Travel
Wagashi, Kudapan Manis Khas Jepang Yang Artistik

3 Mar 2018


Foto: dok. JNTO.or.id

Seperti layaknya orang Indonesia yang gemar mengudap kue-kue manis, orang Jepang pun demikian. Inilah mengapa kuliner Jepang memiliki wagashi.
 
Perkenalan pertama saya dengan wagashi adalah ketika mengikuti upacara minum teh di Sakai, kota kelahiran mahaguru upacara minum teh Sen no Rikyu (1522-1591). Di rumah minum teh yang sengaja dibangun meniru rumah minum teh asli Rikyu yang terletak di Kyoto, lidah dan hati saya terpikat pada sebuah kue kecil –besarnya seperti buah kelengkeng- warna merah muda berbentuk menyerupai labu dengan permukaan halus. Rasanya manis, dengan tekstur yang lembut dengan rasa seperti isi kue ku.
 
Ketika berkunjung ke Kota Kanazawa, Provinsi Ishikawa, beberapa waktu lalu atas undangan Chubu District Transport Bureau, saya baru memahami benar bahwa wagashi tidak sekedar kue manis. Banyak cerita yang tersimpan di dalamnya.
 
Nama wagashi digunakan untuk segala jenis kue dan permen tradisional Jepang, untuk membedakan dengan yogashi, yaitu kue asal Eropa yang sudah masuk ke Jepang sejak zaman Meiji. Yang termasuk wagashi adalah jenis-jenis mochi, manju, dango dan buah-buahan kering.
 
Wagashi dihidangnya dalam upacara minum teh, dan dihidangkan sebelum kita meminum teh yang agak pahit atau terasa sepat itu.
 
Namun, wagashi tidak sekedar kue, karena bentuknya haruslah artistik. Di Kanazawa, saya belajar membuatnya di Ishikawa Prefectural Product Center, yaitu bangunan toko 3 lantai yang terletak di 2-20 Kenrokumachi. Di sini kita bisa mendapatkan aneka makanan khas Jepang –manis maupun asin- dengan kemasan yang sangat menarik dan artistik, termasuk berbagai macam souvenir.

Mengikuti kelas pembuatan wagashi, kita akan dibimbing oleh tutor untuk membentuk wagashi dari bahan matang yang tersedia menjadi bentuk-bentuk yang artistik. Tutor berbahasa Jepang, namun ada penerjemah dalam bahasa Inggris, yang biacara dengan pengeras suara karena kelas yang dipenuhi peminat. Keseruan dimulai, ketika para ‘murid’ dibagikan beberapa bulatan bahan wagashi (yang teksturnya lembut seperti playdough) dalam berbagai warna: putih, krem, kuning, pink, coklat dan hijau. peralatan juga disediakan, seperti parutan, saringan, alat pemukul, pisau, sumpit dan lain sebagainya.
 

Sebagian bahan membuat wagashi.
Foto: Yos
 
Dengan tangan terbungkus sarung tangan, waktu itu saya diajari membuat bunga kamelia dari bahan putih dan pink. Bagaimana bahan putih harus dipipihkan, lalu ditimpa oleh bahan pink, untuk dipipihkan bersama-sama, di mana pink hanya boleh menutup setengah permukaan bahan putih. Setelah itu, bahan diletakkan di telapak tangan, kemudian dengan menggerakan jari-jari dengan gerakan tertentu –yang jelas tidak mudah- terbentuklah shape layaknya bunga mekar. setelah di gunting di dua sisi, wow, meski tidak secantik milik tutor, saya cukup terpesona oleh 'bunga kamelia' saya…
 



Taraaa... inilah bunga kamelia dan dua bentuk wagashi karya saya.
Foto: Yos
 
Kanazawa merupakan kota penghasil wagashi terbesar di Jepang. Maklum, bersama Matsue, Kyoto dan Shimane, di kota ini menjadi tempat perkembangan sejarah upacara minum teh di Jepang.
 
Dalam sejarahnya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran tuan tanah Toshiie yang memiliki perhatian besar terhadap upacara minum teh. Klan Toshiie bahkan mengirim staf untuk belajar langsung kepada mahaguru Rikyu di Kyoto. Seiring dengan itu, maka permintaan untuk pembuatan kue-kue pelengkap upacara pun berkembang, baik jenis maupun tekniknya, yang kini bisa kita nikmati dan rayakan di toko-toko yang menyediakan wagashi di berbagai penjuru kota Kanazawa. (f)
 
baca Juga:
Menikmati Guyuran Salju di Shirakawago


 


Topic

#wagashi, #jepang, #kuliner

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?