True Story
Kemal M. Rizky Avicenna Bersinar di Tengah Keterbatasan

8 Jun 2016


Foto: Dok. Pribadi

“Saya ingin mengampanyekan pentingnya respek terhadap mereka yang berbeda, yang memiliki keterbatasan, terutama penyandang disabilitas intelektual yang lebih dikenal dengan sebutan down syndrome,” ujar Kemal M. Rizky Avicenna (16).
 
Aspirasi penyandang tunagrahita (down syndrome) ini ia tuangkan dalam proposal yang terpilih menjadi lima proyek terbaik dalam 2015 Special Olympics Social Impact Summit yang diselenggarakan bersamaan dengan 2015 Special Olympics World Summer Games di Los Angeles, Amerika Serikat.
 
Kurangnya penghargaan terhadap kaum difabel yang masih mengakar di negeri ini, berusaha dikikis Kemal lewat sederet prestasi nasional dan internasional yang ia torehkan.  
 
Disiplin Terapi
Sukacita yang seharusnya mewarnai kelahiran Kemal langsung pupus ketika dr. Med. Lita Lilik Wargawidjaya, SpOG, dokter yang menangani kelahiran Kemal pada 8 Juli 2000, menyampaikan kemungkinan adanya kelainan down syndrome. Padahal, bayi lelaki berbobot 3 kg, panjang 48 cm, yang lahir di usia kehamilan 39 minggu itu terlihat sehat dengan tes Apgar (serangkaian pemeriksaan untuk menilai kemampuan bayi baru lahir beradaptasi terhadap kehidupan di luar). Tetapi, ciri-ciri fisik khas, seperti ukuran kepala yang lebih kecil, kelopak mata sipit, hidung pesek, dan mulut lebar, yang menjadi penanda kasatmata seorang tunagrahita, ada pada diri Kemal.
 
Tunagrahita merupakan abnormalitas perkembangan sepasang kromosom yang saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Pada individu penyandang down syndrome, akan terdapat kromosom yang berjumlah 47 buah, sementara pada individu normal terdiri dari 23 pasang (46 buah). Kelainan ini mengakibatkan hambatan perkembangan fisik dan mental. Sampai saat ini penyebab pasti kelainan tersebut belum diketahui. Wanita yang hamil di atas usia 40 tahun  memiliki peluang melahirkan anak-anak dengan kerusakan kromosom 1:100.
           
Sang ibu, Early Roza (44), merasa kelahiran Kemal justru menjadi pukulan berat baginya saat itu. “Saya sangat sedih dengan kondisi anak saya. Perasaan kecewa, bingung, dan khawatir silih berganti menyerang saya di bulan-bulan pertama setelah kelahiran Kemal. Apalagi saya masih merasakan sakitnya bekas operasi Caesar, hingga rasanya badan dan pikiran saya babak belur,” kisah Early, yang pernah mencoba bunuh diri karena depresi berat.
 
Untungnya, ayah Kemal, Alphieza Syam (43), tak surut membesarkan hati dan mengajak istrinya untuk cepat melakukan tindakan yang dibutuhkan Kemal ketimbang berkubang dalam air mata berkepanjangan. Usia 10 hari, Kemal kecil diperiksa kromosomnya lewat uji laboratorium. Hasilnya, Kemal positif mengidap kelainan kromosom.
           
“Saya merasa terempas dan hanya bisa duduk lemas dengan pandangan kosong mendengar vonis dokter saat itu. Hati saya hampa. Saya masih belum bisa menerimanya. Apa salah saya sampai diberi cobaan berat seperti ini? Bagaimana cara membesarkan anak seperti ini?” kenang Early, yang melahirkan Kemal di usia 28 tahun. Benak Early dipenuhi kecemasan akan masa depan anaknya yang diperkirakan akan lemah daya tangkapnya.
           
