ini memang sangat jauh berbeda dari pemain lainnya. Selama bermain di lapangan, ia bertumpu pada kaki kanannya, sementara tangan kirinya ikut membantu menahan badan ketika sedang menguasai bola. Kadang kala, kaki kanannya ia tekuk sampai lutut agar sejajar dengan kaki kirinya.

Mencari pengalaman dan mengenal serta menjalin hubungan baik dengan banyak orang adalah motivasinya mengikuti ajang ini. “Lewat ajang ini pula saya ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa penyandang disabilitas seperti saya bisa melakukan sesuatu yang membanggakan, bila diberi kesempatan,” katanya, tegas.

Dengan didukung oleh asosiasi sepak bola Eropa, Union of European Football Associations (UEFA), dan klub-klub besar dunia seperti Manchester United dan Real Madrid, serta pesepakbola internasional seperti Didier Drogba dan Rio Ferdinand, ajang yang hanya boleh diikuti sekali seumur hidup oleh setiap peserta ini diharapkan memberikan perubahan postitif bagi pesertanya, begitu pula Sule.

Sule memiliki peran penting hingga tim Indonesia menduduki peringkat 7 dari 52 tim dari seluruh dunia. Hasil yang dicapai Indonesia kali ini merupakan hasil yang terbaik dibanding dengan hasil sebelumnya. Dalam 3 tahun belakangan, prestasi Indonesia mengalami penurunan. Tahun 2013 lalu saat ajang ini berlangsung di Poznan, Polandia, Indonesia berhasil menduduki peringkat 8. Namun setahun berikutnya di Santiago, Chile, malah turun ke urutan 10. Pada ajang tahun lalu Tim Indonesia malah kembali merosot tajam turun ke peringkat 17 yang berlangsung di Amsterdam, Belanda.

Bergabung di dalam tim wakil Indonesia tidaklah mudah bagi Sule, ada proses seleksi ketat yang harus ia lewati. Ia harus bersaing dengan 12 pemain dengan tubuh normal.

Sule mengetahui tentang Komunitas Rumah Cemara sekaligus tentang kompetisi HWC sejak tahun 2014 lalu. Seorang teman yang juga pemain sepak bola dengan latarbelakang sosial sebagai warga miskin kota Bandung menganjurkannya mengikuti seleksi. 

Ia pun mengumpulkan beragam informasi lewat media sosial tentang Komunitas Rumah Cemara. Didukung dengan pemberitaan di media televisi. Namun, karena masih minim rasa percaya diri, ia pun mengurungkan niatnya. “Rumah Cemara merupakan sebuah komunitas yang memperjuangkan hak-hak kaum terpinggirkan, seperti penyandang disabilitas, yang berbasis di Kota Bandung,” ujar Sule.

Di bulan Maret 2016, ia memberanikan diri untuk mendaftar dan mengikuti seleksi. “Pelatih dan manajer sempat mempertanyakan kemampuan saya kepada teman saya. Teman saya bilang kepada mereka, silahkan dicoba dulu,” ungkapnya.

Melihat kemampuan Sule yang sama dengan orang normal lainnya. Ia pun dinyatakan lolos dan berhak menduduki posisi sebagai kiper utama tim Indonesia. Ia satu-satunya penyandang disabilitas pertama yang masuk dalam tim Indonesia. Selama bertanding di Glasgow, Skotlandia, ia bermain sebanyak 11 kali, sedangkan 2 pertandingan lainnya digantikan oleh kiper cadangan, Wira Danu.

“Dibandingakan dengan Wira, usia saya lebih muda. Saya juga sangat lincah di lapangan. Mungkin itu hal-hal yang membuat pelatih memilih saya sebagai kiper utama,” ujarnya, bangga.

Ia mengungkapkan bahwa lawan tersulit dalam HWC 2016 adalah juara bertahan Meksiko dan Portugal. Dua negara itu jugalah yang disebut-sebut Sule memiliki kiper yang berkualitas. Meskipun begitu, ia tetap terpilih sebagai kiper terbaik HWC 2016.
 
