Travel
Jalan-jalan Sumba Barat: Tanah Seribu Kampung (Bagian 1)

11 Mar 2017


Foto: Dok. Pribadi

November lalu, atas undangan Yayasan Sayangi Tunas Cilik yang merupakan mitra Save The Children, Redaktur Pelaksana femina, Yoseptin Pratiwi, mengunjungi Kabupaten Sumba Barat untuk menggali persoalan mengenai kepemilikan akta kelahiran anak-anak penganut agama lokal Marapu. Berikut ini cerita tentang kampung-kampung adat Marapu.

Mungkin berbeda dengan sebagian besar orang yang jatuh hati pada Sumba karena padang rumput luas berpayung langit biru, seperti yang digambarkan dengan sempurna di film Pendekar Tongkat Emas (2015). Saya justru terpikat Sumba karena sebuah mamoli, perhiasan berbentuk jajaran genjang dengan belahan di bagian tengah yang saya lihat pertama kali beberapa tahun lalu di suatu pameran kerajinan.

Seperti punya daya magis, benda itu menarik-narik saya untuk datang ke tempat asalnya. Berkunjung ke kampung-kampung adat, saya pun tak hanya menemukan mamoli, tetapi juga filosofi hidup penganut Marapu, agama lokal masyarakat Sumba, yang hidup selaras dengan alam sebagai wujud penghormatan kepada Sang Pencipta.
 
Kampung di Tengah Kota
Terbang dari Jakarta, saya harus transit di Bali, untuk meneruskan penerbangan selama 1 jam menuju Bandara Tambolaka di Kabupaten Sumba Barat Daya. Ketika pesawat mulai terbang rendah untuk persiapan mendarat, napas saya tertahan menatap hamparan laut yang terlihat kehijauan dari atas, mengelilingi Pulau Sumba.

Belum selesai dengan kekaguman itu, saya segera berkendara dengan mobil selama kurang lebih satu jam untuk mencapai Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat. Sepanjang perjalanan, saya berkali-kali melewati kerbau sedang berkubang lumpur di tepi jalan atau sekadar duduk malas di rerumputan. Sementara kuda-kuda Sumba yang gagah dilepas bebas di halaman rumah penduduk. Saya baru tahu, kerbau merupakan hewan yang akrab bagi masyarakat Sumba, bukan hanya kuda seperti yang saya tahu selama ini.

Waikabubak yang berarti ‘air yang membual’ (memancar keluar) adalah kota yang unik, kampung-kampung adat Marapu terletak di berbagai sudut kota itu. Sebagai informasi, Marapu merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Sumba yang meyakini ada kekuatan tertinggi, yakni Mawolu-Marawi yang secara harfiah berarti ‘yang menciptakan’ atau ‘yang membuat’. Mawolu-Marawi juga disebut Marapu. Kedudukannya sangat tinggi, sehingga manusia perlu perantara roh leluhur bila ingin menyampaikan permohonan dan mengetahui kehendak-Nya. Karena itu, penganut Marapu sangat menghormati roh leluhur mereka.

Kampung pertama yang saya datangi keesokan pagi adalah Kampung Tarung, tak jauh dari pasar inpres Waikabubak. Hanya 10 menit bermobil dari Hotel Manandang, tempat saya menginap. Lokasi Kampung Tarung ini berdampingan dengan Kampung Waitabar dan hanya dipisah oleh satu rambu penanda saja. Di beberapa kelokan jalan menuju kampung, saya menemukan batu kubur. Rasanya saya seperti dibawa masuk ke zaman megalitikum.     
      
Begitu sampai di depan bina tama (pintu gerbang masuk kampung), saya bisa melihat jajaran uma (rumah) adat khas Sumba yang berupa rumah panggung, dilengkapi dengan menara yang tinggi. Uma dibuat tanpa paku, bagian-bagian rumah yang terdiri atas kayu dan bambu ditautkan dengan pasak serta tali kayu (kalere) atau rotan (uwe). Atap uma terbuat dari rumput ilalang kering, yang menurut aturan adat harus diambil dari sebidang tanah tertentu.

Kampung adat memiliki rumah besar (uma kalada) yang merupakan uma yang dibangun oleh nenek moyang pendiri kampung tersebut, dan dihuni secara turun- temurun oleh generasi berikutnya. Rumah besar ini dipercaya sebagai tempat para arwah leluhur bersemayam. Di sini juga ditempatkan harta benda pusaka keluarga. Bersama uma kalada, rumah-rumah lain dibangun secara berderet-deret melingkari pelataran tempat upacara pemujaan dilakukan (natara podhu).

Saya berjalan di jalanan setapak yang dibalut batu kerikil. Untung saya mengenakan sepatu tertutup. Kalau tidak hati-hati, saya bisa menginjak kotoran hewan seperti anjing, ayam, kucing, dan anak-anak babi kecil yang berseliweran bebas, yang terkadang menabrak kaki kita. Di kubur-kubur batu megalitik (warga Marapu menguburkan jenazah keluarga mereka di batu kubur secara turun-temurun yang dibangun tepat di depan uma masing-masing keluarga) yang besar dan tampak menghitam oleh lumut, warga menjemur padi dan pakaian. Hal ini memang cukup mengganggu pemandangan dan keindahan foto, tapi begitulah kehidupan mereka berjalan.

(Klik halaman di bawah untuk melanjutkan membaca)
 


Topic

#travelingindonesia

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?