Pasangan suami-istri ini akhirnya mengikuti saran dokter untuk memberikan Kemal terapi tumbuh kembang sedini mungkin. “Di usia 3 minggu, Kemal mulai menjalani sederet terapi yang dibutuhkan, yaitu fisioterapi untuk motorik kasarnya, terapi okupasi untuk melatih motorik halus, dan terapi wicara karena biasanya tunagrahita mengalami masalah keterlambatan bicara,” jelas Alphieza.
 
Sebagai seorang ibu, tentu saja tak mudah bagi Early untuk melihat bayi kecilnya menjerit dan menangis keras karena harus dijungkirbalikkan dan ditarik-tarik anggota badannya dalam sesi terapi. Paket terapi Kemal yang diberikan seminggu sekali oleh tim dokter, yaitu dokter fisioterapi, dokter anak, dokter saraf, dan psikolog, harus dilanjutkan juga di rumah agar hasilnya maksimal.
 
Kemal juga harus menjalani pengecekan tiroid  tiap 3 bulan sekali. Jantungnya yang tak berkembang sempurna juga harus dikontrol tiap 6 bulan sekali. Tak hanya Kemal yang diterapi, orang tuanya pun dibekali ilmu pedagogi atau pelatihan cara mengajari anak-anak berkebutuhan khusus di Klinik Tumbuh Kembang RS Harapan Kita, Jakarta Barat.
 
Yang lebih melegakan, ternyata ada wadah support moral bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita di RS Harapan Kita. Pertemuan yang diadakan Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndome (POTADS) tiap dua bulan sekali di RS  Harapan Kita  memberi kesempatan pada Early dan Aplhieza untuk curhat dan berbagi informasi lewat seminar-seminar seputar pengasuhan penyandang tunagrahita.
 
“Saya mendapat penguatan dari orang tua lain yang senasib, dan melihat ternyata banyak anak-anak tunagrahita yang sudah dewasa bisa mandiri dan mereka baik-baik saja. Ternyata, tak seburuk yang saya kira,” ujar Early lega, dan bisa move on setelah Kemal berusia 3 bulan.
 
Saat itu ia juga menyadari bahwa banyak wanita yang mendambakan buah hati, seperti kakak dan kakak iparnya, tapi tak kunjung mendapatkannya. Hatinya pun mulai terbuka untuk bisa menerima Kemal dan mencintainya sepenuh hati.
  

Foto: Dok. Pribadi
Masuk Sekolah Inklusi
Pengorbanan waktu, uang, dan dukungan kasih sayang yang dikucurkan tak habis-habisnya untuk Kemal mulai menunjukkan hasil. Sejalan waktu, perkembangan Kemal terlihat bisa menyamai perkembangan anak-anak non-difabel. “Kami senang sekali melihat Kemal sudah bisa berjalan sebelum usianya mencapai 2 tahun,” kata Early, penuh syukur.
 
Di usia 5 tahun, terapi Kemal berakhir dan ia mulai dipersiapkan untuk masuk TK.  Awalnya, Early dan Alphieza hendak menyekolahkan Kemal di sekolah luar biasa (SLB). Namun, psikolog yang menangani terapi Kemal menyarankan agar Kemal bersekolah di sekolah umum, melihat kelambatan intelektualitas Kemal hanya sedikit di bawah anak-anak normal. Alasannya, dengan membiasakan Kemal berinteraksi dengan orang-orang non-difabel, akan membuatnya lebih siap menghadapi masyarakat umum.
 
Ketika bersekolah di TK Patra I, Rawamangun, Jakarta Timur, tak ada hambatan berarti karena beban akademisnya belum berat. Ketika akan masuk SD dua tahun berselang, barulah Early merasakan sulitnya mencari sekolah yang mau menerima Kemal.
 
“Bahkan, belum tes pun mereka sudah menolak. Malah ada sekolah yang mau menerima, tapi membebankan biaya tiga kali lipat lebih mahal,” kata Early. Ia menyesalkan diskriminasi administrasi dan kurangnya kesempatan anak-anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak belajar mereka.  
 
