Trending Topic
Pekerja Media & Kreatif Rentan Depresi

30 Jan 2018


Foto: Pixabay.com

WHO mencatat bahwa 1 dari 7 orang mengalami gangguan kesehatan jiwa di tempat kerja. Terutama di era ekonomi digital, di mana sekat waktu dan ruang tidak lagi nyata. Waktu bekerja bisa semakin panjang, kapanpun di manapun, sehingga tidak ada lagi ruang pribadi.

Tekanan ini terutama dirasakan oleh mereka yang bekerja di dunia media dan industri kreatif. Hasil studi Badan Ekonomi Kreatif RI (BEKRAF) bersama BPS di tahun 2016, mengungkap bahwa 1/3 dari pekerja di industri kreatif mengalami overwork, dengan jam kerja lebih dari 48 jam per minggu.
 
Tingginya tekanan mental di dunia kerja ini membuat banyak pekerja mengalami stres, yang apabila tidak ditangani secara serius dapat berakhir menjadi depresi. Gangguan kejiwaan ini cukup serius, bahkan WHO memprediksikan bahwa depresi akan menjadi penyakit mematikan nomor dua, setelah penyakit kardiovaskular di tahun 2020. Jelas, bahwa kesehatan mental pekerja menjadi isu Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang harus disikapi dengan sangat serius.
 
Sayangnya, pemahaman dan kesadaran terhadap pentingnya kesehatan mental ini sendiri masih sangat kurang di kalangan para pekerja dan penyelenggara kerja. Rata-rata masih menganggapnya sebagai gangguan yang sifatnya tidak senyata gangguan fisik.
 
“Gangguan jiwa bukanlah bentuk kelemahan, tapi penyakit. Masalah primer gangguan jiwa tidak bersifat mengawang-awang, tapi terletak diotak. Setidaknya ada lebih dari 200 jenis penyakit kejiwaan yang telah terdiagnosis oleh dunia kedokteran,” jelas dr. Rama Giovani, psikiater dari sehatmental.id, yang menjadi salah satu pembicara di diskusi Kesehatan Mental Bagi Pekerja Ekonomi Digital yang diselenggarakan oleh SINDIKASI, Sabtu (27/01), di Gedung Joang’45, Jakarta. Ia mengatakan setidaknya, 1 dari 5 warga perkotaan menderita gangguan kecemasan dan depresi.
 
Keinesasih Hapsari, salah satu pekerja di industri kreatif mengakui hal ini. Ia bahkan sempat melalui masa depresi berat, mengunci diri di kamar gelap tanpa cahayahingga beberapa hari. “Selama itu saya hanya meringkuk di bawah selimut, di tempat tidur dan hanya makan selai kacang untuk menahan lapar,” ungkap perempuan yang akrab disapa Ines itu.

Ia mengaku tidak memahami kondisi mental yang dialaminya sejak ia memilih menjadi penulis lepas, dan berkonsentrasi menulis sebuah buku, yang akhirnya belum tercapai karena mentalnya keburu turun akibat kompleksnya dinamika pekerja lepas yang di luar perhitungannya.
 
Kesadarannya terbuka sejak ia menonton sebuah tayangan video di YouTube, lewat sebuah monolog seorang penderita depresi. “Di titik itulah saya sadar bahwa kondisi yang saya alami ini nyata dan ada namanya. Sejak saat itu saya mencari pertolongan,” ungkap wanita yang berprofesi sebagai konsultan komunikasi ini.
 
“Sangat penting untuk mendorong keterbukaan untuk membicarakan isu kesehatan mental di lingkungan kita, termasuk lingkungan kerja. Hal ini akan meningkatkan kesadaran bersama dan ke depannya membantu menguatkan advokasi kesehatan mental di dunia kerja,” lanjut Ines.

Di kantornya yang  baru, ia telah membuktikan bahwa keterbukaannya ini menghilangkan berbagai prasangka dan justru menciptakan suatu kondisi kerja yang kondusif, yang membuat pekerja kreatif sepertinya tetap bisa berkarya dengan maksimal.
 
Pada kenyataannya, memang tidak mudah bagi seseorang untuk mengenali kondisi kejiwaan mereka. Namun demikian, seperti umumnya penyakit, gangguan kesehatan jiwa ini pun memiliki beberapa gejala yang khas. Di antaranya, menurut dr. Rama, adalah adanya gangguan pola tidur. Ia mengatakan bahwa 80% penderita mengaku mengalami insomnia.

“Ada yang tidak bisa tidur, dan sebaliknya, bisa tidur, tapi sering terbangun. Atau tidur terus menerus dalam waktu lama,” lanjutnya. Selain itu ada berbagai keluhan fisik, seperti sakit kepala berlebihan atau nyeri lambung, yang penyebab pastinya tidak ditemukan oleh dokter. Sehingga mereka sering berganti-ganti dokter.
 
