True Story
Chef Ragil Imam Wibowo dan Meilati Batubara: Dari Perut Turun ke Hati

24 Mar 2017


Foto: Dachrie M. S

Ada anggapan yang mengatakan, jangan pernah berbisnis dengan pasangan sendiri. Tapi, bisnis chef Ragil Imam Wibowo (44) justru berkembang pesat karena kerja bareng dengan istrinya, Meilati Batubara (43), yang akrab dipanggil Mei. Penuh gelak tawa, Ragil dan Mei bercerita kepada femina tentang kisah cinta keduanya, di restoran Warung Pasta, Kemang, Jakarta Selatan, milik mereka.
 
Bisnis Bareng  
Niat baik Ragil bolak-balik menggantikan sahabatnya menengok kekasih sahabatnya di Bandung, ternyata berbuah manis. “Biasanya, Ragil beli bahan-bahan di supermarket, dan masak  di tempat kos kami yang penghuninya wanita semua. Tebar pesona dia. Hahaha…!” cerita Mei, membuka pembicaraan. Mei saat itu memang masih kuliah tahun terakhir di Jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung. 

“Modus boleh, dong,” celetuk Ragil.
Kayaknya, sih, saya terpesona. Apalagi saya senang makan…. Dan masakannya pasti hasilnya enak,” tambah Mei.

Padahal, dulu Mei mengaku sempat berhati-hati terhadap Ragil. “Dulu kan ada anggapan bahwa anak-anak NHI itu ‘bandel’, jadi ya… saya agak-agak malas dekat-dekat dia,” kata
Mei, tertawa lagi. Ragil memang lulusan NHI atau sekarang Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung. Saat pertama bertemu Mei pada tahun 1996 itu, Ragil sudah bekerja menjadi chef di Hotel Grand Hyatt, Jakarta.

Penampilan Ragil yang ‘nerdy’, rambut di-bob dan pakai kacamata besar, mungkin yang meyakinkan Mei bahwa Ragil anak baik-baik. Bahkan, orang tua Mei sempat menyangka Ragil adalah dokter.

“Ah, padahal itu ketulah. Ini, sih, casing gue aja yang menipu,” lagi-lagi Ragil menyeletuk.       

Akhirnya, setelah beberapa kali bertemu, saat di Jakarta Ragil memberanikan diri mengajak Mei menemaninya ke pembukaan Twilight Café di Kemang, lalu nonton konser Toto. Obrolan mereka pun nyambung. Saat itu Ragil sudah menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta kepada wanita ini.

“Saya kurang suka wanita yang feminin. Enggak bakal, deh, saya melirik gadis-gadis manja. Meski mereka enggak akan melirik saya juga, sih. Wanita yang pintar dan mandiri yang saya cari,” Ragil bercerita. “Lagi pula, sudah terbukti secara ilmiah,  kalau ibunya pintar, pasti anak-anaknya pintar. Hahaha…,” ujarnya.   
 
Bagi Mei, ngobrol dengan Ragil rasanya berbeda dibandingkan dengan ngobrol dengan teman kuliah yang masih bicara soal skripsi dan main. Karena sudah bekerja, Ragil sudah memandang hidup lebih serius. Ketika yang lain masih bingung mau apa, ia sejak kecil sudah tahu mau jadi chef dan mau hidup seperti apa. “Sudah punya target. Kan enak kalau begitu. Bisa saya jadikan pegangan” jelas Mei.

“Iya enaklah, soalnya besar!” sambar Ragil, tertawa.

Tak menunggu lama, pada kencan kedua, Ragil sudah bertanya kepada Mei apakah mereka ingin serius atau tidak.

“Kalau ya, ayo kita terusin, kalau enggak, ya lebih baik udahan aja,” kata Ragil.

Menurut Ragil, meski terdengar klise, cinta itu hanya bertahan sebentar. Harus diusahakan, karena kalau tidak, cinta tak akan bisa bertahan lama. “Saya mencari teman hidup, bukan sekadar cinta-cintaan,” tambahnya.         

Menunjukkan keseriusannya, pada  tahun 1998 Ragil mengajak Mei untuk membuka warung tenda, yang saat itu sedang tren. Bermodalkan patungan dengan 10 teman yang masing-masing menyumbang Rp1 juta, plus Rp5 juta sumbangan dari orang tua salah seorang teman, Sambel Tomat, nama warung tendanya, pun berdiri.

“Itu pun di garasi rumah teman yang kami sewa dengan amat murah. Tepat di depan Hotel Gran Mahakam yang saat itu sedang dibangun. Tapi, kami  tetap bekerja di kantor masing-masing, karena ini masih proyek coba-coba,” cerita Ragil.

Tidak disangka, meski banyak warung sejenis, Sambel Tomat laris. “Mungkin karena Ragil kan chef. Jadi, dia tahu bagaimana membuat makanan enak, tidak asal-asalan,” kata Mei. Tidak lama setelah itu, mereka ditawari tempat di Kampung Tenda Semanggi, dan berdirilah Dixie. Kebetulan, letak Dixie sangat strategis, tepat di pojok KTS, dan nama kafe Dixie bisa dilihat orang dari jalan raya. “Saat itu kami membuat furnitur dari barang-barang second dengan harga murah, dan desain minimalis. Begitu juga dengan gedungnya yang dibuat dari rangka kayu. Kalau Babe lewat di lantai 2, pasti goyang. Hahaha…!” Mei mengenang sambil tertawa. Babe adalah panggilan mesra Mei kepada suaminya. 

Karena keduanya masih bekerja di kantor masing-masing, kesempatan mengurus pembukaan kafe baru bisa dilakukan di malam hari, bahkan hingga dini hari. “Kadang-kadang, kalau di hotel saya mendapat shift malam, saya enggak bisa mengantar Mei pulang. Terpaksa saya titip ke teman untuk mengantarkan pulang Mei,” cerita Ragil. Bahkan, pernah suatu saat, Mei diantar seorang teman sekitar pukul 1.30 pagi. Karena teman itu tidak turun dari mobil, Mei pun masuk rumah sendirian. Kedua orang tua Mei menyangka putrinya itu pulang sendiri. “Tiga hari kemudian saya dipanggil dan disidang,” kata Ragil, tersenyum kecut.    

Tak mau ribet dengan urusan pulang pagi, mereka pun memutuskan menikah. Apalagi, pada Oktober 1999 itu ada ahli fengsui yang menyarankan mereka untuk menikah pada bulan Januari 2000.  Mereka hanya punya waktu tiga bulan untuk mempersiapkannya. Apalagi mereka juga sedang menyiapkan pembukaan kafe Dixie pada Desember 1999. “Alhamdulillah . Namanya jodoh, ya, semua persiapan berjalan mulus. Dari izin orang tua sampai pemilihan masjid untuk akad nikah dan gedung untuk resepsi,” ucap Mei, bersyukur.  
Akhirnya, setelah membuka dua Dixie, di Jalan Jenderal Sudirman dan di Kota Yogyakarta,   Ragil dan Mei memutuskan keluar dari pekerjaan masing-masing dan fokus mengurusi bisnis mereka. Ragil mengurus semua resep, bahan makanan, dan menu. Sementara Mei bertanggung jawab pada urusan marketing, branding, hingga desain semua resto mereka, yang kini sudah ada 11.   

(Bersambung ke page selanjutnya)
 


Topic

#kisahcinta

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?