Travel
Kota Tua, Salah Satu Pesona di Georgia

10 Jul 2016


Foto: Dok Pribadi

Sempat menjadi salah satu negara terkaya di bawah naungan USSR (Union of Soviet Socialist Republics) pada masanya, Georgia akhirnya memisahkan diri untuk menjadi negara yang independen sejak tahun 1991. Suasana Kota Tbilisi sebagai ibu kota sungguhlah menarik. Di satu sisi terlihat unsur modern karena adanya kereta bawah tanah dan jalanan lebar dan teratur. Di sisi lain, masih banyak bangunan tua yang menjadi saksi sejarah Georgia dari sebelum merdeka dahulu, bahkan sejak zaman kerajaan.

Dari kejauhan tampak sebuah patung wanita berdiri tegak di atas bukit. Patung Kartlis Deda, yang juga dikenal dengan istilah Mother of Georgia, berdiri di puncak Bukit Sololaki sejak tahun 1958, bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-1.500 Kota Tbilisi. Patung wanita yang mengenakan baju nasional itu melambangkan karakter nasional orang Georgia. Tangan kiri memegang semangkuk minuman anggur untuk menyambut yang datang sebagai teman, sedangkan tangan kanan memegang sebilah pedang untuk menyambut yang datang sebagai musuh.

Kalau patung Kartlis Deda itu tergolong kuno, jembatan yang diberi nama The Bridge of Piece yang menghubungkan sisi kota tua dan kota baru di Tbilisi justru futuristis. Diresmikan tahun 2010, jembatan itu menggunakan sensor gerak di sisi kiri kanan besi pegangannya untuk mengaktifkan gerakan cahaya khusus sehingga memberikan kesan lampu jembatan menyala, saat ada orang yang menginjakkan kaki di platform penyeberangannya. Saya sempat bolak-balik beberapa kali saking kagumnya pada bentuk jembatan yang sangat mencolok di tengah suasana kota yang terkesan kuno ini.

Dari jalanan utama, saya mulai blusukan ke jalan-jalan kecil di area kota tua Tbilisi. Di tengah bangunan-bangunan kaca dan besi yang cenderung seragam dan tak berjiwa, di sebuah jalan kecil tampak struktur bangunan yang dengan lantang menunjukkan karakter uniknya.

The Leaning Tower of Tbilisi ini sebenarnya bukan bangunan tua. Namun, selama 30 tahun, Rezo Gabriadze, seorang pemain boneka kayu, menggunakan bahan-bahan dari bangunan tua yang ditinggalkan ataupun rusak akibat gempa bumi untuk membangun teaternya. Selesai pada tahun 2007, 4 tahun kemudian ia menambahkan menara jam miring di sebelah teaternya yang sekarang menjadi salah satu pemandangan arsitektur khas di Tbilisi.

The Leaning Tower of Tbilisi
Foto: Dok Pribadi

Saya menemukan rekomendasi tempat makan tak bernama yang menyajikan menu makanan khas Georgia. Saya masuk ke sebuah kafe dengan suasana rumah yang hangat. Beberapa kucing sedang asyik tertidur di atas bantal-bantal di sofa yang kosong.

Beruntung, mereka punya menu dalam bahasa Inggris. Saya pun memesan khinkali, yang katanya makanan khas Georgia. Khinkali ini bentuknya mirip Chinese dumpling, tapi ukurannya lebih besar dan kulitnya lebih tebal. Saya sempat membaca artikel tentang cara makan khinkali ini. Katanya, ujung kulit di bagian kuncupnya tidak boleh dimakan habis. Bukan karena mitos, tapi untuk mempermudah saat menghitung jumlah khinkali yang habis dimakan sebelum bayar.
 
Dari Tbilisi, saya mengarah ke bagian utara Georgia, tepatnya 10 km dari perbatasan antara Georgia dan Rusia. Di sana ada sebuah desa yang sangat menarik perhatian karena pemandangan pegunungan di sekitarnya yang spektakuler. Stepantsminda yang masih lebih sering disebut dengan nama lamanya, Kazbegi, terkenal akan pemandangan dan wisata alamnya, yang merupakan bagian dari Pegunungan Kaukasus Besar.

