True Story
Andini S Antasari, Berdamai Dengan Autoimun

26 Apr 2016


Foto: Fotosearch

“Maaf saya ditemani Ayah dan Ibu,” ujar Andini S. Antasari yang akrab dipanggil Dinis saat bertemu femina. “Autoimun membuat saya sewaktu-waktu bisa pingsan,” lanjutnya tersenyum. Di usianya yang baru 30 tahun, ia harus berjalan dengan bantuan tongkat karena belum terlalu kuat untuk berjalan jauh atau berdiri terlalu lama setelah terserang gejala mirip stroke.

Bukan karena gaya hidupnya yang tidak sehat, tapi stroke ini merupakan bagian manifestasi dari penyakit autoimun yang telah dideritanya sejak lima tahun lalu. Berulang kali hidupnya berada di ujung tanduk, sampai ia harus membelokkan cita-cita hidupnya. Ia tidak ingin makin banyak korban berjatuhan karena ketidaktahuan tentang penyakit ini. Kepada femina, ia mengisahkan semuanya.
 
SINDROM ANAK MAHASISWA
Gejala awal penyakit ini datang saat saya masih kuliah di tingkat 5 Fakultas Kedokteran UI, tahun 2009. Saya sedang menjalani tugas ko assisten (koass) di departemen saraf. Tetapi, saya tidak pernah ambil pusing. Sebab, dari dulu saya memang jarang sakit. Hingga kuliah, hanya sekali saya masuk rumah sakit karena demam berdarah.

Mulanya, saya merasakan nyeri seperti keseleo pada kedua pergelangan kaki. Nyeri ini lama-kelamaan mengganggu, dan tak kunjung sembuh. Upaya mengistirahatkan kedua kaki justru membuat sakitnya kian terasa. Mengganti  sepatu dengan yang lebih nyaman juga gagal.
Rasa nyeri ini menyebar ke pergelangan serta  sendi jari-jari. Bukan hanya nyeri, tangan pun terasa kaku. Sangat merepotkan, karena saya butuh jari-jari yang sehat untuk mengetik banyak tugas. Belakangan, lutut kanan suka lemas hingga membuat saya jatuh dan beberapa kali mendapat serangan seperti akan pingsan.

Meski sudah mulai khawatir, saya masih menunda ke dokter. Saya pikir ini hanyalah sindrom anak mahasiswa kedokteran yang kebanjiran banyak tugas. Saat itu, selain bekerja menjadi koass, saya juga harus menyelesaikan banyak tugas kuliah. Jadwal makan saya jadi tidak teratur, dan sering begadang hingga dini hari.

Setelah itu, saya sering mengalami insomnia. Ketika akhirnya tidur, saat bangun badan terasa kaku, sehingga butuh waktu sedikitnya setengah jam untuk bisa bergerak. Itu pun masih diikuti dengan rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk yang menjalar ke seluruh tubuh.

Tak hanya fisik, konsentrasi saya ikut terganggu. Saya mengalami brain fog, yang membuat saya lambat berpikir atau tiba-tiba hilang fokus. Tiap pulang kuliah saya sering mengalami fatigue, yakni keadaan energi tubuh seperti terkuras habis. Rasanya seperti baru saja ikut maraton. Karena tidak bisa menahan kantuk, akhirnya tugas-tugas kuliah jadi terbengkalai.

Keadaan ini tersembunyi dari penglihatan Ibu. Tapi, melihat rambut saya yang menipis secara nyata karena rontok, Ibu mulai curiga. Apalagi, saya sering mengalami sesak napas di malam hari. Semua hasil pemeriksaan tidak merujuk ke jenis penyakit tertentu. Namun, ketika membaca hasil pemeriksaan, sebagai mahasiswa koass kedokteran, saya sempat curiga bahwa saya terkena virus epstein-barr.

Berdasarkan info temannya, Ibu berupaya membawa saya ke pengobatan kedokteran tradisional Cina di Malaysia. Dari hasil fisik dan pemeriksaan di Indonesia, saya dikatakan menderita rheumatoid arthritis (RA). Saya diberi obat dan terapi akupunktur. Saya merasakan keajaiban. Keluhan-keluhan saya menurun secara signifikan  tiap selesai terapi. Tapi, sebulan sebelum terapi berakhir, rasa nyeri itu timbul lagi. Karena itu, saya rajin  tiap bulan ke sana.

