True Story
Kadek Windari Melukis Kehidupan yang Lebih Baik

28 Jul 2016


Tubuhnya melemah. Ruas-ruas tulang tak mampu menopang bobot badannya. Duduk pun terasa sulit baginya, apalagi untuk berdiri. Tulang punggungnya berubah bentuk menjadi bengkok. Ia lumpuh di usia 6 tahun!
 
Setelah 18 tahun ia hidup dalam keterpurukan, sejak tahun lalu Kadek Windari (25) berhasil menemukan talenta terpendam: melukis. Karyanya kini dijual hingga ke luar negeri, seperti Australia, Belanda, dan Amerika Serikat.   
 
Inspirasi Mahatma Gandhi
Winda terlahir sehat di sebuah rumah sakit di Kabupaten Gianyar, Bali. Sama seperti anak-anak lain, ia tumbuh dengan baik, begitu ceria dan bahagia. Namun, di usia 6 tahun ia mulai merasakan ada yang tidak beres pada tubuhnya. Winda kecil yang gesit berlari ke sana kemari,  makin lama makin tak mampu untuk berdiri.
 
Semua itu berawal ketika Winda yang lahir pada 9 Desember 1990 itu tersandung dan terjatuh di halaman rumah. Setelah itu, ia mulai menyadari bahwa tubuhnya mulai tidak bisa berdiri dalam waktu lama. Gadis kecil yang lincah itu tak lagi bebas bergerak dan bermain dengan teman-temannya. Hingga pada tahun 1997, Winda pun sama sekali tidak mampu lagi untuk berdiri. 
 
Kondisi fisik Winda  makin lama makin lemah. Tulang punggungnya juga membengkok. Daging di tubuh  makin menyusut hingga tubuhnya terlihat seperti tinggal kulit pembalut tulang.
 
Sudah berkali-kali diperiksakan ke dokter, tapi tidak ditemukan penyebab dan nama kelainan yang ia derita. Sempat diduga sebagai polio, tetapi ternyata bukan. “Saya sudah mendapatkan imunisasi polio secara lengkap,” katanya.
 
Sama seperti Winda, kakak laki-lakinya, Agus Setiawan (29), juga mengalami kelumpuhan. Agus lumpuh sejak usia 8 bulan. Di usia  itu, harusnya ia sudah bisa duduk, tapi tidak bisa. Dokter yang merawatnya kala itu juga belum bisa mendiagnosis kelainan yang Agus derita.
 
Adik mereka pun demikian, fisiknya sama seperti Winda dan Agus. Namun, adik mereka meninggal pada tahun 2012 di usia 11 tahun. Sebelum meninggal, sang adik sempat menjalani perawatan selama 1,5 bulan di rumah sakit. 
 
Kondisi tubuh yang seperti itu membuat Winda dan Agus tidak bisa mengenyam pendidikan. Mereka belajar membaca dan menulis dari ibunya, Komang Warsiki (46). Dengan menggunakan lidi, ibunya menulis berbagai angka dan huruf di lantai rumah mereka yang masih berupa  tanah kala itu.
Ajaran sederhana itu membuat Winda dan abangnya dapat membaca, menulis, dan berhitung. “Ibu saya tidak mampu membeli peralatan menulis, seperti buku dan pensil,” ungkapnya.   
 
Kondisi ekonomi yang lemah dan kondisi fisik yang seperti itu menjadi alasan orang tua untuk tidak menyekolahkan mereka. Apalagi, ibunya harus merawat 3  anak yang lumpuh. “Kondisi ekonomi orang tua saya sangat memprihatinkan. Upah harian Bapak sebagai tukang ukir kayu sebesar Rp15.000 per hari tidak menutupi kebutuhan keluarga,” kata Winda, sedih.
 
Untuk menutupi biaya pemeriksaan Winda, Agus, dan adiknya yang dilakukan 1 kali per 6 bulan di rumah sakit, ibunya harus mencari pinjaman ke sejumlah orang. Mereka juga mendapat bantuan rutin sebesar Rp300.000 per bulan dari Kementerian Sosial RI yang diberikan sejak tahun 2007 lalu.
 
Pada tahun 2002, mereka pindah dan menetap di Desa Banjarasem, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali, kampung halaman ibunya. Sejak itu pula ibunya mulai mengurangi waktu berkunjung ke dokter atau rumah sakit karena penyakit Winda, Agus dan adiknya tetap tidak bisa ditentukan. Kondisi Winda pun tak kunjung membaik. Beberapa bulan kemudian, Winda menyerah, total berhenti melakukan pemeriksaan hingga sekarang. 
 
