True Story
Alex Tjoa, Jalan Terjal Bertemu Anak

13 May 2016



Tak ada hal yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu, selain dipisahkan dari anak kandungnya sendiri. Hal itulah yang dialami Alex Tjoa (47), fotografer internasional berdarah Indonesia yang bermukim di Swedia. Sejak bercerai dari Jonas Jonasson (55) pada tahun 2009 lalu, Alex tak bisa lagi mengontak putra semata wayangnya, Jonatan Jonasson Tjoa (9) yang saat ini tinggal bersama Jonas di Swedia. Menyedihkannya lagi, Jonas yang juga penulis buku best seller, The 100-Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared  itu memutus segala bentuk komunikasi antara ibu dan anak itu.
           
Kini, enam tahun sudah Alex terpisah dari Jonatan. Kepada femina, ia menuturkan kepedihan hatinya tak bisa mengontak Jonatan sejak tahun 2009 lalu. Karenanya, Alex pun bertekad akan melakukan segala cara demi bisa bertemu kembali dengan sang buah hati.
 
Menikahi Pria Salah
Saya pertama kali bertemu Jonas tahun 2005 lewat website perjodohan, match.com, saat masih tinggal di Norwegia. Saya memang cukup aktif di dunia cyber. Sebagian besar waktu saya habiskan untuk menjelajahi dunia maya. Mulai dari mencari informasi, pengetahuan, menambah relasi, hingga mencari jodoh.
           
Di masa itu, Jonas masih belum jadi apa-apa. Ia tidak bekerja dan mantan wartawan yang mengandalkan hidup lewat sick pay dari pemerintah Swedia. Jonas memang mendapat sick pay karena mengalami gangguan psikologis akibat kelelahan bekerja di media. Ia tipe workaholic yang kurang mampu mengelola stres dengan baik. Obat penenang dan minuman keras ia jadikan solusi saat dilanda stres. Namun, ketika itu saya melihat semangat   kuat Jonas untuk sembuh. Hati saya pun luluh dan tergerak membantunya bangkit.
           
Walau tidak bekerja, Jonas tetap aktif menulis fiksi. Saat kami masih pacaran, ia tengah menyelesaikan novel perdana, di mana ia memasukkan kisah tentang Indonesia di salah satu chapter. Sebagai orang Indonesia, saya membantu Jonas mengembangkan cerita tentang beragam fenomena di Indonesia. Salah satunya, soal kenakalan pedagang daging yang menggunakan formalin untuk melariskan dagangannya.
           
Fenomena yang  ‘sangat Indonesia’  itu Jonas rangkum menjadi tulisan yang amat baik. Seolah-olah ia pernah tinggal di Indonesia. Padahal, Jonas tidak pernah menginjakkan kaki di tanah air saya. Ia memang penulis hebat yang bisa ‘menjahit’ dengan indah kisah yang bersumber dari cerita lisan orang lain. Meski Jonas tak mengakuinya, sayalah sebenarnya penyumbang ide terbesar kisah tentang Indonesia dalam bukunya itu.
           
Waktu masih pacaran, saya melihat Jonas orang yang sangat baik, tulus, perhatian, dan humoris. Terlebih lagi, usia Jonas lebih tua 8 tahun. Saya pun yakin ia pasti berpikiran lebih matang dan dewasa.            
           
Makanya,   saat Jonas melamar, saya tak ragu mengiyakan pinangannya. Kami pun menikah tahun 2007, dengan menggelar pesta sederhana di Swedia. Kami lalu pindah ke Swiss karena mendirikan bisnis online yang lokasi kantornya ada di sana. Kehidupan awal pernikahan kami berjalan menyenangkan. Jonas kerap bersikap romantis yang membuat saya amat menikmati saat-saat indah itu.
           
Sayangnya, setelah Jonatan lahir, sikap Jonas langsung berubah. Ia kembali minum minuman keras. Mungkin Jonas mengalami sindrom daddy blues. Memiliki anak memang menghadirkan bentuk stres baru di antara kami. Ia sepertinya belum siap dengan repotnya mengasuh anak.
           
Jonas pernah mengaku shock dan sempat mengatakan, “This is not what I wanted.”  Saya pun sebenarnya tak kalah stres karena ASI sempat tidak bisa keluar di minggu-minggu pertama Jonatan lahir. Ini membuat kami berdua jadi sering salah paham, lalu bertengkar hebat.
           
