Trending Topic
Menepis Jerat Radikalisme

23 Mar 2016


Sebagai makhluk sosial, kita memang selalu ingin memiliki kelompok. Dari yang sederhana seperti perkumpulan arisan atau pengajian, yang seru seperti komunitas hobi atau pencinta ini itu, hingga yang lebih serius seperti aktivis penyelamat satwa atau pembela HAM. Sayangnya, bukan tidak mungkin komunitas atau gerakan yang sepintas bertujuan mulia, terjebak dalam nilai atau praktik yang justru merugikan orang lain, atau malah mempromosikan intoleransi, kekerasan, bahkan terorisme. Kita pun dituntut untuk lebih kritis dalam memilih kelompok atau organisasi.
 
Belum lama ini media massa memberitakan menghilangnya beberapa orang, yang diduga bergabung dalam Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar, yang dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia. Berita mengenai ditemukannya buku-buku bermuatan intoleransi di beberapa sekolah swasta tingkat PAUD, seakan mengingatkan kita bahwa kenyataannya gerakan-gerakan radikal masih tumbuh subur di Indonesia.

Apakah gerakan radikal itu? Menurut Dr. Arie Sujito, S.Sos, M.Si, Ketua Departemen Sosiologi Universitas Gajah Mada, secara umum fenomena radikalisme atau fundamentalisme yang bertumpu pada nilai atau aliran kelompok tertentu itu merupakan gerakan yang berupaya untuk menyeragamkan suatu pandangan atau suatu keyakinan secara drastis, dengan cara-cara yang subjektif menurut kelompok tersebut.

“Gerakan ini cenderung mengabaikan aliran atau keyakinan lain dan membenarkan segala cara untuk memaksakan aliran atau keyakinannya sendiri,” ujar Arie. Ia menegaskan, gerakan radikalisme tidak selalu berbasis agama, tapi juga etnik, kepentingan ideologi, atau gaya hidup tertentu.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk M.Psi, mengidentifikasi radikalisme dari beberapa ciri-ciri atau kriteria. Pertama, gerakan radikal adalah gerakan eksklusif, dalam arti mereka menganggap pandangan atau keyakinannya adalah yang paling benar, dan orang lain adalah salah.
Keanggotaan gerakan radikal juga biasanya tertutup, hanya dari mulut ke mulut, dan aktivitasnya juga sembunyi-sembunyi. “Karena  mereka sebetulnya tahu, kalau aktivitasnya terbuka di depan publik, pasti mereka akan dianggap aneh atau dicekal,” katanya.

Ia menambahkan,  gerakan radikal juga bisa berbentuk sekte, cult atau kelompok pemujaan. “Selain konsep perekrutannya seperti MGM atau member-get-member, mereka juga menanamkan dan menyuburkan fanatisme kelompok. Dari sanalah jati dirinya terbentuk,” ungkap Hamdi.

Selain itu, sebuah kelompok pasti dibentuk dengan tujuan tertentu. Masalahnya, kelompok yang bertujuan mulia belum tentu dalam praktiknya menggunakan cara-cara yang mulia juga. Sederhana saja, misalnya, menganut gaya hidup sehat, tapi sehari-harinya justru gemar twitwar dengan orang yang belum menerapkan pola makan sehat seperti dirinya. Atau pencinta satwa yang merusak properti para pemakai busana bulu binatang, juga menyampaikan pesannya dengan cara yang tidak elegan.

Batasan antara baik atau buruknya suatu gerakan dengan tujuan apa pun memang hanya satu: yaitu kekerasan. Karena, pada dasarnya radikalisme juga memiliki sifat yang merusak atau membongkar tatanan yang sudah ada. Itu sebabnya, gerakan radikal kerap kali menggunakan paksaan bahkan kekerasan untuk mendoktrinasi keyakinan dan pandangannya kepada orang lain.

Jadi, ketika sebuah gerakan menimbulkan kerusakan fisik (melalui penghancuran, pengeboman) ataupun kerusakan psikologis (melalui indoktrinasi dan brainwash), di sinilah gerakan tersebut dianggap berbahaya.

“Fenomena radikalisme yang terjadi di Indonesia, juga negara-negara lain, pada akhirnya mengganggu toleransi dan kerukunan antarkelompok. Apalagi di Indonesia yang merupakan negara majemuk dan plural, radikalisme ini menimbulkan ketegangan dan keresahan sosial,” ungkap Arie. (f)
 


Topic

#Radikalisme

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?