Travel
Kuliner Kaki Lima Guangzhou

21 Aug 2015

Lokasi strategis dan cuaca yang bersahabat menjadi alasan  makin banyaknya pendatang mengadu nasib dan akhirnya tinggal di Guangzhou, kota terbesar di Provinsi Guangdong, Cina Selatan. Alhasil, bukan hanya menjadi pusat bisnis, kota ini juga berperan sebagai gudangnya jajanan enak. Dari yang menawarkan cita rasa asli Guangzhou hingga hidangan khas asal kota-kota di sekitarnya, semua siap memanjakan lidah. Saya, Elvina Febriani, termasuk salah satu ‘tamu’ yang terbius untuk menyenangkan perut di sini.


BERAWAL DI GANG SEMPIT
Dibandingkan Jakarta yang sama-sama kota metropolitan, kehidupan di Guangzhao cenderung lebih dinamis dan atraktif. Masyarakatnya terbiasa serba cepat hingga menimbulkan impresi buru-buru di  tiap aspek kehidupan, termasuk dalam urusan makan. Tak ada waktu untuk menikmati santapan dalam waktu lama, bila perlu makan sambil dibawa di perjalanan. Setidaknya, inilah yang bisa saya tangkap saat pertama kali menginjakkan kaki di sini.

Hal tersebut pula yang saya temukan ketika menyusuri gang di salah satu pasar sekitar distrik Shi Pai Dong. Walau jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam, belum ada tanda redupnya kehidupan malam hari. Bukan hanya toko kelontong, pakaian, atau sepatu yang masih buka, tapi juga jajaran kedai kecil menjajakan beragam camilan khas kota kelahiran dim sum ini dan beberapa kota di sekitarnya. Antara lain, aneka mantau, bakpao, hingga cong you bing.

Yang jadi favorit adalah cong you bing, pancake bertabur bawang daun dan wijen putih sangrai yang digoreng menggunakan sedikit minyak. Berbeda dari versi Taiwan atau Tiongkok lainnya, cong you bing di sini juga ditaburi bumbu rempah dengan campuran five spice powder kecokelatan.

Perbedaan lain adalah ukurannya relatif besar, dan cara jualnya bukan per buah melainkan per gram. Harganya cukup miring, hanya 2 yuan (± Rp4.500) per 50 gram. Porsinya lebih dari cukup untuk ngemil. Tanpa menunggu lama, penjual langsung memotong cong you bing diameter besar di etalase menjadi ukuran sekali santap (one bite size). Bagian tepi kue terasa garing, tapi ada beberapa bagian tengah yang  lunak karena bumbu jintan yang tebal.

Tak jauh dari penjual camilan, terlihat sederet kedai shao kao atau satai khas Tiongkok. Sungguh pemandangan menggoda jelang tengah malam, ketika semua jenis satai dipajang di meja depan kedai. Saya langsung masuk ke salah satu kedai paling ramai. Saat menyantap shao kao, bumbunya sangat berbeda dengan satai Indonesia. Tak ada lagi bumbu kacang atau kecap manis, yang ada hanya bumbu merah berupa cabai bubuk, jintan, five spice powder, dan garam.

Pilihan dagingnya beragam, dari daging ayam hingga daging sapi dan seafood. Saya pilih yang paling unik, yakni satai tulang lunak ayam. Tak terlalu keras karena masih ada daging yang membungkus tulang, cukup tebal! Ada pula kerang tiram. Saat akan dipanggang, ditaburi irisan bawang putih dan bawang daun serta olesan minyak. Sedap! Tak terbatas di pilihan protein hewani, tersedia juga satai sayuran, seperti kucai, buncis, jamur enoki, dan terung. Cocok untuk yang vegetarian.


TERPIKAT FLATBREAD

Bukan hanya jajanan malamnya saja, kota ini juga beken akan streetfood untuk sarapan. Memanfaatkan waktu yang sempit di sela-sela urusan bisnis, keesokan paginya saya singgah di distrik Yide. Selain menjadi pusat perdagangan aksesori, kawasan ini juga dibanjiri pedagang kaki lima penjaja aneka makanan. Kalau di Indonesia mayoritas menggunakan gerobak, di sini gerobaknya adalah kendaraan roda tiga. Biasanya, mereka berkerumun di satu titik yang agak longgar sehingga pembeli lebih leluasa untuk jajan.