Sejujurnya, saya enggan sekali berobat. Apalagi, terapi akupunktur ini memakai jarum lebih besar yang ditusukkan di bagian belakang leher. Sakit sekali! Seorang teman Ibu yang pernah mencobanya mengumpamakan sakit ini melebihi sakit ketika ia melahirkan! Tapi, saya berusaha bertahan. Saya lebih memilih kesakitan saat itu saja, daripada harus merasakan sakit   tiap sebulan. Berkat terapi ini saya bertahan dan bisa menyelesaikan kuliah kedokteran.
 
KEHIDUPAN ‘BERSYARAT’
Hingga Agustus 2010, terhitung lebih dari setahun, saya mengalami remisi, atau fase tidak aktif alias diam, untuk sakit ini. Saya bahkan sempat ikut Lomba Perancang Aksesoris Femina. Sejak kecil saya memang suka menggambar dan berkreasi. Tidak disangka, saya berhasil masuk sebagai finalis! Bahkan, hobi ini menjadi bagian dari penghidupan saya kelak.
           
Selama masa itu saya juga berkesempatan mengunjungi sahabat di Australia. Namun, justru saat berlibur ini keluhan-keluhan ringan mulai muncul. Sampai pernah saya terbangun dari tidur dengan serangan nyeri yang sama seperti dulu. Kali ini diikuti keluhan jari-jari tangan yang membengkak.
Masa itu menjadi masa yang lebih berat, karena di saat bersamaan kondisi kesehatan ayah saya juga sedang gawat. Beliau harus menjalani transplantasi ginjal. Sehingga, Ibu harus lebih fokus mengurusi Ayah terlebih dulu. Pada April 2011, sekalian mengantar Ayah berobat ke Singapura, Ibu membawa saya untuk diperiksa juga di sana. 

Dokter spesialis rheumatology di Singapura memastikan saya menderita rheumatoid arthritis (RA) dan sjogren’s syndrome (SS). Keduanya termasuk dalam daftar penyakit autoimun (baca boks: Berkenalan dengan Penyakit Autoimun).
           
Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun sistemik yang menyerang jaringan sendi-sendi, termasuk tulang dan tulang rawannya. Serangan ini diikuti oleh rasa nyeri yang luar biasa, bengkak, dan kaku-kaku. Apabila tidak segera dicegah, dalam perkembangannya akan merusak sendi. Bahkan, sendi bisa bengkok secara permanen.

Penelitian terbaru juga menunjukkan, penderita RA memiliki risiko tinggi untuk terkena stroke atau serangan jantung. Sebab, peradangan pada RA menghasilkan kristal-kristal di pembuluh darah yang menyumbat pembuluh darah.

Sjogren’s syndrome adalah penyakit autoimun yang menyerang jaringan kelenjar eksokrin, yaitu penghasil cairan pelumas/pelembap, seperti air mata, air liur, dan keringat. Akibatnya, produksi cairan pelumas/pelembap tersebut berkurang. Alhasil, sering menimbulkan gejala seperti mata kering, mulut kering, kulit kering, serta bibir kering dan pecah-pecah.

Kekeringan ini bisa menyebabkan infeksi atau iritasi. Selain itu, penderitanya juga merasakan radang sendi, kesemutan dan/atau baal, fatigue, dan lainnya. Pada kasus berat, bisa menyebabkan kegagalan organ yang membahayakan nyawa. Pada sebagian kecil penderita sjögren’s syndrome bahkan muncul limfoma, yaitu kanker kelenjar getah bening.

Untuk mencegah perkembangan penyakit, saya diberi obat DMARD (disease modyfing anti rheumatic drug). Obat ini bisa menurunkan laju kerusakan sendi, sekaligus mengurangi rasa sakit. Alhamdulillah, rasa sakit itu memang berkurang. Meski demikian, vonis  penyakit autoimun itu tak pelak membuat saya terpukul.

Sejak saat itu, saya menjalani kehidupan ‘bersyarat’. Agar tetap sehat, saya tidak boleh terlalu lelah. Apalagi, sejak diberi obat pengendali penyakit berupa penurun imunitas, saya rentan terinfeksi. Cita-cita untuk lanjut sekolah dan bekerja sebagai spesialis saraf terpaksa saya kubur dalam-dalam.
Sedih sekali rasanya! Sebab, saya sudah mempersiapkan diri sedemikian rupa, termasuk menjalin jejaring untuk mewujudkan impian saya ini. Saya tidak mau kelamaan bersedih dan mengasihani diri. Saya putuskan untuk melanjutkan pendidikan S-2 ke Inggris. Meski harus tetap melakukan penelitian, masih lebih ringan daripada beban tugas akademis kalau saya jadi mengambil sekolah spesialis.

