Trending Topic
Pro dan Kontra Pernikahan Remaja, Persoalan Aib Keluarga

13 Apr 2016



Foto: Fotosearch 
 
Bagi warga perkotaan dan kelas menengah, konsep dan praktik pernikahan dini mungkin hanya bayangan samar, yang terjadi jauh di luar sana. Karena itu, ketika pertengahan 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi menolak menaikkan batas minimal usia menikah menjadi 18 tahun untuk wanita (dan 21 tahun untuk pria), tidak terlalu disambut heboh. Keprihatinan yang muncul di permukaan lebih banyak dari para pegiat perlindungan anak dan wanita.

Ya, secara data statistik, pernikahan dini di Indonesia lebih banyak terjadi di pedesaan. Namun, bukan berarti kejadian ini tidak bisa menimpa kelas menengah perkotaan. Apalagi, belakangan dengan kian canggihnya teknologi komunikasi, termasuk media sosial, banyak orang tua yang mulai waswas anak remaja mereka akan terjerat pergaulan seks bebas, yang ujung paling buruknya adalah hamil di luar nikah.  Haruskah pernikahan tetap menjadi opsi pertama?
 
Persoalan Aib Keluarga
Masih ingat film Juno (2007)? Film yang juga mencuatkan nama Ellen Page, pemeran utamanya, ini berkisah tentang remaja perempuan berusia 17 tahun yang berpikiran independen, ternyata harus menerima fakta dirinya hamil. Lalu, meski awalnya ia hendak menggugurkan sang janin, akhirnya Juno tetap mempertahankan bayinya, dan merelakan anaknya untuk diadopsi pasangan yang mendambakan anak.

            Yang juga tak kalah seru adalah kehamilan si cheerleader cantik Quinn di serial Glee yang sempat sangat populer. Quinn yang hamil dengan teman laki-laki lain, meski dia sudah punya kekasih, juga memilih untuk mempertahankan kehamilan, tetap sekolah dan kemudian menyerahkan bayi untuk diadopsi orang lain.

             Layar kaca televisi nasional kita dulu juga pernah heboh dengan sinetron Pernikahan Dini. Dibintangi oleh Agnes Monica semasa masih remaja, sinetron ini selain menjadi gerbong populernya sinetron bergenre remaja, juga menyajikan persoalan yang sangat faktual, yakni perilaku seksual yang sepertinya terjadi tanpa sengaja, bisa mengubah hidup  seorang remaja untuk selamanya. Apa lagi kalau bukan kehamilan, dan dalam konteks sinetron ini, Dini dipaksa menikah di usia sangat muda. 

Bila film dan tayangan televisi dipercaya sebagai potret dari masyarakatnya, untuk riset kecil-kecilan, saya mengajukan pertanyaan ini kepada beberapa ibu yang memiliki anak ABG usia SMP dan SMU. “Andai anak gadis atau anak laki-laki Anda hamil di luar nikah, langkah apa yang Anda ambil? Ada tiga opsi yang saya tawarkan: dikawinkan, aborsi, atau tetap mempertahankan si bayi hingga lahir tanpa harus ada pernikahan?
             “Amit-amit... jangan sampai, deh, itu terjadi!”
            “Masya Allah... tidak pernah saya bayangkan itu akan menimpa anak saya...!”
            “Jangan bertanya sesuatu yang saya tidak bisa menjawabnya sekarang.”
            Seperti itulah di antaranya jawaban mereka. Awalnya, saya pikir itu jawaban ngeles. Tapi, setelah dipikir-pikir, jawaban mereka benar adanya, tidak mungkin mereka menjawab sesuatu yang berandai-andai. Apalagi perkara hamil di luar pernikahan, kondisi yang jelas tidak gampang bahkan untuk orang dewasa, apalagi buat remaja.

Saya pun mengubah pertanyaan: setujukah Anda kalau anak remaja usia sekolah hamil, jalan keluarnya adalah dinikahkan?
Jawabannya berbeda-beda. Namun, bila dirangkum, kira-kira seperti ini jawaban mayoritas mereka: “Kalau masih belum lulus SMU sebaiknya jangan dinikahkan. Minimal anak tersebut jangan sampai putus sekolah. Kasihan masa depannya kalau sampai putus sekolah.”

Sebetulnya, secara pribadi saya juga pernah ‘berdekatan’ dengan kejadian kehamilan usia remaja. Pertama, seorang teman SMA yang hamil di bulan-bulan terakhir masa SMA-nya. Karena dia diam –dan kebetulan bertubuh kurus sehingga tidak ada yang menduga dia hamil-- waktu itu dia survive mengerjakan ujian nasional saat sedang hamil dua bulan. Pada kehamilan 3 bulan, ketika dia tidak lagi mampu menyembunyikan perutnya yang mulai membuncit, akhirnya dia mengaku kepada ibunya. Keluarga besar pun geger.