Setelah puluhan sekolah disusuri, akhirnya mereka menemukan SD Al Jannah Islamic Full Day School di Cibubur, Jakarta Timur, yang ramah untuk para difabel. Sekolah ini menerapkan pendidikan inklusi yang  menggabungkan layanan pengajaran untuk siswa umum dengan siswa berkebutuhan khusus secara bersamaan dalam satu kelas. Bahan ajar disesuaikan kebutuhan masing-masing anak. Misalnya, untuk pelajaran matematika siswa berkebutuhan khusus proses dan materinya disederhanakan.
 
Dalam satu kelas dibatasi dua anak berkebutuhan khusus yang mendapat pendampingan. Sistem ini memberi keuntungan kepada dua belah pihak. Siswa umum mendapat kesempatan menumbuhkan empati dan menghargai perbedaan, sementara siswa berkebutuhan khusus memperoleh lingkungan yang mengajarinya beradaptasi.  
 
“Jarak sekolah di Cibubur dengan rumah kami di Rawamangun yang jauh tak kami hiraukan. Sejauh apa pun akan kami kejar dan perjuangkan. Tiap hari, jam 5 pagi kami sudah bergerak menyusuri jalan yang masih lengang. Semua demi anak kami bisa mendapat kesempatan belajar dan berinteraksi dengan siswa umum,” tutur Alphieza, yang sering mengajak anaknya ikut main ke kantor ini untuk belajar bersosialisasi.
 
Mengajari anak tunagrahita menjadi tantangan sendiri bagi orang tua. Tak terkecuali keluarga kecil ini.
 
 
“Kemal sempat frustrasi ketika belajar membaca, tapi tak kunjung bisa. Akhirnya saya baru sadar bahwa anak tunagrahita punya keterbatasan rentang konsentrasi. Jadi, cara belajar Kemal itu harus dicicil dengan batas waktu belajar 15-30 menit saja,” kata Early, yang selalu memotivasi anak tunggalnya ini untuk tekun berusaha dan disiplin.
 
Kemal yang akhirnya bisa membaca di usia 7 tahun ternyata sangat menyukai pelajaran noneksakta.
 
“Saya suka membaca sejarah tentang perang dunia, sejarah Islam di Turki, dan isu yang lagi hangat sekarang seperti tentang kebangkitan bahaya laten PKI atau pergerakan teroris Abu Sayyaf di Filipina,” kata Kemal, yang juga tak pernah melewatkan berita olahraga di koran dan isu aktual di televisi.
 

Foto: Dok. Pribadi
DUTA NEGARA
Tahun 2009, di usia 9 tahun, Kemal mulai ikut bergabung dengan Special Olympics Indonesia (SOIna) yang menjadi wadah bagi anak-anak tunagrahita untuk mengembangkan kepercayaan diri mereka lewat kompetisi olahraga dan kegiatan kepemudaan. Keanggotaan gratis ini bisa diikuti oleh tunagrahita mulai dari usia 2 tahun.
 
“Waktu Kemal kecil, kinestetiknya bagus. Ia anak yang lincah sehingga gurunya menyarankan untuk ikut Special Olympics. Ternyata ia senang sekali  dan menunjukkan minat besarnya mempelajari Bocce,” ujar Early.
 
Bocce adalah olahraga rekreasi melemparkan bola agar mengenai bola lainnya, diperuntukkan khusus penyandang tunagrahita.
 
Hanya butuh waktu setahun bagi Kemal untuk menunjukkan bakatnya. Ia langsung menyabet medali emas di kompetisi pertamanya, yaitu pada Pekan Olahraga Nasional (PORNAS) Special Olympics Indonesia 2010.
 