Imunobiologi (ilmu sistem kekebalan tubuh) menjadi pilihan konsentrasi studi S-2 saya. Saya penasaran dengan sakit autoimun yang terjadi pada saya. Mengapa saya bisa terkena? Adakah harapan untuk sembuh? Saat menyelesaikan studi ini saya mengikuti kelas mata kuliah tentang stem cell, genetis, dan imunologi. Untuk proyek pribadi, saya meneliti gejala fatigue pada sjögren’s syndrome.

Tuhan itu Mahabaik. Saya sangat bersyukur, selama menyelesaikan studi di Inggris saya tidak pernah mendapat serangan berat. Paling-paling hanya ruam yang gatal pada buku-buku tangan, terutama jika lama berada di bawah matahari dan kecapekan. Kuku membiru jika kedinginan, rambut juga sempat rontok. Tapi, semuanya masih bisa saya hadapi.
 
MAKIN DISERBU PENYAKIT
Awal tahun 2013, saya berhasil menuntaskan studi dan kembali ke Indonesia. Saya diterima bekerja di sekretariat wakil presiden untuk menangani program kesehatan. Namun, tiga bulan kemudian saya mendapat serangan usus buntu, dan harus dioperasi. Heran juga, kenapa saya terkena usus buntu? Ah, mungkin karena saya lengah menjaga batas ketahanan fisik. Begitu pikir saya waktu itu.

Rupanya, serangan usus buntu ini diakibatkan oleh peradangan menyeluruh, yang merupakan bawaan dari penyakit autoimun rheumatoid arthritis yang saya derita. Gawatnya lagi, dokter juga menemukan endometriosis atau tumbuhnya jaringan pada dinding luar rahim. Pantas saja,  tiap kali haid saya merasakan sakit yang  makin lama  makin tak tertahankan.

Operasi usus buntu sekaligus endometriosis ini tergolong ringan. Namun, empat hari setelah operasi, saya seperti hendak kehilangan kesadaran. Selain efek buruk dari obat bius saat operasi, peradangan pada tubuh menimbulkan serangan pusing, gangguan keseimbangan, kram otot, nyeri-nyeri dan kaku sendi serta keluhan-keluhan lainnya yang terus berdatangan.

Sempat juga kondisi tubuh saya membaik, sehingga saya bisa berlibur ke Eropa. Tetapi, begitu tiba di tanah air, kondisi saya kembali memburuk. Saya jadi sulit mengingat, hingga suatu hari badan terasa seperti  lumpuh. Kedua kaki dan lengan terasa berat dan sulit diangkat. Pengobatan DMARD sudah tidak efektif lagi.

Di tengah semua cobaan ini, saya sangat bersyukur dikaruniai orang tua, khususnya ibu, yang begitu  sabar berjuang bersama. Saya ingat, di masa awal penyakit ini, kami beberapa kali bentrok tentang masalah terapi dan pengobatan. Maklum, kami memang sama-sama berprofesi sebagai dokter. Ibu juga yang jungkir balik mencari biaya pengobatan untuk saya. Padahal, di saat yang sama, Ayah juga menderita  penyakit ginjal.

Autoimun memang bukan penyakit murah. Untuk penegakan diagnosis penyakit saja, harus melalui berbagai dokter spesialias, pemeriksaan darah yang angkanya jutaan, belum lagi terapi dan pengobatannya. Harapannya, penyakit ini bisa masuk jaminan kesehatan nasional, apalagi penderitanya cukup banyak.
Ibu akhirnya membawa saya untuk berobat ke Ukraina. Seorang kerabat yang mengalami RA seperti saya, kondisinya membaik setelah ditangani di sana. Dan memang benar, kondisi saya membaik, dan  makin maksimal setelah beberapa bulan kemudian. Saya mulai merasakan peningkatan energi. Saya bisa menggerakkan anggota tubuh lagi. Tekanan darah juga menjadi normal, sehingga saya tidak diserang rasa pusing lagi.

