Trending Topic
Cyberbully, Tak Kalah Berbahaya Daripada Bully Fisik

22 Aug 2016


Foto: Fotosearch

Perkembangan dunia digital sudah begitu pesat hingga batas antara kehidupan online dan offline pun menjadi kabur. Aksi dan konsekuensi dari hal-hal yang kita lakukan di dunia online akan berdampak langsung ke kehidupan offline. Begitu pula sebaliknya. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC),  setiap tahunnya ada sekitar 4400 kasus bunuh diri yang dilakukan kaum muda. Kebanyakan, kasus bunuh diri ini disebabkan oleh cyberbully! 
 

Apa itu Cyberbully? Cyberbully bisa dijelaskan sebagai tindakan atau ucapan di forum online yang merendahkan orang lain dan terjadi secara terus-menerus. Menurut Nukman Luthfie, pakar media sosial dan digital marketing, ‘serangan’ yang tidak terjadi secara berkepanjangan, belum bisa disebut sebagai cyberbully. “Ketika pendapat kita disanggah oleh banyak orang, bukan berarti kita adalah korban cyberbully,” ujarnya.
           
Baca: Pernah Di-bully atau Mem-bully?

Memang, sering kali terjadi salah kaprah mengenai istilah ini. Yang jelas, cyberbully berbeda dengan twitwar, ketika dua pihak atau lebih memiliki kekuatan yang sama. Bully adalah permainan intimidasi antara yang kuat melawan yang lemah. Di dunia cyber, terutama media sosial, persoalan kuat atau tidaknya terkadang tidak berhubungan dengan kekuatan satu orang, tapi jumlah orang yang menyerang. Ketika banyak orang yang berkomentar atau me-retweet sesuatu yang negatif pada atau tentang kita, kemungkinan besar kita akan merasa terintimidasi.
 
Cyberbully dapat terjadi  tiap hari, walau dengan dampak yang tidak sampai terlalu ekstrem. Psikolog Bukik Setiawan menuturkan, cyberbully memang kelihatannya sulit untuk berdampak langsung seperti bully di kehidupan nyata yang menggunakan kekerasan fisik. Padahal cyberbully di media sosial tak kalah berbahaya.
           
“Awalnya, korban akan merasa sedikit terganggu, mungkin merasa harga dirinya terinjak. Lalu ia merasa kesepian, atau timbul ketidakpercayaan kepada orang lain. Dalam beberapa kasus, kombinasi dampak psikologis ini kemudian berujung pada dampak fisik. Misalnya, sakit hingga tidak masuk sekolah atau kantor, atau depresi yang berujung pada bunuh diri,” papar Bukik.
           
Memang tidak semua orang menganggap media sosial sebagai bagian yang terlalu penting dalam hidupnya. Tapi, tak sedikit yang menganggap sebaliknya. Banyak orang yang seakan hidup dan ‘bernapas’ dalam media sosial, dengan mengecek timeline  tiap hari,  tiap saat. Fenomena ini meningkatkan risiko terjadinya cyberbully.

Menurut Bukik, hal ini terjadi dikarenakan peran media sosial yang  makin menguat. Dulu, media sosial hanya dipandang sebagai alat yang memudahkan suatu urusan. Sebagai alat, orang menganggap media ini sebagai sesuatu di luar dirinya. Tapi, zaman terus berkembang, teknologi terus maju. Sehingga, bukan lagi orang yang mengakses media sosial, tapi media sosial yang mengakses kehidupan orang. “Pada akhirnya, orang pun menganggap media sosial sebagai bagian dirinya, atau malah dirinya sepenuhnya. Media sosial menjadi identitas diri,” ungkapnya.

Dalam hal media sosial sebagai identitas diri, Bukik menjelaskan, media sosial sekarang menjadi sumber emosi tertentu. Misalnya, merasa bangga ketika mendapat pujian, merasa gaul ketika bisa ngobrol dengan banyak orang. Karena terlibat di dalamnya,  wajar saja jika orang menjadi betulan terluka ketika dipermalukan di media sosial. “Makin media sosial menjadi identitas diri, makin besar risiko seseorang untuk terkena cyberbully. Apalagi kalau ia punya banyak teman atau follower,” ujar Bukik.

Yang juga membuat cyberbully jadi sangat berbahaya adalah, banyak orang dewasa yang merasa imun darinya. Kenyataannya, cyberbully tidak hanya dapat terjadi pada anak-anak tapi juga orang dewasa. Terutama, jelas Bukik, orang dewasa yang belum memiliki kedewasaan mental cukup untuk menghadapi arus deras informasi dan teknologi.

Bukik memberi sebuah perumpamaan menarik untuk menjelaskannya. Dahulu, kita terbiasa jalan kaki pelan-pelan, sambil mengamati lingkungan sekitar dengan saksama. Sekarang, kita sudah naik pesawat jet yang begitu cepat, sampai-sampai pandangan mata jadi begitu terbatas. “Seperti inilah lompatan kehidupan offline menuju kehidupan online. Di sini terjadi kecepatan lompatan lintas ruang dan waktu yang begitu tinggi,” ujarnya.

Sayangnya, banyak orang yang naik ‘pesawat jet’ ini tanpa kokpit, tanpa helm, atau peralatan keselamatan yang memadai. Mengapa? Bukik memaparkan, berbeda dengan pesawat jet yang besar dan ingar-bingar, media sosial itu hadir dalam bentuk yang ringan, mulus, tak terasa. Lebih sedikit energi yang dibutuhkan untuk mengakses media sosial ketimbang jalan kaki ke rumah tetangga.

“Akses yang mudah membuat orang ‘berlarian’. Semua orang terburu-buru, sehingga mengabaikan bahwa mereka sebetulnya sedang menaiki ‘pesawat jet’, lupa bahwa meda sosial membawa mereka lintas ruang dan waktu. Akibatnya, banyak orang yang tidak siap mental menghadapi arus deras media sosial,” papar Bukik.

Sependapat soal kedewasaan mental di internet, Nukman mengamati bahwa di Facebook, Twitter, atau kolom-kolom komentar di berbagai forum online sering kali terlihat mentalitas ikut-ikutan. “Coba tengok artikel-artikel sepak bola. Komentar-komentar antarsuporter bisa begitu mengerikan. Ada satu saja komentar negatif tentang klub tertentu, suporter yang membalasnya bisa sampai ratusan,” ujarnya.

Mengenai hal ini, Bukik menjelaskan tentang psikologi massa. Ada sebuah riset psikologi yang dilakukan pada tahun ‘70-an. Ketika 4-5 orang menengok ke atas secara bersamaan, orang-orang di sekitarnya akan melakukan hal yang sama, tanpa bermaksud apa pun, kecuali untuk mengikuti orang-orang itu.

Hal ini pun terjadi di dunia maya. Kalau ada 1-2 orang yang menyampaikan suatu pendapat, kecil kemungkinannya orang lain akan ikut berkomentar. Tapi, kalau jumlah yang berkomentar di timeline seseorang sudah mencapai angka kritis, alias banyak sekali, besar kemungkinan seseorang akan ikut berkomentar. “Media sosial mempermudah orang untuk terlibat, tidak perlu melakukan apa-apa, tinggal ketik pakai jari,” jelas Bukik. (f)
 

Baca juga: Bully Bisa Menimpa Siapa Saja
 


Topic

#mentalmerdeka

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?