Memasuki masa remaja, sekitar usia 12 tahun, Winda mulai merasa sedih dengan kondisi fisiknya. Di kala anak seusianya bebas bergerak dan melakukan semua hal yang mereka inginkan, Winda malah duduk-duduk atau tiduran saja di rumah.
 
Hari-harinya terus dirundung kesedihan ketika melihat teman-temannya sudah lulus SMA, meneruskan pendidikan di bangku kuliah, atau bekerja. Tak banyak yang ia lakukan selain menggambar dan membaca buku-buku karya Mahatma Gandhi yang dibelikan orang tuanya.
 
Ternyata, lewat Gadhie-lah mata hatinya terbuka. Dari sana ia mendapat pelajaran tentang kehidupan. “Buku itu mengajarkan saya untuk lebih kuat dan tabah menghadapi masa sulit,” katanya, bersemangat.
 
Winda sadar bahwa tiap orang lahir dengan membawa kekurangan dan juga kelebihan masing-masing. “Hidup memang tidak mudah, tapi saat kita bisa menjalaninya dengan ikhlas, maka kehidupan pasti akan terasa lebih menyenangkan,” ujarnya.
 
Melukis dengan Hati
Menggambar memang bukan hal baru bagi Winda. Sejak mengalami kelumpuhan, bersama abangnya, ia gemar menggambar banyak hal di kertas-kertas bekas untuk membunuh rasa bosan. Semua yang ia gambar adalah hasil imajinasi yang terlintas di kepala. Sebab, tidak ada sumber inspirasi yang ia lihat. “Dalam satu tahun, dapat dihitung berapa kali kami keluar rumah,” katanya.

Nasib baik menghampiri Winda ketika seorang pengusaha bernama Santiawan dari Nusa Dua, Bali, datang memberi bantuan untuk keluarga Winda pada hari raya Imlek 2015 lalu. Melihat gambar-gambar karya Winda di sejumlah kertas yang menyimpan nilai seni tinggi, Santiawan pun menyumbangkan 4 lembar kanvas serta alat  melukis, seperti cat dan kuas.  “Keahlian menggambar saya alihkan dengan melukis di kanvas,” katanya. Kala itu tak terpikir olehnya bila melukis dapat menghasilkan uang.
 
Walau sudah mahir menggambar,   melukis merupakan hal baru bagi Winda. Ia tak memiliki ilmu dan pengetahuan tentang melukis. Rasa kurang percaya diri sempat menghampirinya. Tiap kali ingin melukis yang dimulai dengan membuat konsep, tangannya bergetar karena takut akan merusak kanvas.
 
Ibunyalah yang menguatkan dan memotivasinya untuk percaya diri. Ia membuang semua rasa takut dari dalam dirinya. Winda terus mencoba dan tidak ingin menyerah. “Saya tidak mau mengecewakan orang yang telah bermurah hati kepada saya,” katanya, tegas.
 
Bagi Winda, dengan hanya masih menghirup udara saja, seseorang tidaklah bisa disebut hidup. Namun, harus melakukan sesuatu yang berguna untuk diri sendiri, keluarga, dan lingkungan sekitar, walau dengan kondisi fisik yang tidak sempurna.
 
Bersama dengan abangnya, Winda menjelajahi dunia maya dengan mencari referensi yang berkaitan dengan seni  lukis. Dari sana mereka mendapat informasi tentang teknik melukis. Winda juga melihat beragam lukisan yang menjadi bahan perbandingan untuknya. “Untuk perpaduan warna, semuanya hasil imajinasi saya,” ungkapnya.
 
Sumber inspirasi Winda biasanya juga ia dapatkan di Google. Berbekal telepon pintar yang diberikan oleh seseorang yang bermurah hati kepada mereka, Agus dapat membantu Winda untuk mencari-cari gambar sebagai bahan referensi. Awalnya, ia melihat foto-foto tentang kehidupan masyarakat Bali. Kemudian ia rekam cerita di foto itu, lalu dituangkan di atas kanvas.
 
Mencari referensi lewat Google harus ia lakukan, sebab ia tidak bisa melihat kehidupan masyarakat Bali secara langsung. Bila keluar rumah, akan merepotkan ibunya. Bahkan untuk sekadar bersantai di teras pun jarang ia lakukan. “Saya memiliki kursi roda, bantuan dari pemerintah, tetapi jarang dipakai, karena tangan saya tidak kuat untuk memutar rodanya,” katanya, sedih. 
 