Saya pulang ke Indonesia dengan  penuh  optimistis. Saking optimistisnya, saya mulai kembali ke ritme kerja yang lama. Akhirnya, karena kecapekan, saya mengalami serangan yang mirip dengan stroke,  separuh tubuh saya menjadi lemah, diikuti pusing yang berputar atau vertigo. Tetapi, lidah tidak sampai miring, atau bibir tidak mencong, seperti orang stroke.

Menurut dokter, saya mengalami ketegangan dan penyempitan pembuluh darah otak sehingga aliran darah ke otak terganggu. Penyumbatan ini disebabkan oleh darah yang mengental karena pengaruh rheumatoid arthritis. Untungnya, penyumbatan itu belum menyebabkan otak saya kekurangan oksigen yang biasanya fatal untuk serangan stroke. Dua kali saya mengalami gangguan mirip stroke, yang dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah CVT. Pertama pada Oktober 2013, dan yang kedua pada November 2014.

Setelah gangguan CVT pertama di Oktober 2013, gangguan fisik yang saya alami bertambah. Saya tiba-tiba menjadi mudah silau, atau sensitif terhadap cahaya. Setelah kembali diperiksa, rupanya daftar penyakit autoimun saya bertambah. Kali ini namanya addison’s disease (AD). Saya menjadi makin mudah lelah dan gampang stres. Penyakit ini juga membuat saya lemas dan pingsan karena gula darah yang drop tiba-tiba.

Belum sempat beradaptasi dengan penyakit AD, saya kembali dihantam oleh penyakit keropos tulang atau osteoporosis. Penyakit ini membuat saya yang saat itu masih berusia di awal 30-an memiliki kondisi tulang dan sendi seperti orang yang sudah berusia 60!

Semua penyakit ini bercampur aduk dan bergantian menyengat saya dengan rasa sakit. Kalau dulu saya hanya minum satu atau dua macam obat, kini dalam sehari saya menelan hingga 30 butir obat! Apakah itu obat pengencer darah, membuat pembuluh darah tidak tegang, kalium, vitamin, dan sebagainya. Sebulan sekali, saya juga harus menjalani terapi infus tertentu yang sekali terapi harganya bisa mencapai Rp8 juta hingga Rp9 juta!

Autoimun juga membuat kegiatan saya terbatas, terutama untuk kegiatan di luar rumah. Saya belum bisa mengontrol penyakit ini sepenuhnya. Saya harus tahu batas diri. Saya tidak boleh terlalu capek dan kepanasan. Sebab, perubahan cuaca atau suasana dari panas ke dingin, atau terang ke teduh, bisa memicu tingkat stres.

Saat ini saya lebih fokus untuk berkegiatan dari rumah. Sebab, segala sesuatunya jadi lebih mudah terkontrol. Meski banyak di rumah, aktivitas saya cukup bervariasi. Bangun pagi, saya memasak untuk makanan saya.  Setelah itu, saya melakukan olahraga ringan, dan baru berkegiatan.

Saya juga masih menyempatkan diri untuk menekuni hobi membuat tas dengan hiasan manik-manik, melayani pesanan makanan gluten free hasil masakan sendiri, serta membagikan kisah saya lewat halaman blog https://tentangautoimun.wordpress.com. Sebab, masih banyak orang yang belum paham tentang penyakit autoimun. Melalui laman blog ini, saya bisa berinteraksi dengan mereka.  

Tadinya, saya sempat juga membuka praktik di rumah. Kebetulan saya punya alat diagnostik awal untuk autoimun dari Rusia dan saya mendalami masalah imunologi. Tapi, untuk saat ini saya harus ‘cuti praktik’ dulu hingga tubuh saya cukup kuat.

Saya tahu perjuangan berat saya belum selesai. Saya masih terus mencoba untuk berdamai. Saya menganggap penyakit autoimun ini ibarat bayi yang baru lahir dan terperangkap di pangkuan saya. Bayi itu kebingungan. Karena saya lebih dewasa, sayalah yang perlu mengenal dan bertoleransi dengan autoimun. Sehingga, ketika ‘bayi’ itu mulai kebingungan, ia tidak menyulitkan saya.

 Harapan saya sesungguhnya masih besar untuk kesembuhan penyakit ini. Terlebih, saat ini di Inggris sedang berlangsung uji klinis pengobatan imun yang bisa menghentikan aktivitas autoimun dalam tubuh penderitanya. Semoga secercah harapan ini menjadi jawaban nyata bagi doa-doa saya selama ini. 
 


Topic

#autoimun

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?