PANTANG MENYERAH
Sepak bola bukanlah mainan baru bagi Sule. Ia mengenal dan mulai bermain sepak bola sejak usia 8 tahun. Ia dan abangnya bernama Jaja, kerap main bola di halaman atau di ruang tamu rumah orang tuanya dengan menggunakan bola plastik. “Dari sini saya mulai belajar mandiri. Saya suka sekali bermain sepak bola. Makanya berusaha walau fisik saya tebatas,” katanya. Kaki palsu dan tongkat yang disediakan oleh orang tuanya pun tidak digunakan. Sule justru merasa lebih nyaman tanpa kedua alat bantu itu kemana pun ia pergi. 

Kegemarannya main bola terus berlanjut. Sepulang sekolah, setelah belajar, ia menyempatkan diri bermain bola, untuk menghibur diri. Selain itu, ia juga membuktikan kepada orang-orang di sekitarnya, bahwa walau fisiknya tidak lengkap, bukan berarti ia lemah. 

Bersama abangnya, Sule membentuk sebuah klub futsal (permainan bola yang dimainkan oleh 2 tim, terdiri atas 5 orang setiap tim) bernama Majachelsea FC pada tahun 2010 lalu. Klub futsal yang awalnya hanya beranggotakan 3 orang itu, kini menjadi tim solid beranggotakan 12 orang.

Majachelsea FC menjadi klub unggulan setiap kali mengikuti pertandingan. Buktinya, Sule dan timnya 3 kali menjuarai kompetisi tingkat kecamatan. Tahun lalu mereka mencapai babak 8 besar Bupati Cup Majalengka 2015. Klub ini memang unik. Mereka tidak memiliki pelatih kepala atau pun manajer untuk mengatur tim. Mereka lebih mengedepankan kebersamaan dan rasa hormat satu sama lain.

Penampilan Sule di tengah lapangan futsal menjadi daya tarik penonton. Mungkin karena kondisi fisiknya yang berbeda dengan yang lain ini, setiap kali Sule dan timnya bermain, penonton pun membludak. Sorak-sorai dan tepuk tangan berkumandang. “Kalau tim lain yang bertanding, jumlah penonton tidak terlalu banyak,” katanya.

Kebahagian tak terhingga pun dirasakan Sule, ia merasa telah memberikan manfaat kepada orang lain. Dengan penampilannya, ia menghibur puluhan bahkan ratusan orang. Sorakan penonton menjadi pembakar semangat Sule. “Dulu saya canggung karena malu, tapi sekarang tidak lagi karena sudah terbiasa tampil di depan orang banyak,” katanya.

Sebelum futsal populer dan menjadi kiper, dulu Sule bermain sepak bola biasa dengan lapangan berukuran luas. Ia bahkan sempat menjadi penyerang. Ia buktikan kepada teman timnya, lawan, dan penonton akan kemampunnya dengan mencetak gol. Sejak saat itu, ia tidak pernah diremehkan. Meski ia mengakui sering merasa kesakitan bila kerikil di dalam lapangan membuat kakinya terluka. Sebab ia tidak pernah memakai sepatu seperti pemain lainnya. 

“Bagi yang pertama melihat pasti heran dan merasa aneh, bahkan tidak sedikit yang bertanya bagaimana dan dimana saya berlatih. Saya tidak pernah mengikuti program latihan apa pun, semua saya pelajari secara autodidak,” ungkap anak bungsu dari 8 bersaudara ini.

Menonton siaran pertandingan sepak bola di televisi dan mengamati orang -orang saat bermain sepak bola, begitulah cara Sule mempelajari semua teknik tentang sepak bola.

Walau suka bermain bola, ia tak mengabaikan pendidikannya. Ia menyelesaikan pendidikannya dari jenjang SD sampai perguruan tinggi dengan baik hingga meraih gelar Sarjana Teknik dari Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon.