Ibunya memang supersibuk mengurus Winda, Agus, dan adik bungsu mereka,  Bunga Ayu Lestari (5). Semua hal dikerjakan oleh ibunya, seperti memandikan dan menyuapi  mereka, juga membersihkan rumah, memasak, dan mencuci.
 
Setelah berminggu-minggu mencoba membuat konsep lukisan, hatinya pun kegirangan karena ternyata ia mampu melukis. Melihat karya Winda, terpikirlah oleh Agus untuk menjual lukisan itu dengan memasarkannya di akun Facebook miliknya.
Namun, menjual lukisan tidak mudah, apalagi pelukisnya tidak terkenal. Pemasaran yang dilakukan Agus lewat FB tidak membuahkan hasil. Tiga bulan lamanya, tak ada yang melirik lukisan Winda.
 
Upaya promosi lukisan Winda baru terbantu lewat pemberitaan di salah satu media. Seorang pengusaha bernama Ketut Purnama dari Gianyar yang memang rutin memberi mereka bantuan berupa uang dan sembako, sengaja membawa wartawan media cetak lokal ke rumah Winda. Tujuannya untuk menulis kisah hidup Winda.
 
Benar saja, beberapa hari setelah berita tentang Winda dan lukisannya terbit, pesanan demi pesanan masuk ke inbox message FB Agus. Bahkan, Winda sedikit kewalahan mengerjakan pesanan orang yang jumlahnya melebihi kemampuannya. Dalam 1 bulan, ia hanya mampu menyelesaikan 2-3 buah lukisan. Para pemesan dapat memilih konsep sendiri sesuai  keinginan dengan melihat foto-foto yang diunggah oleh Agus.
 
Ia masih ingat, lukisan pertama yang terjual berukuran 60X90 CM seharga Rp2 juta. “Harga lukisan saya mulai dari Rp1,5 juta sampai Rp2,5 juta,” katanya. Semua lukisannya bertemakan Bali, seperti kehidupan masyarakat di pasar, orang yang sedang beribadah, atau tarian-tarian Bali.
 
Untuk ukuran lukisan, Winda hanya mampu melukis pada kanvas berukuran 50x60 CM atau 60x90 CM. Lebih dari itu, ia tak mampu karena tangannya tidak mampu menjangkau ke seluruh luas kanvas. Bahkan, tangan kirinya harus menopang tangan kanannya, bila memainkan kuas.  
 
Winda dan Agus memang saling mendukung. Selain memasarkan lukisan Winda melalui Facebook, Agus juga menjadi quality control. Pemesan tak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri, seperti Australia, Belanda, dan Amerika Serikat. Para pemesan itu sebagian besar adalah orang Indonesia yang menikah dengan warga negara asing.
 
“Kerabat mereka yang datang ke rumah kami, kemudian mereka mengirim kepada pemesan,” ungkap Winda. Dengan demikian, ia merasa terbantu, sehingga tidak repot lagi mengurus pengiriman. Untuk pesanan di dalam negeri, ibunya yang mengurus pengirimannya melalui kantor pos. Tidak jarang pula para turis asing berkunjung ke rumah mereka.
 
Dari hasil penjualan lukisan, Winda dapat membiayai pengerjaan rumah mereka berukuran 6x10 meter yang terbengkalai pembangunannya setelah ayahnya, Ketut Punia, meninggal karena penyakit lever, 2 tahun lalu. Biaya sebesar Rp24 juta,  berasal dari hasil penjualan lukisan Winda.
 
Sejak kepergian ayahnya, Winda yang menggantikan peran ayah sebagai tulang punggung keluarga. Di usia yang masih muda, ia mengemban  tanggung jawab yang sangat besar. Kepada femina, Agus juga merasa bangga akan kebesaran hati dan tanggung jawab yang diemban Winda. “Ia mampu menjadi harapan keluarga,” tutur Agus.
 
Winda mengungkapkan, ucapan syukur kepada Tuhan yang selalu menguatkan mereka. Ia bersyukur bisa bernapas dan bergerak. Apalagi diberi talenta melukis oleh Tuhan. Selain Ibu, satu-satunya harapan Winda kini adalah adik bungsu mereka, Bunga. Ia berharap, Bunga tidak lagi mengalami kelainan yang sama seperti mereka. Ia bahkan mengambil tekad akan berusaha keras untuk menyekolahkan Bunga setinggi-tingginya, agar masa depannya lebih baik. “Bunga masuk TK tahun ini. Semua biaya masuk sebesar Rp3,7 juta sudah dibayar oleh seorang teman Agus yang tinggal di Filipina,” tutur Winda.
 