Selain museum serta gereja kecil yang ada di tengah kota, bangunan yang menjadi ikon di daerah Kazbegi adalah Gergeti Trinity Church yang terletak di ketinggian 2.170 meter di kaki Gunung Kazbek.

Gergeti Trinity Church yang dikenal juga dengan nama Tsminda Sameba dalam bahasa Georgia, atau Holy Trinity Church dalam bahasa Inggis, dibangun pada abad ke-14. Yang membuat gereja ini banyak dikunjungi turis adalah lokasinya yang memiliki latar belakang pegunungan cantik, yang dihiasi salju hampir sepanjang tahun. Warna padang di sekelilingnya berubah-ubah tergantung musim. Kadang-kadang hijau menghampar dihiasi bunga warna-warni, kadang-kadang cokelat kontras dengan salju di sekelilingnya.

Untuk mencapai gereja tersebut bisa ditempuh dengan 1-2 jam berjalan kaki dari Desa Kazbegi, atau sekitar 30 menit naik jeep melewati hutan dan jalanan berliku. Dari sana harus trekking beberapa jam lagi untuk mencapai gletser di ketinggian 3.000 mdpl dan menyewa pemandu jika ingin mencapai puncak Gunung Kazbek (5.033 mdpl). 

Awalnya saya sempat jalan kaki dari Desa Kazbegi, lalu bertanya-tanya kepada penduduk lokal. Entah apa saya dan suami yang salah mengerti, atau memang jalurnya seperti itu, kami harus melewati bebatuan besar serta pagar kawat yang ada di belakang desa. Tidak berapa lama kami masuk ke area hutan yang lama-kelamaan jalurnya  makin terjal. Kami sempat harus merangkak-rangkak di lereng bukit hijau yang tanahnya agak berpasir.

Saya kemudian mendengar derum  mobil yang sepertinya sedang melewati jalur jalanan berliku. Begitu kami tiba di pinggir jalan selepas memanjat lereng, rupanya mobil itu melihat kami, lalu berhenti. Dengan bahasa isyarat, dia mempersilakan kami untuk masuk ke mobilnya. Kami pun langsung masuk dan berterima kasih. Namun, karena dia tidak bisa berbahasa Inggris, tidak ada komunikasi yang berarti di antara kami.

Setelah beberapa kali lagi kelokan tajam di jalanan yang sangat tidak mulus dan beberapa area licin karena ada lapisan es, akhirnya mobil yang kami tumpangi sampai ke area terbuka. Sontak kami bertiga sama-sama berdecak kagum dan menahan napas saat melihat pemandangan Gergeti Trinity Church yang berdiri megah beberapa ratus meter di depan kami, di puncak bukit dengan latar belakang Mount Kazbek yang cantik bersalju.

Mobil berhenti di area parkiran di bawah gereja dan saya pun mengucapkan terima kasih sekali lagi. Sang pria penolong kami rupanya bagian dari grup yang sudah sampai di sana sebelumnya. Kemungkinan mereka orang-orang Rusia yang mau melakukan pemotretan karena terlihat beberapa peralatan kamera.

Puas menikmati keindahan di sekitar Gergeti Trinity Church, saya pun jalan kaki lagi untuk pulang ke desa. Kali ini saya memilih jalanan mobil dan tidak lewat hutan. Ternyata, jauh lebih mudah dan cepat. Sepanjang jalan saya melewati lapisan-lapisan es tipis yang sudah mulai terbentuk akibat cuaca dingin.

Sampai di homestay, kami disuguhi teh panas dan buah-buahan oleh ibu pemilik homestay yang sangat perhatian. Malam harinya ditutup oleh makan malam lezat yang dimasak langsung di dapur si ibu, termasuk keju dan acar buatan sendiri. Malam itu saya tidur lelap ditemani hawa hangat dari perapian sederhana yang berjuang mengalahkan hawa malam musim dingin. (f)

Susan Natalia (Kontributor - Bandung)


Topic

#TravelingGeorgia

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?