Trending Topic
Aturan Sensor KPI

5 Apr 2016


Keresahan penonton soal sensor di televisi yang dianggap sebagian masyarakat kebablasan, terlihat dari hasil polling yang dilakukan femina melalui www.femina.co.id periode 24 Februari hingga 18 Maret 2016. Dari 954 responden, 92% responden merasa kebijakan sensor di televisi yang berlaku saat ini tidak memadai, banyak yang masih tidak pada tempatnya.

Tudingan masalah sensor yang oleh sebagian masyarakat dianggap kebablasan ini pun dilayangkan masyarakat kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga pegawas siaran televisi nasional.

Komisioner KPI, Agatha Lily, menjelaskan bahwa fungsi dan tugas KPI adalah melakukan pengawasan terhadap siaran televisi. “Artinya, ketika sebuah acara sudah tayang di televisi, baru menjadi ranah KPI. Jadi, tidak ada program yang sebelum tayang kemudian disensor oleh KPI,” katanya.

Lantas siapa yang melakukan sensor di televisi Indonesia? Selama ini selain film, iklan, dan sinetron yang sensornya dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF), televisi harus mampu melakukan self-censorship terhadap tayangannya yang lain berdasarkan aturan-aturan yang berlaku di dunia penyiaran.
Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) KPI tahun 2012 pasal 39 ayat 2 menjelaskan tentang lembaga penyiaran televisi wajib melakukan sensor internal atas seluruh materi siaran dan tunduk pada klasifikasi program siaran yang ditetapkan dalam P3-SPS.

Ini artinya, di industri televisi, sensor bisa menjadi kebijakan internal stasiun televisi, yang bisa saja didasarkan pada aturan dan pertimbangan masing-masing. Program Operations yang berada di bawah divisi Programming menjadi bagian yang bertanggung jawab atas isi sebuah tayangan. Divisi ini memiliki bagian quality control atau QC yang melakukan sensor internal berdasarkan catatan LSF ataupun aturan yang ada.

Dijelaskan oleh Agatha, dalam P3-SPS ada beberapa petunjuk bagi lembaga penyiaran ketika melakukan sebuah program yang harus diperhatikan. “Misalnya, anak korban kekerasan seksual harus dilakukan penyamaran pada tampilan wajah dan suara. Termasuk juga untuk anak-anak pelaku kejahatan, karena kehidupannya ke depannya masih panjang dan ia diharapkan bisa berubah. Karena begitu wajahnya beredar di media hal ini akan menjadi hukuman sosial bagi mereka,” jelas Agatha.

Menurut Yadi Hendriana, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), bagi stasiun televisi, P3-SPS menjadi pedoman dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh ditayangkan lembaga penyiaran, seperti larangan penayangan adegan pornografi dan kekerasan. “Dalam P3-SPS hal ini sudah diatur dengan sangat jelas, bukan hanya menyangkut gambar tapi juga kata-kata,” jelas Yadi.

Dijelaskan oleh Yadi, pada dasarnya televisi memiliki dua produk utama yaitu jurnalistik dan non jurnalistik. Berita adalah bagian dari jurnalistik, untuk itu tidak ada sensor yang dilakukan oleh bagian quality control seperti dalam tayangan non jurnalistik. “Karena itu, dibutuhkan pemahaman dan ketanggapan para jurnalis televisi saat bertugas di lapangan, mana yang etis dan tidak,” ujar Yudi.

Yadi mengakui, sepanjang tahun 2015, jurnalistik televisi paling banyak mendapat teguran dari KPI akibat tayangan yang meresahkan. Di antaranya soal anak korban pelecehan seksual, kekerasan dalam kasus demonstasi dan penggusuran, hingga kekerasan verbal berupa kalimat umpatan atau hal-hal yang jorok dan tak semestinya yang terucap dalam acara talkshow.

Soal pornografi, aturan SPS tentang hal ini tertuang dalam bab mengenai pelarangan dan pembatasan seksualitas. Pada pasal 18 (h) melarang tayangan yang mengekploitasi dan/atau menampilkan bagian tubuh tertentu, seperti paha, bokong, dan payudara, secara close-up dan/atau medium shot. Sekaligus mencantumkan larangan adegan ciuman bibir, ketelanjangan, dan kekerasan seksual.

“Jika televisi melakukan pengebluran untuk visual yang dianggap menampilkan pornografi, seperti pada tayangan ulang pemilihan Putri Indonesia 2016 atau kartun Shizuka, jika benar maka tampaknya justru pengebluran tersebut dilakukan pukul rata, tanpa melihat konteks acaranya,” ungkap Yadi.

Meskipun begitu, untuk kasus tayangan ulang Pemilihan Putri Indonesia 2016, Agatha menilai penyamaran sedikit pada bagian yang menunjukkan belahan dada dan paha agar tidak muncul di layar televisi patut diapresiasi. “Tayangan tersebut re-run pada pukul 16.00 dengan asumsi pada jam tersebut ada anak dan remaja yang menonton televisi,” jelasnya.

Meski sensor berupa bluring dan bip adalah kebijakan stasiun televisi, menurut Agatha, KPI juga mengimbau pihak televisi agar sensor yang dilakukan harus pula memperhatikan estetika di layar dan program acaranya.

Selain perkara pornografi dan kekerasan. Belakangan yang juga memancing perdebatan panas adalah surat edaran KPI yang melarang penayangan penampakan pria yang kewanita-wanitaan. Mencakup gaya, riasan, bahasa tubuh, gaya berbicara, sapaan, istilah, ungkapan khas, hingga menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria yang berperilaku kewanitaan. Larangan ini dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap anak dan remaja yang rentan menduplikasi perilaku yang dianggap bertentangan dengan norma-norma umum.

Surat edaran tersebut menuai pro dan kontra karena dianggap membatasi kreatifitas. Dengan adanya aturan tersebut, KPI dianggap membatasi seni budaya, seperti Didi Ninik Towok yang kerap tampil sebagai wanita di atas panggung. Hal ini pun menimbulkan ketakutan tersendiri bagi para seniman, karena besar kemungkinan mereka tidak akan lagi bisa tampil di layar televisi.

Menanggapi hal ini, Agatha menjelaskan bahwa aturan tersebut dikeluarkan setelah mengamati tayangan televisi dari tahun 2013 yang dianggap memberikan pengaruh tidak baik bagi anak-anak dan remaja yang rentan meniru perilaku tersebut.

Menanggapi soal keberatan para seniman Indonesia yang kreativitasnya terkesan dibatasi ini, menurut Agatha aturan tersebut tidak untuk seni dan budaya. “Meski tak tertulis, aturan tersebut tidak berlaku untuk tayangan seni budaya, namun agar tidak di salah artikan, penjelasan tentang seni budaya tersebut memang tidak dicantumkan, tapi pihak televisi paham akan hal ini.” katanya, tegas.


 

Faunda Liswijayanti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?