Travel
Jalan-jalan Aceh: Menyesap Kopi di Takengon

23 Feb 2017


Foto: Natalia Oetama

Tidak sedikit pelancong solo, apalagi wanita, yang masih ragu untuk bertualang ke kota  yang terletak 315 kilometer dari ibu kota Aceh ini. Bukan karena tidak indah, melainkan karena banyak rumor yang sering kali membuat nyali ciut, misalnya cerita wanita tidak boleh keluar rumah sendiri, wanita harus mengenakan kain penutup kepala, wanita tidak boleh berjalan berdekatan dengan lawan jenis, dan masih banyak lagi.
 
Usai menghabiskan liburan di Pulau Weh, saya, Natalia Oetama, merasa sayang jika tidak melanjutkan perjalanan ke Takengon, yang jaraknya sudah cukup dekat hanya karena kekhawatiran yang belum saya buktikan sendiri. Maka, setelah menempuh perjalanan laut dengan kapal feri selama 2 jam dari Pulau Weh ke Banda Aceh, lalu dilanjutkan perjalanan darat selama kurang lebih 8 jam, tibalah saya di Takengon, kota pegunungan yang penuh kehangatan.

Pertanian dan perkebunan menghiasi pinggiran kota. Tidak mengherankan, mengingat perkebunan kopi di Tanah Gayo ini memang telah dikembangkan sejak ratusan tahun lalu. Bahkan, produksi kopi yang dihasilkan dari Kabupaten Aceh Tengah ini merupakan yang terbesar di Asia dan menjadi salah satu penghasil kopi arabika terbaik dunia.

Di Takengon, melihat biji kopi dijemur bukanlah  pemandangan yang aneh. Hampir di halaman depan tiap rumah dipenuhi oleh biji-biji kopi. Wangi kopi pun menyeruak menemani saya berjalan kaki mengelilingi daerah sekitar hotel.

Wangi khas dari sebuah rumah kecil beratap seng membawa langkah kaki saya mendekat. Kepulan asap dan hangatnya kayu api dari tungku dengan segera menyambut saya. Di depan tungku, seorang bapak tua dan pemuda setengah baya tengah sibuk membakar biji kopi. Mereka tampak tidak terganggu oleh kehadiran saya, hanya melihat dan tersenyum.

Sang bapak lalu menuangkan biji kopi yang baru saja masak ke wadah datar yang  terbuat dari kayu. Kembali aroma kopi nan mewah memanjakan hidung saya. Sementara itu, sang pemuda mengambil seember biji kopi mentah berwarna hijau dan menuangkannya ke dalam drum yang sudah dimodifikasi sehingga memiliki pegangan untuk diputar di bawah kayu api. Kegiatan rutin yang dilakukan oleh sebagian besar penduduk Takengon.

Kopi memang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Takengon. Tidak mengherankan, ada banyak kedai kopi kecil dan sederhana di sini. Pada pagi atau malam hari, warga akan mendatangi gerai kopi dan berkumpul sambil menyesap si hitam ini.

Malam itu, Yudhi mengajak saya mencicipi segelas kopi Aceh di Horas Kopi yang terletak di Jalan Sengeda No. 566. Kedai kecil berukuran 3x4 meter itu terletak tak jauh dari hotel tempat saya menginap. Suasananya sederhana, berbeda dengan suasana kedai kopi mewah di kota besar. Meski malam mulai larut, kursi-kursi di kedai ini masih dipenuhi pelanggan yang menikmati kopi sambil berbagi cerita. “Seperti inilah suasana malam di Takengon. Biasa saja...,” ujar Yudhi, sambil menyeruput kopinya.

Meski umumnya pengunjung kedai kopi adalah para pria, kehadiran saya malam itu tidak menjadi hal yang asing. Saya bisa menikmati segelas kopi tubruk seharga Rp15.000 dengan santai, sambil mengobrol dengan Yudhi.

Sebagai wanita beretnis Tionghoa, bermata sipit, dengan kalung salib di leher dan berjalan sendiri tanpa kain penutup kepala, awalnya saya sempat dipenuhi banyak kekhawatiran tentang Aceh. Tapi, semua itu terpatahkan. Di Takengon, kota yang terbilang dingin ini, saya justru menemukan kehangatan dari warga setempat. (f)

Baca Juga:
 


Topic

#travelingindonesia

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?