    Salah satu yang menarik perhatian adalah gerobak tepanyaki. Si pedagang sibuk menggoreng beberapa satai cumi dengan potongan agak panjang. Aroma cumi salut bumbu terpapar sempurna, suara mendesis dari juice yang keluar pun tak kalah menggoda. Tak hanya cumi, hadir pula beragam jenis daging dan sayuran. Untuk mengantisipasi antrean panjang, pedagang sudah menyiapkan stok satai setengah matang. 

    Sedikit tak lazim dibandingkan tepanyaki lain, di sini meja tepanyaki dilumuri sedikit minyak. Setelahnya, satai cumi setengah matang pun dimasak dengan cara ditekan-tekan dengan alat perata semen?. Mungkin karena panjang alat tersebut klop dengan panjang satai cumi ini. Setelah matang, satai ditaburi bumbu shao kao dan cabai bubuk. Bermodalkan 10 yuan (± Rp22.500), empat tusuk satai panjang pun mendarat di perut saya dengan manisnya.

Tak jauh dari lokasi saya berdiri, terlihat sepasang suami-istri dengan gerobak berisi naang yakni flatbread atau roti tipis yang padat khas Xinjiang (wilayah otonomi muslim di Barat Laut Tiongkok). Penampilan pasangan ini memang menunjukkan bahwa  mereka berasal dari Xinjiang. Dengan ramah sang istri menanyakan roti jenis apa yang saya inginkan, asin atau manis.

Sang suami dengan lincah mencungkil adonan roti dengan tongkat berkail dan menempelkannya ke dinding tandoor (bejana tanah liat untuk memasak flatbread) yang tersembunyi di dalam gerobak. Proses pematangan tak memakan waktu lama, cukup tiga menit, roti hangat siap dibungkus plastik. Taburannya beragam, dari wijen putih hingga biji bunga matahari. Untuk yang manis, hanya dilengkapi dengan taburan gula pasir. Diameter rotinya cukup besar, lebih besar dari lebar muka saya, ha…  ha…  ha…. Pas untuk berdua.
Belum puas dengan roti, saya berpindah lagi ke gerobak yang menjual shou zhua bing.

Camilan unik asal Taiwan yang mirip roti prata goreng, diisi telur ayam, keju, dan aneka jenis daging. Saya pun memilih isi telur, ham, dan keju. Telur ayam dikoyak asal, lalu ditimpa dengan ham dan rotinya. Kemudian roti dibalik  dan ditumpuk lagi dengan keju lembaran. Setelah matang, roti dilipat dua dan siap dibungkus. Agar lebih nikmat, disediakan saus cocolan berupa saus tomat, saus cabai, lada hitam, hingga mayones.


SANTAP DI TENGAH KEBISINGAN
Masih ada sedikit waktu luang, saya melanjutkan petualangan lidah di sepanjang distrik Shangxiajiu, kawasan paling bising di Guangzhou. Keruwetannya bisa dibilang sedikit lebih parah dari Pasar Tanah Abang. Daerah pertokoan barang ecer ini tak hanya disesaki pembeli yang berlalu-lalang, tapi juga riuh oleh ‘lomba’ tepuk tangan dan teriakan penjual yang berusaha menarik perhatian pembeli.

Jalan utama yang tidak begitu besar dan terkadang masih bisa dilewati mobil pun menambah kepadatannya. Yang unik, eksterior ruko di sepanjang jalan masih banyak yang menggambarkan percampuran gaya arsitektur klasik Eropa dan Tiongkok.  Meski agak pusing oleh keramaiannya, saya tak ingin melewatkan beragam makanan enak yang ada di sini.

Karena lalu-lalang orang dari segala arah dan kebanyakan toko tidak menyediakan tempat duduk untuk makan, perlu trik untuk bisa mencicipi makanan-makanan di sini. Seperti saya, yang terpaksa menepi ke gang yang lebih sepi untuk bisa menyantap kerang yang saya beli dari sebuah toko khusus penjual kerang kukus.