Semua itu ia tempuh dengan perjuangan yang berat. Selain berjuang untuk menggerakkan tubuhnya, ia juga harus berjuang melawan ejekan dari lingkungan rumah dan teman-teman sekolahnya.

Olok-olok sangat dirasakan Sule ketika ia masuk SMP. Hal ini pun sempat membuat prestasi akademiknya merosot karena rasa minder. Dari yang awalnya 3 besar di SD. Di SMP hanya masuk dalam peringkat 10 besar. “Teman-teman katain saya si buntung,” kata alumni SDN 1 Tegalsari, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka ini, kesal.

Atas dukungan dari guru dan kedua orang tuanya, Suhana dan Opi Sopiah ia pun bangkit dengan kepala tegak. Ia tidak pernah malu menatap atau berinteraksi dengan orang lain. “Guru-guru saya berkata, saya tidak akan maju bila terus minder,” ujarnya. Ucapan itu menjadi penyemangatnya hingga sekarang.

Orang tuanya pun tidak pernah membedakan-bedakan kasih sayang mereka. Semua mereka perlakukan sama. Begitu pula dengan Sule yang dengan keterbatasan fisik, bebas memilih sekolah yang diinginkan.

Atas saran dari guru SMPnya, ia pun meneruskan sekolahnya ke SMKN 1 Maja, Kabupaten Majalengka dengan mengambil jurusan Teknik Elektro. “Jurusan itu memang cocok untuk saya, sebab proses kerjanya tidak membutuhkan pergerakan atau aktivitas fisik yang berlebihan,” ujarnya.

Setelah lulus dari SMKN 1 Maja, ia meneruskan kuliahnya di Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon dengan mengambil jurusan Teknik Telekomunikasi. Dua tahun setelah kuliah, ia pun mendirikan usaha counter ponsel di dekat rumahnya dengan melayani service handphone. “Awal kuliah, saya sempat kost selama 2 tahun. Kemudian saya pindah agar bisa mengurus bisnis,” ungkapnya. Sejak saat itu, semua kebutuhan kuliahnya ia tanggung sendiri.

Kemana pun ia pergi, Sule memang tidak pernah memakai alat bantu. Ia justru merasa tidak nyaman dan gerak-geriknya terbatas bila memakai alat bantu. Begitu pula kalau ada orang yang hendak membantunya berjalan, ia akan menolaknya secara halus. “Dulu teman-teman di kampus suka kasihan melihat saya yang sibuk mengurus tugas-tugas dan skripsi. Saya bilang ke mereka, saya bisa, kok,” katanya. Bila hendak pergi jauh atau kampus, ia diantar naik motor oleh abang atau temannya.

Sebagai penyandang disabilitas, Sule selalu memegang teguh prinsip hidupnya yaitu, kerja keras, tidak mengeluh, dan selalu rendah hati.
Kini, setelah HWC 2016, ia pun bertekad membagi ilmu dan pengalaman yang ia miliki. Sejak Oktober 2016 lalu, ia melatih sepak bola di salah satu lapangan futsal di dekat rumahnya, 2 kali per minggu.

Ia melatih sekitar 20 anak tanpa meminta biaya. Siapa pun boleh mengikuti asal disiplin dan mengikuti arahannya. Sule melakukan hal tersebut untuk memberikan kebahagian kepada orang lain dan juga untuk memperoleh kebahagiaan. “Soal uang, saya bisa cari di bidang lain. Namun, kebahagiaan belum tentu,” katanya. 

Untuk jiwa berbagi ini, ia terinsipirasi dari idolanya Christiano Ronaldo yang berasal dari keluarga kurang mampu, namun ketika berada di puncak kejayaan, dia banyak membantu anak-anak dari seluruh dunia termasuk korban tsunami Aceh.  

Ia pun berencana segera menikah dengan pacarnya yang telah menjalin hubungan selama 4 tahun dengannya. Tujuannya agar ada orang yang membantu untuk mengembangkan bisnis, serta melakukan aktivitas lainnya.(f)
 


Topic

#kisahsejati

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?