Di Special Olympics inilah kemandirian, disiplin, dan kepercayaan diri Kemal dibentuk. Sebelum mengikuti kejuaraan, Kemal yang saat itu masih berusia 10 tahun harus mengikuti karantina selama 2 minggu.
 
“Itu saat-saat berat buat ibunya, sampai nangis  tiap hari. Tapi, kami harus menguatkan diri sebab mengikuti kompetisi ini tak sekadar menang atau kalah, tapi mengajarkan hidup dan membangun karakter anak saya,” kata Alphieza.
           
Sejak kemenangan pertamanya itu, semangat juang Kemal makin terbakar. Ia semakin termotivasi untuk menggali terus potensi dirinya. “Saya ingin orang lain juga melihat bahwa penyandang disabilitas juga mampu jika diberi kesempatan,” kata Kemal, penuh percaya diri.
           
Tiap tahun, kemal mengumpulkan medali emas, perak, dan perunggu dari berbagai kompetisi cabang olahraga Bocce, seperti di kejuaraan Olahraga Wilayah Terbatas Special Olympics Indonesia, perayaan Eunice Kennedy Shriver Day 2012, dan Pekan Olahraga Daerah (PORDA) DKI Jakarta.
 
Tak hanya lingkup nasional, Kemal juga mewakili Indonesia di kompetisi olahraga tingkat internasional, di antaranya  kejuaraan Special Olympics Asia Pacific Regional Games   2013 di Australia dan membawa pulang medali emas dan perunggu.
 
Ia juga menjadi duta Youth Leader Special Olympics Indonesia dalam Global Youth Activation Summit Special Olympics World Winter Games di Korea Selatan tahun 2013. Berawal dari olahraga, Kemal pun mulai mengasah jiwa kepemimpinannya. Tahun lalu, Kemal mewakili Special Olympics Indonesia dan Special Olympics Asia Pacific di ajang Special Olympics Social Impact Summit di Los Angeles, Amerika.
 
Di ajang prestisius inilah proposal proyek yang diajukan Kemal dan sepupunya, Farhan Arandra (18), yang non-difabel, tentang menanamkan respek masyarakat pada difabel, terutama tunagrahita, menjadi proposal 5 terbaik yang terpilih dari 120 peserta yang mewakili 30 negara.
           
“Jujur, saya tak menyangka Kemal bisa menjadi seperti sekarang ini. Hati  saya lega mengingat perjuangan kami yang panjang menyiapkan dia terjun ke masyarakat. Nyatanya, ia tak sekadar survive, tapi bisa mencetak banyak prestasi, mengalahkan keterbatasannya,” papar Early, bahagia.
           
Kemal yang juga menyukai musik dan bisa bermain biola ini kini tengah giat mempelajari panahan yang dikenal dari ekskul di sekolahnya, SMP Homeschooling Kak Seto, di Jati Bening, Bekasi. “Saya ingin bisa jadi atlet panahan nasional!” kata Kemal, penuh semangat. 
           
Alphieza juga tak kalah bahagia dengan pencapaian Kemal saat ini, meski sering terselip kekhawatiran. “Memiliki anak berkebutuhan khusus, kecemasan orang tua biasanya memikirkan bagaimana masa depan sang anak nanti. Setelah lulus sekolah, mau ngapain?
 
Sebab, tak dipungkiri di Indonesia memang masih kuat diskriminasi, tak banyak perusahaan yang mau menerima difabel, meski mereka mampu. Meski demikian, orang tua Kemal tetap bertekad menyekolahkan Kemal setinggi mungkin, yaitu melanjutkan kuliah.   
           
“Yang terpenting bukanlah menjadi pemenang atau sukses. Tapi, keberanian mencoba, berani melakukan apa yang orang non-difabel lakukan, dan menjadi inspirasi bagi banyak orang lain, lebih bermakna buat saya,” kata Kemal. (f)

BAHAN: DESIYUSMAN MENDROFA
 


Topic

#prestasiditengahketerbatasan

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?