Menjelang sore, Jonas selalu gelisah dan senewen tanpa penyebab yang jelas. Dan, masalah itu akan ia selesaikan lewat minuman keras. Rasa kesal dan sedih tak menggoyahkan semangat saya untuk mengasuh Jonatan dengan baik. Saya tetap memberikan ASI kepada Jonatan sampai ia berusia 2 tahun, menyiapkan raw food untuknya, menyuapinya, dan menemaninya bermain puzzle, sementara Jonas tak juga meninggalkan kebiasaan buruknya.
           
Kontras dengan kehidupan pribadi yang penuh masalah, Jonas justru makin bersinar dalam pekerjaan. Bukunya laris manis, mencetak best seller internasional, hingga diterjemahkan ke dalam 29 bahasa. Nama Jonas pun langsung terkenal di seluruh dunia. Dari penjualan novel itu, ia bisa mengumpulkan penghasilan sebesar ribuan dolar AS hingga menjadi kaya raya. Di momen inilah tanda-tanda ia akan menceraikan saya mulai terlihat.
           
Tahun 2009, kami akhirnya bercerai, di saat Jonas makin populer. Meski pengadilan di Swedia memutuskan hak asuh Jonatan menjadi tanggungan kami berdua, hingga kini saya tidak pernah bertemu dengan Jonatan lagi. Entah mengapa,  Jonas tidak mengakui saya sebagai wanita Indonesia yang pernah menikah dengannya.  Ia juga menghapus nama ‘Tjoa’ yang sebelumnya tertulis sebagai nama belakang Jonatan.
 

Berjuang Lewat #SaveJonatan
Hingga saat ini, saya tak habis pikir mengapa Jonas tega melakukan ini kepada saya. Sepertinya, sih, Jonas melakukannya karena tak ingin mengecewakan para fans novelnya. Menurut saya, apabila para fans Jonas tahu bahwa sayalah sumber ide cerita tentang Indonesia, mereka akan kecewa.
           
Namun, sebagai ibu yang telah melahirkan dan merawat Jonatan, tindakan Jonas telah membuat saya sakit hati! Bagi saya, ibu di belahan dunia mana pun akan berjuang habis-habisan untuk bisa bertemu kembali dengan anak kandungnya. Saya pun demikian. Meski harus berhadapan dengan strategi Jonas dan sistem pengadilan yang rumit di Swedia, saya tak peduli.    
           
Sejak dipisahkan tahun 2009, saya berjuang sendiri demi bertemu Jonatan. Saya terpaksa maju tanpa pengacara karena saya tak mampu membayarnya. Lalu, pada  tahun 2011, saya tak menyangka, di bawah sumpah, Jonas berkata bahwa saya adalah ibu pasif yang tidak mengerti cara mengasuh anak dengan baik. Jonas pun menggunakan kata ‘pasif’, yang ia artikan bahwa saya tidak punya kontak batin dengan Jonatan hingga ia tak memanggil saya dengan sebutan ‘Mama’.
           
Untungnya, kebersamaan dengan Jonatan pernah saya abadikan dalam rekaman kamera video. Di situ, terekam jelas bagaimana saya menyuapi, memasak raw food, dan bermain bersama anak saya. Video tersebut saya jadikan bukti selama berjuang di pengadilan.
           
Sayangnya, bukti-bukti dari saya dan tindakan Jonas berbohong di bawah sumpah --yang termasuk tindakan kriminal-- tidak membuat pengadilan Swedia percaya. Bagi pengadilan,  bukti video itu tidak cukup membuktikan bahwa saya ibu yang baik.
           
Tak cukup di situ, Jonas kemudian membawa Jonatan pindah ke sebuah pulau kecil di Gotland, Swedia. Saya pun  makin sulit mengontak anak saya. Tapi, saya tak patah semangat. Meski tak mengenal siapa pun di Gotland, saya memutuskan ikut pindah dari Swedia ke sana dan tinggal di sebuah rumah kos kecil yang berjarak 25 kilometer dari sekolah Jonatan.
           
Saya berkali-kali mencoba mendatangi sekolah Jonatan untuk menemuinya. Sayang, guru di sekolahnya tak mengizinkan Jonatan menemui saya. Lalu, saya mencoba cara lain dengan menghubungi Jonatan lewat surat yang saya alamatkan ke sekolahnya. Namun, surat yang saya kirimkan itu langsung diserahkan kepada ayahnya dan ia tak pernah membacakannya untuk Jonatan. Saya sedih, sepertinya semua guru memihak Jonas.
           
