Trending Topic
Mengejar Latar Luar Negeri

28 Mar 2016


Surat dari Praha
dan Negeri Van Oranje, dua film terbaru yang meramaikan bioskop tanah air baru-baru ini, mengambil lokasi syuting di dua negara berbeda, Republik Ceko dan Belanda. Jauh sebelumnya, sudah ada sederet film Indonesia yang juga syuting di luar negeri, sebut saja film Ketika Cinta Bertasbih (2009) yang syuting di Mesir dan 99 Cahaya di Langit Eropa (2014) yang syuting di Austria, Prancis, dan Turki.

Beberapa tahun belakangan ini setting film di luar negeri memang menjadi pilihan banyak rumah produksi film. Sineas tanah air pun tampaknya senang membuat penontonnya bisa menikmati pemandangan indah yang asing. Lantas, apakah film ber-setting luar negeri sudah pasti jaminan laku di pasaran?  

Jaya (Tyo Pakusadewo) berdiri di atas panggung teater bergaya Eropa klasik dengan ratusan bangku kosong di hadapannya. Jaya mulai memainkan harmonika di tangannya, seakan ratusan penonton tengah menata kagum ke arahnya. Ia mengakhiri penampilannya dengan sedikit membungkukkan tubuh dan mengucapkan ‘terima kasih’. Itulah sepenggal adegan dalam film Surat dari Praha karya sutradara Angga Dwimas Sasongko.

Jaya bukanlah musikus hebat, melainkan seorang petugas kebersihan di sebuah gedung pertunjukan klasik di Praha. Film ini bercerita tentang Jaya, seorang mahasiswa ikatan dinas dari Indonesia yang tinggal di Praha dan tak bisa pulang akibat kejadian 1965 di Indonesia. Bertahun-tahun ia menjadi pria tanpa kewarganegaraan dan berusaha bertahan hidup.

Suatu kali, datanglah Laras (Julie Estelle) yang mengunjungi Jaya di Praha untuk mengantarkan sebuah kotak berisi surat-surat dari Sulastri (Widyawati). Sesuai jalan ceritanya, syuting film ini pun dilakukan di Kota Praha.

Sebelum pemutaran film Surat dari Praha akhir Januari lalu, film Negeri Van Oranje yang dibintangi oleh Arifin Putra, Chicco Jerikho, Ge Pamungkas, Abimana Aryasatya, dan Tatjana Saphira juga mengambil  lokasi syuting di Benua Eropa, tepatnya Belanda dan Ceko. Film ini bercerita tentang lima mahasiswa Indonesia yang mengambil kuliah S-2 di Belanda dan menjadi sahabat. Cerita kemudian berkembang ketika Lintang yang diperankan Tatjana menjadi rebutan empat sahabat prianya. Unsur percintaan tetap menjadi daya tarik film garapan Endri Pelita itu.

Selain kota-kota di Eropa, rupanya Kota New York yang menjadi urat nadi metropolitan sekaligus kota terpadat di negeri Paman Sam juga menjadi magnet kuat bagi pelaku film Indonesia untuk diangkat ke layar lebar. Gemerlap kota serta gambaran masyarakat perkotaan yang kompleks membuat beberapa film Indonesia memilih lokasi syuting di kota berjulukan the big apple ini. Mereka adalah Sunshine Becomes You, Letter to Raisa, Bulan terbelah di Langit Amerika, Terjebak Nostalgia, dan Ada Apa dengan Cinta 2 (AADC 2).

Penutup tahun 2015 lalu, Sunshine Becomes You --film yang diadaptasi dari novel karangan Ilana Tan yang diperankan oleh Herjunot Ali dan Nabilah JKT48--  syutingnya 100% dilakukan di New York. Bahkan, patung Liberty yang menjadi ikon Kota New York menjadi latar poster film ini. Sedangkan film Terjebak Nostalgia, yang rilis tahun ini dan diperankan oleh  Raisa bareng Chicco Jerikho dan Maruli Tampubolon, terinspirasi dari lagu Raisa, berjudul sama. Jauh-jauh syuting di New York, kedua film ini tetap berlatar cerita drama percintaan yang dikemas modern.

 Lain lagi dengan film Bulan Terbelah di Langit Amerika yang merupakan sequel dari film 99 Cahaya di Langit Eropa. Tak hanya syuting di New York, Acha Septriasa dan Abimana Aryasatya juga mengajak penonton untuk menikmati keindahan Kota San Francisco. Dan, yang kabarnya juga akan segera syuting di New York adalah AADC 2.

Tak hanya Eropa dan Amerika yang menjadi buruan sineas Indonesia untuk dieksplorasi sebagai lokasi syuting, beberapa negara di Asia dan Timur Tengah juga menjadi tujuan syuting. Sebut saja film Runaway (2014) produksi Maxima Pictures yang syuting di Hong Kong. Bahkan, di tahun yang sama, Maxima Pictures juga membuat film Assalamualaikum Beijing yang seperti judulnya, syuting di Kota Beijing, Cina.

Untuk film-film religi, kurang afdal rasanya kalau tidak syuting di negara-negara Timur Tengah. Kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta (2008) yang mengambil setting luar negeri, seakan menjadi formula baru untuk film religi yang ingin sukses di tanah air. Meski film dari rumah produksi MD Pictures ini gagal syuting di Mesir, mengikuti cerita dalam buku berjudul serupa karya Habibburrahman El Shirazy lantaran tidak mendapat izin dari pemerintah Mesir, toh, syuting di luar negeri tetap dilakukan, yaitu di India.

Keberhasilan ini kemudian dilanjutkan oleh film Ketika Cinta Bertasbih (2009) yang mengambil lokasi syuting di beberapa tempat di Mesir, salah satunya Universitas Al-Azhar Kairo. Tahun lalu, film Harim di Tanah Haram yang diadaptasi dari novel karya Abu Hamzah, juga menawarkan pemilihan lokasi syuting di luar negeri. Meski tak menjadi booming, film yang syuting di Kota Mekah, Madinah, Istanbul, dan Makassar ini juga memberikan gimmick berupa kuis umrah gratis kepada penontonnya.
Pertanyaannya, mengapa sineas film Indonesia belakangan ini  makin jorjoran untuk syuting di luar negeri? Menurut Krisnadi Yuliawan Saptadi, kritikus film, tak ada jawaban pasti untuk hal ini. Mengutip pernyataan sebuah organisasi pembuat film Indonesia, alasan pemilihan syuting bagi pelaku film tanah air tak lain karena masalah urusan perizinan dan biaya yang ternyata lebih mudah dan murah ketika syuting di luar negeri.

“Apakah hal ini benar atau tidak, kita harus mencari tahu lebih lanjut. Karena, ada hal-hal lain yang juga perlu dikaji. Apakah perizinan syuting lokal memang seperti itu? Saya pernah dengar, sih, katanya untuk syuting di Stasiun Jakarta Kota saja, biayanya bisa berlipat-lipat,” kata Krisnadi.(f)
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?