Pilihan hidangan kerang di toko tersebut simpel, hanya ada dua yakni kerang tiram atau baby scallop. Untuk kerang tiram, topping-nya berupa bawang daun iris dan bawang putih halus, sedangkan untuk baby scallop yang memiliki cangkang lebih besar, topping-nya lebih berwarna, yakni bihun dan bawang putih yang lebih banyak. Daging kerangnya terhitung kecil bila dibandingkan dengan kerang tiram. Mulut pun penuh akibat tumpukan bihun beraroma bawang putih. Hati-hati, ada ‘kejutan’ berupa irisan cabai rawit di tengah-tengah bihun! Secara personal, saya lebih memilih kerang tiram karena tidak terlalu anyir dan teksturnya kenyal.

    Melanjutkan perjalanan menyusuri jalan besar, pengunjung Shangxiajiu akan melewati deretan pertokoan dan dua perempatan. Pada perempatan terakhir, akan terlihat sederet toko makanan di sebelah kiri. Inilah ujung keramaian pertokoan, tapi jangan terkelabui, karena di sini tak kalah padat pengunjungnya.

Dari jarak jauh sudah terlihat banyak orang berbaris rapi di depan kedai. Ternyata ada dua kedai stinky tofu di antaranya. Antrean yang panjang membuat si empunya kedai ‘memasang’ pegawai khusus untuk mengurus pembayaran, sehingga saat tamu sudah sampai di urutan terdepan, cukup tukar kupon yang sudah dibayar tadi. Kedua kedai di sini menjual stinky tofu khas Hunan, yang memang terkenal akan kudapan ini.

Saya pun mengantre di kedai berspanduk hitam bertuliskan ‘Changsha Chou Dou Fu’ yang berarti stinky tofu Changsha (ibu kota Hunan). Tersedia dalam dua porsi, yakni porsi besar dan porsi kecil. Untuk membuat tahu tidak terlalu berbau tajam, tahu difermentasi hingga hitam pekat, lalu digoreng. Saat matang, bagian tengah tahu dilubangi dengan ujung sumpit lalu disiram saus kecap asin bercampur daun ketumbar, bawang putih goreng, dan saus cabai yang kental.

Walau tampilannya tak meyakinkan, rasanya lezat! Bau busuk tahu sudah berkurang banyak karena proses penggorengan dan tambahan bumbu. Seperti masakan khas Hunan lainnya, rasa asin dan pedas menjadi bintang utama di kudapan ini.

Puas berbelanja, saya tergoda oleh aroma khas niu za atau anekan jeroan sapi yang dimasak dalam kaldu sarat rempah berwarna kecokelatan. Jajanan ini bisa ditemukan hampir di seluruh pelosok Guangzhou. Kalau kebanyakan orang menjauhi jeroan, pencinta segala makanan seperti saya justru mendatanginya. Apalagi ketika disuguhi semangkuk usus, babat, dan paru dalam kaldu pekat. Ah, ini, sih, kesukaan saya.

Cukup dengan membayar 10 yuan (± Rp22.500), saya mendapatkan kombinasi apik antara jeroan dengan lobak. Lagi-lagi akibat keterbatasan tempat duduk,  tiap porsi disajikan menggunakan mangkuk plastik dilengkapi tusuk satai. Kaldunya kaya five spice powder untuk memangkas bau anyir jeroan. Karena sedang musim dingin, semangkuk niuza hangat ini berhasil mengisi kembali tenaga serta menjadi penyelamat tangan yang mulai kedinginan.


Jangan Lewatkan Ini!

Pedagang kaki lima biasanya suka berkumpul di keramaian pusat belanja atau daerah wisata. Walau barang yang dijual biasanya sama, tak ada salahnya menyempatkan diri untuk mencicipi jajanan lainnya di kota ini.

1. Manisan buah: Lain cerita dari rujak. Terdiri dari potongan buah  melon kuning, mangga, pepaya, hingga stroberi kecil yang direndam dalam larutan acar. Pembeli diberikan keranjang plastik kecil dan bebas memilih varian buah sebelum ditimbang. Bisa dinikmati langsung atau ditambah bubuk cabai.

2. Egg waffle: Berasal dari Hong Kong. Sebelum melewati gerobaknya, biasanya sudah tercium harum adonan yang sedang dicetak. Bila beli di kaki lima, biasanya tak ada topping apa pun, hanya bermodal rasa manis dan wangi vanilla dari adonannya.

3. Jian bing: Crêpe dari adonan tepung terigu, namun lebih lengket dan pekat. Isiannya adalah telur, selada air, dan pangsit goreng, disalut taoco. Lebih enak bila disantap dengan sambal atau tambahan isi seperti sosis atau abon.(f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?