Rintangan demi rintangan tak bisa mematahkan   semangat saya untuk bisa bertemu Jonatan. Pada tahun 2012, saya mengajukan petisi di Change.org untuk mendapatkan keadilan. Petisi itu ditujukan kepada perdana menteri, menteri anak-anak,  kepala dan social service di Swedia. Mengetahui saya membuat petisi, Jonas langsung melapor ke polisi dan memaksa saya menutup petisi tersebut. Ia sempat mengancam, jika saya tak mencabut petisi tersebut, saya akan  makin sulit menemui Jonatan. Nyatanya, hingga saat ini pun, Jonas tetap tak mengizinkan saya menemui Jonatan.  
           
Lelah dengan kerumitan sistem pengadilan di Swedia, saya memutuskan menggunakan media sosial sebagai jalan keluar alternatif untuk memperjuangkan hak asasi saya sebagai ibu Jonatan. Saya membuat blog: www.savejonatan.blogspot.com sebagai sarana untuk mengumpulkan dukungan bagi saya. Dukungan tersebut datang dari ibu dan anak dari seluruh dunia melalui surat, e-mail, kartu pos, maupun gambar dengan caption #SaveJonatan.
           
Sejauh ini, sudah ada sekitar 350 anak-anak dari berbagai penjuru dunia yang mendukung #SaveJonatan. Mereka membuat gambar dan menulis postcard yang langsung dikirimkan ke sekolah Jonatan di Gotland. Sayangnya, gambar-gambar dan kartu pos tersebut disensor oleh para guru Jonatan.
           
Meski demikian, saya amat tersentuh dengan kemanusiawian, keberanian moral, dan kesetiaan pendukung #SaveJonatan dari seluruh dunia. Kartu pos, surat, dan gambar tentang Jonatan yang mereka kirimkan ke saya lewat e-mail, saya unggah di blog sebagai bentuk apresiasi. Lewat gerakan #SaveJonatan ini pula, saya ingin agar Jonatan bisa hidup normal layaknya anak-anak lain seusianya: bisa hidup dengan kasih sayang lengkap dari kedua orang tuanya, terutama dari saya, ibunya.
           
Jujur, tak bertemu dengan anak kandung selama 6 tahun membuat hati saya terluka. Rasa kangen terhadap Jonatan yang sudah menumpuk bertahun-tahun itu terkadang menyesakkan dada. Saat sudah tak kuat, saya hanya bisa menangis tersedu-sedu. Bagaimanapun, saya adalah ibu yang melahirkan Jonatan. Ibu mana yang tidak sedih bila dipisahkan dari anaknya?
           
Hingga kini, saya tak mengetahui bagaimana wajah dan perkembangan terakhir Jonatan. Saya bahkan tak berani melihat foto terakhir anak saya saat masih berusia 2 tahun. Itu akan membuat saya sedih dan terpuruk. Jonatan membutuhkan asih, asah, asuh dari ibunya agar karakter dan sisi spiritualnya dapat berkembang dengan baik. Tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ibu dapat membahayakan jiwa anak seusia Jonatan.
           
Meski begitu, saya bersyukur Tuhan  telah menganugerahi saya talenta di bidang seni, khususnya fotografi. Aktivitas fotografi membuat saya bisa mengalihkan kesedihan. Saya menyibukkan diri memotret landscape, makanan,   mengedit foto, dan memberikan workshop di berbagai negara. Berkat kesibukan itu, saya jadi tetap bisa menebar manfaat positif sehingga tidak terlalu larut dalam kesedihan.
           
Semua hasil foto saya unggah di website pribadi, alextjoa.com. Di situ, ada beragam karya saya. Khusus di bidang kuliner, saya ingin mempromosikan kuliner Indonesia ke dunia internasional lewat foto berkualitas dan mendidik, agar masyarakat di dunia tahu bahwa Indonesia memiliki keragaman pangan yang lezat, unik, dan khas.
           
Sembari terus berkarya, saya terus berusaha dan berdoa bisa bertemu dengan Jonatan. Saya yakin, suatu saat nanti pasti bertemu anak saya, walau tidak tahu kapan. Yang bisa saya lakukan saat ini hanya mendoakan keselamatan Jonatan. Saya mencoba berpikir positif, bahwa Tuhan-lah orang tua Jonatan yang sesungguhnya. Dia yang akan selalu menjaga dan menyayangi anak saya, di mana pun ia berada. Kelak, ketika bertemu Jonatan, saya akan mengajaknya pulang ke Palembang dan tinggal di sana. Saya juga ingin mengenalkan keragaman budaya Indonesia kepada anak saya. Semoga. (f)
 

           
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?