Untuk berkenalan dan berkomunikasi dengan orang luar, Agus mengandalkan Facebook. Bahkan, lewat FB pula ia mendapat banyak kenalan yang kemudian tergugah hatinya untuk membantu mereka. “Orang yang bersedia membantu biaya sekolah Bunga, mengenal kami lewat FB,” ungkapnya. Dengan suara bergetar, Winda mengucap syukur karena banyak sekali orang baik yang hadir dalam kehidupan mereka.
 
Meski dengan keahlian terbatas, kini pemasaran yang dilakukan Agus pun  makin rapi dengan membuat sebuah fanpage di Facebook bernama Bali Winda Art Collections. Di sanalah ia memasarkan lukisan Winda,  juga berinteraksi dengan para pembeli, sementara Winda terus fokus untuk melukis.
 
Untuk menghasilkan karya seni yang baik dan disukai orang, Winda mengungkapkan bahwa  tiap kali melukis, ia melakukannya dengan tekun. “Lukisan adalah hiasan yang akan menemani hari-hari tiap orang dengan keluarga tercinta,” kata Winda, yang sudah mendapat tawaran untuk berpameran tunggal dari salah satu universitas di Bali.

Ibu yang Kuat
Bagi Winda dan Agus, ibu mereka adalah wanita tangguh. Pahlawan yang tak pernah mengeluh, sekalipun beban hidup yang dihadapi sangat berat. Tiap hari, Komang bangun pukul 4 pagi. Bekerja tanpa henti mengurus anak-anaknya.   
 
Komang pun merasa bangga memiliki anak seperi Winda dan Agus. Winda dengan keahlian melukis dan Agus yang kini mulai mengasah keahlian di bidang  menulis menjadi hal-hal yang menumbuhkan perasaan bahagia dalam hatinya. “Agus baru saja menyelesaikan naskah buku tentang kehidupan kami. Sekarang sedang proses pengeditan di salah satu penerbit di Jakarta,” kata Komang.
 
Sedikit pun tak ada rasa penyesalan telah melahirkan anak yang cacat fisik. “Saya seperti halnya ibu-ibu yang lain, menyayangi anak-anaknya sepenuh hati,” kata Komang.
 
Memiliki anak sebagai penyandang disabilitas memang tak pernah lepas dari sebuah stigma. Itulah yang dirasakan oleh Komang di lingkungan rumahnya. Cibiran dari beberapa orang pernah ia dengar. Sebagian besar mengatakan bahwa ia memiliki anak dengan kelainan fisik karena karma.
 
Di kampung halamannya pun Komang merasa terasing. Orang-orang menjauhi dan tidak mau berinteraksi dengannya. Ia masih ingat, ketika pertama pindah ke Buleleng, tidak ada tetangga yang bersedia memberikan arus listrik untuk penerangan rumah mereka.
 
Saudara-saudaranya pun mengabaikan dan tak mau tahu tentang kondisi keluarga Komang, mungkin tidak mau direpotkan.     
           
Namun, kesulitan hidup bukan hal yang bisa mematikan semangat Komang. Ia memang sudah terbiasa mengecap kepahitan hidup sejak belia. Di kelas 3 SD, ibunya meninggal, dan ia harus dirawat oleh ibu tiri. Usai lulus SD, ia tidak melanjutkan pendidikan, ia memilih bekerja serabutan untuk membiayai sekolah saudara-saudaranya.
           
Winda, Agus, dan Komang akan sangat terhibur ketika beberapa penderita disabilitas dari sebuah yayasan sosial berkunjung ke rumah mereka  tiap minggu. Mereka saling bercerita dan saling menguatkan. 
             
Belum Terdiagnosis
Karena keterbatasan biaya,  pemeriksaan fisik Winda pun tidak bisa dilakukan. Sehingga, sampai saat ini kelainan yang mereka alami belum terdiagnosis jenis dan penyebabnya.
 
Untuk itu, femina telah mencoba menggali informasi tentang kondisi yang dialami oleh Winda kepada sejumlah dokter, seperti dokter anak, neurolog anak, dan dokter anak subspesialis anak di Jakarta. Namun, dokter tidak bisa menjelaskan karena belum melihat kondisi fisik Winda secara langsung. (f)

Foto: Dok. Pribadi


Topic

#berprestasiditengahketerbatasan

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?