Rapat keluarga besar digelar, dan keputusannya mutlak, teman saya harus segera dinikahkan untuk membasuh aib keluarga yang telanjur tercemar karena kasak-kusuk tetangga sudah mulai terdengar. Padahal, waktu itu  teman saya dan pacarnya (yang sama-sama baru SMU kelas 3, hanya beda sekolah) baru berusia 17 tahun lebih beberapa bulan. Toh, pernikahan mereka langgeng dan dikaruniai 2 anak. Saat ini, usia anak pertamanya sudah masuk SMP.

Beberapa tahun kemudian, salah satu kerabat pihak suami saya. Keluarga besar shock karena tidak pernah menyangka gadis remaja yang sopan dan berkelakuan manis itu bisa pacaran sampai kebablasan. Apalagi, dia juga bukan tipe remaja yang suka keluyuran sepulang sekolah.
Keluarga masih shock ketika tahu ternyata ayah bayi yang dikandungnya adalah anak laki-laki paling nakal di sekolahnya. Sebut saja semua kenakalan remaja, pernah ia lakukan: merokok, minum alkohol hingga mencoba obat-obatan, meski tidak sampai menjadi pecandu dan diduga juga pelaku seks bebas.  
“Tidak akan aku kawinkan anakku dengan laki-laki macam itu. Mau seperti apa nanti nasib anakku nanti?” Demikian kata bapaknya di rapat keluarga yang digelar secara terbatas pesertanya.

Orang tua yang sangat berduka itu lalu mengirim si anak ke sebuah biara yang sangat jauh dari kotanya. Kepada tetangga dan kerabat yang lain disebarkan informasi bahwa si anak disekolahkan ke sekolah yang lebih baik (meski sebetulnya dari mimik muka, mereka tidak percaya begitu saja). Harapannya, untuk melindungi nama baik si gadis karena orang tuanya masih berharap anak gadisnya bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi, demi masa depannya. Lalu bagaimana dengan bayinya? Si bayi diangkat anak secara legal oleh salah satu keluarga yang kebetulan memang tidak memiliki anak kandung.

Kini, kerabat saya itu sudah menyelesaikan sekolahnya hingga S-2 dan menjadi dosen bahasa Inggris di salah satu kampus terkenal di kota kelahirannya. Dia juga sudah menikah, dan kini ia sudah memiliki satu anak laki-laki. Sedangkan anak pertamanya, kini sudah kelas 3 SMP dan terlihat dirawat dengan baik oleh ayah dan ibu angkatnya yang sudah menganggapnya sebagai anak kandung. Hingga kini, anak tersebut belum diberi tahu identitasnya dan masih menjadi PR besar bagi si orang tua angkatnya.

Menurut studi yang dilakukan lembaga penelitian SMERU dalam studi berjudul Prevalence of Child Marriage and Its Determinants among Young Women in Indonesia (2013),  pernikahan usia muda di Indonesia tidak melulu disebabkan karena kemiskinan.  Memang benar, kemiskinan dan tidak ada kesempatan untuk melanjutkan pendidikan bagi anak perempuan ke sekolah yang lebih tinggi sering kali diselesaikan dengan menikahkan mereka. Namun, studi tersebut  juga menjelaskan bahwa praktik pernikahan dini itu juga banyak dilakukan karena adanya keyakinan bahwa anak perempuan harus segera menikah dan jangan sampai menjadi perawan tua.

Tekanan sosial ini yang juga sering menjadi faktor penentu, mengapa seorang gadis remaja yang hamil di luar nikah harus segera dinikahkan. Meski untuk itu dia harus rela kehilangan kesempatan untuk meneruskan pendidikan, bila saat itu dia masih duduk di sekolah menengah. Karena sejauh ini, sistem pendidikan sekolah menengah di Indonesia sepertinya belum bisa menerima kasus murid hamil di luar nikah.

Seperti yang terjadi pada teman SMA saya dulu, yang harus menerima kenyataan dia segera dinikahkan pada kehamilan usia 3 bulan, meskipun saat itu hitungannya sudah lulus SMU. Saat itu, orang tua dan keluarga besarnya memang merasa malu atas aib yang ia timbulkan. Sudah hamil, tidak punya suami pula. Itu dobel malunya.

Namun, beberapa kali ketika bertemu dengan saya, dia berandai-andai, seperti apa, ya, kira-kira hidupnya kini kalau dulu dia berani menolak keputusan orang tuanya. “Lalu, kenapa dulu tidak berontak?” tanya saya. “Bisa apa aku?” jawabnya.

Tentu dia tidak menyesali keberadaan anak dan keluarganya saat ini, dan dia sangat bersyukur bahwa dia masih muda dan produktif ketika anak-anaknya sedang butuh banyak biaya untuk sekolah. Namun, diam-diam dia juga mendambakan bisa meraih pendidikan yang lebih tinggi dan bisa berkarier.


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?