Foto: SINDIKASI

“Kapan kita butuh pertolongan? Ketika orang lain melihat dia mengalami perubahan perilaku yang tidak seperti biasanya. Sebab, tekanan psikologis kerap kali membuat seseorang sadar bahwa dirinya berubah. Namun, tepat ketika seseorang tidak bisa mengontrol lagi pikiran, atau ketika kita merasa bahwa pikiran dan perilaku kita tidak sejalan, kita harus sadar bahwa keseimbangan psikis kita terganggu,” terang Danika Nurkalista, Koordinator Klinik Yayasan Pulih, yang bergerak di bidang konseling dan pendampingan psikologis.
 
BPJS Ketenagakerjaan bahkan telah mengakui dan memasukkan gangguan kejiwaan, seperti depresi, ke dalam daftar Penyakit Akibat Kerja yang mendapat kompensasi dari BPJS. Hanya saja, saat ini ia mengaku masih sedikit yang datang dengan klaim terkait kesehatan jiwa.

“Dalam lima tahun terakhir, hanya 66 klaim saja. Angka yang kecil ini mungkin disebabkan karena banyak yang tidak melaporkannya, karena malu atau tidak tahu,” ungkap dr. Maulana Anshari Siregar, Junior Manager Pengembangan Program JKK-JKM BPJS Ketenagakerjaan.
 
Namun, untuk bisa melakukan klaim kepada BPJS, pekerja yang hendak mengajukan klaim harus melalui beberapa saringan. “Harus dipastikan bahwa gangguan kejiwaan tersebut memang benar disebabkan oleh tekanan pekerjaan. Kami memiliki kuesioner yang bisa membuktikan hal ini. Meski begitu, jika ada keterangan valid dari dokter ahli yang menguatkan hal ini, maka kami akan menerimanya sebagai bukti kuat,” lanjut dr. Maulana.

Ia bahkan mengatakan jika karena penyakit akibat kerjanya ini membuat karyawan tidak bisa beraktivitas di tempat kerja, maka BPJS akan memberikan kompensasi sebesar gaji yang diterima pekerja setiap bulannya.
 
SINDIKASI sendiri sebagai serikat pekerja memiliki posisi sikap yang cukup tegas dalam mengawal isu kesehatan jiwa pada pekerja. SINDIKASI melakukan kajian dari sisi regulasi yang bisa menjadi mitigasi risiko yang muncul di isu Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

“Kami mengkaji Undang-Undang Keselamatan Kerja No.11/1970, yang notabene telah berusia 48 tahun, sudah sangat tua. Sementara itu, perkembangan di dunia kerja saat ini demikian cepat dan pesat. Terlebih, menghadapi era ekonomi digital seperti saat ini, sehingga isinya sudah tidak relevan dan perlu direvisi,” tegas Nur Aini, Koordinator Divisi Advokasi SINDIKASI.
 
Kepala Seksi Pengawasan Norma Pengendalian Penyakit Akibat Kerja Kementerian Tenaga Kerja RI Sudi Astono, mengatakan bahwa di bawah direktoratnya, belum lama ini mereka telah memiliki biro penegakan hukum. Biro ini akan menindaklanjuti pelaporan yang masuk dengan melakukan investigasi terhadap perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya di wilayah K3, dan memberikan sanksi hukum. “Silakan ajukan laporan untuk mendapat tindakan bagi hak-hak pekerja yang dilanggar,” ungkapnya.
 
Demi mendorong terciptanya budaya Kerja Sehat Kerja Selamat, SINDIKASI memberikan rekomendasinya terhadap pemerintah:
1. Peran serikat pekerja diperkuat. Agar teman-teman pekerja yang bergabung dalma serikat bisa menyusun perencanaan K3 di tempat kerja. Penyusunannya melibatkan pekerja sebagai korban.

2. Pekerja punya kewenangan untuk mengawai. Kalau pekerjaan tidak aman,dia bisa menolak untuk bekerja.

3. Mendorong adanya pemberatan sanksi terkait pelanggaran K3. Di kasus kebakaran di Tangerang, sanksi sangat inim, akhirnya pakai pidana untuk hukuman yang lebih berat.

4. Kesehatan mental masuk dalam penyakit akibat kerja. Tidak hanya fisik saja. ILO di tahun 2010 sudah memasukkan kesehatan mental menjadi bagian dari penyakit akibat kerja. Pemerintah bisa meratifikasinya ke dalam sistem hukum. (f)
 
 


Topic

#Karier, #Kesehatan

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?