Trending Topic
Video Bullying Mahasiswa Autis, Bentuk Ketidaksiapan Lingkungan Menerima Anak Berkebutuhan Khusus

17 Jul 2017


Foto: Pixabay

Sejak Sabtu (15/7), sebuah video aksi bullying terhadap mahasiswa yang merupakan anak berkebutuhan khusus beredar di Instagram. Dalam video itu, tampak korban diganggu oleh rekan sesama mahasiswa, dan juga diteriaki oleh mahasiswa lain.

Korban merespons dengan marah dan melempar tempat sampah ke arah para pelaku. Di sekitar mereka, tampak mahasiswa lain yang hanya menjadi penonton dan tidak melakukan apa-apa terhadap aksi bullying itu.

Insiden serupa kerap ditemukan pada anak berkebutuhan khusus seperti penyandang autisme. Jangankan di lingkungan sekolah, di ruang publik lainnya seperti di jalan atau di mal, anak berkebutuhan khusus juga rawan menjadi korban bullying.

Perjuangan para orang tua untuk menyiapkan anak berkebutuhan khusus untuk mandiri dan sekolah hingga bangku universitas tentu sangat sulit dan panjang. Tidak heran, bila banyak orang tua dan aktivis anak berkebutuhan khusus banyak angkat suara mengenai insiden ini.

Menurut Chrisdina Wempi, Head of London School Beyond Academy (LSBA), insiden itu menunjukkan fakta bahwa  masih banyak orang yang tidak teredukasi dengan baik tentang keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK)

“Jika mereka (para pelaku bullying) itu teredukasi dengan baik, kemungkinan terburuk yang terjadi pada temannya, mahasiswa autis itu mungkin akan dicuekin, tapi tidak dibully. Dicuekin itu tidak membahayakan siapa-siapa. Apalagi untuk usia mahasiswa, bentuk bullying yang mereka lakukan seperti bullying pada anak SD atau SMP, menyedihkan,” ujar Chrisdina.
 
LSBA merupakan sebuah institusi di bawah naungan London School Centre for Autism Awareness (LSCAA) yang berfokus pada pembekalan kemandirian untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Dalam kasus ini, Chrisdina berharap pihak universitas juga harus segera mengambil sikap tegas dan menunjukkan komitmen bahwa mereka memang menerapkan konsep inklusi, serta memperbaiki hal-hal terkait, termasuk menyiapkan lingkungan untuk menerima anak berkebutuhan khusus.

Tantangan menerapkan konsep inklusi dalam institusi pendidikan memang berat. Kesiapan lingkungan menjadi kunci utama. Orang tua, teman, pengajar, hingga staf sekolah harus disiapkan. Anak berkebutuhan khusus memang berbeda, tapi mereka bisa dilepas untuk berbaur jika sudah mandiri dan sudah tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Apalagi, sekolah inklusi sangat berbeda dengan perguruan tinggi inklusi. Di sekolah inklusi masih banyak keseragaman yang bisa dijaga dan sekolah masih bisa menciptakan lingkungan yang dikondisikan khusus untuk ABK. Namun, ketika masuk ke perguruan tinggi, suasananya lebih cair, berbeda dengan lingkungan sekolah.

“Artinya, tidak ada pengawasan ketat pengajar dari jam ke jam untuk memantau pergaulan anak. Apalagi universitas memiliki banyak fakultas. Apakah fakultas lain sudah siap menerima mahasiswa dengan anak berkebutuhan khusus?” tambah Chrisdina.  

Selain itu, orang tua juga sebaiknya memastikan beberapa hal seperti apakah perguruan tinggi itu memiliki divisi khusus yang menangani anak berkebutuhan khusus, seperti apa konsep belajar yang ditawarkan, dan bagaimana sistem pengawasannya.

Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak biasa yang jika bermasalah dalam keseharian memiliki peer group yang bisa membantu. Mereka akan mencari teman yang nyaman, jadi orang tua harus tahu ke mana mereka akan pergi jika ada masalah dan siapa yang akan menolong.

Yang tak kalah penting, Chrisdina mengingatkan, di lembaga pendidikan yang menerapkan konsep inklusi, siswa reguler bisa merasa tidak nyaman dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus.

“Siswa reguler juga punya hak yang sama untuk sekolah dan kuliah, jadi hak mereka juga harus dihormati. Jika pengajar tidak berusaha adil, yang jadi korban bully malah siswa reguler. Jadi, mereka juga harus diperhatikan.” (Baca juga: Anak Anda Siswa Sekolah Inklusi? Pahami 5 Hal Ini Agar Anak Siap Berinteraksi dengan Anak Berkebutuhan Khusus)
 
Komitmen menjadi lembaga dengan konsep inklusi sangat penting. Sebaiknya persiapan lembaga pendidikan yang menerima anak berkebutuhan khusus harus dipastikan telah dipenuhi sebelum menjalankan program inklusi.

Bukan perkara menyiapkan lingkungan agar semua merasa nyaman, tapi mendidik lingkungan bahwa ada anak manusia dengan kebutuhan berbeda yang mesti dipahami bersama dan itu butuh waktu panjang. (f)

Baca juga:
Autistik Bukan Penyakit
6 Fakta Autisme yang Wajib Diketahui Orangtua
Hidup Vicky Antony Sugiarta dengan Autisme dan Pergulatannya Menyongsong Masa Depan


Topic

#AnakBerkebutuhanKhusus, #Autisme, #Bullying

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?