Travel
Hanoi, dari Kaki Lima hingga Restoran

15 Apr 2016


 
Merambah kuliner Kota Hanoi bukan hanya soal rasa, tapi juga sejarah, kultur, dan perkembangan sebuah kota. Kemajuannya dipengaruhi oleh aktivitas wisatawan asing dan para ekspatriat yang menjadikan Hanoi sebagai tempat tinggal. Kuliner Hanoi mengalami perkembangan, baik pada rasa maupun tampilan, berkat tradisi dan modernisasi yang memilih untuk berpadu.  Sebagai salah satu destinasi wisata kuliner di Asia Tenggara, saya, tergoda untuk mencicipi rasa khas ibu kota Vietnam ini, merangkum kenikmatannya dalam sejumlah tempat wajib kunjung di Hanoi.


BUKAN SEKADAR RESTORAN
Bagi para ekspatriat dan wisatawan asing, Koto Van Mieu adalah salah satu restoran populer wajib coba di Hanoi. Koto --sebutan populernya-- sudah berdiri sejak 1996. Restoran yang pernah disinggahi mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton,   itu adalah ikon modern kuliner Hanoi.

Wisatawan asing dan ekspatriat tidak hanya datang untuk makan, tapi juga mendukung inisiatif pemiliknya, Jimmy Pham. Warga Australia asal Vietnam ini mengusung konsep social enterprise di restorannya. Pham tidak melulu memikirkan soal bisnis. Ia menjadikannya sarana pelatihan tenaga profesional di bidang kuliner. Pesertanya bukan sembarang orang, melainkan anak jalanan dan tenaga muda kurang mampu.

Dua kali dalam setahun restoran ini akan merekrut tenaga profesional baru. Jika kemampuan dirasa sudah memenuhi syarat, peserta training lantas beralih status menjadi pekerja full time. Jebolan Koto banyak dilirik oleh restoran ternama di Hanoi. Bahkan, hotel sekelas Sofitel Legend Metropole Hanoi atau Sheraton Hanoi tak ragu merekrut anak didik Koto.

Ini salah satu restoran yang bisa Anda datangi jika mencari makan di waktu yang cukup pagi. Koto beroperasi dari pukul 07.30 hingga 22.00 waktu setempat. Kapan pun para tamu ingin makan: sarapan, makan siang, makan malam, atau minum-minum sore, semua dilayani di Koto.

Tidak ada menu khas di restoran ini. Semua masakan, baik tradisional maupun western, menjadi bintang utama. Ada berbagai pilihan jus buah segar, aneka salad, makanan utama, hingga sandwich. Sebagai pemanasan, saya memilih Koto Combo Platter yang berisi fresh spring roll dan fried spring roll. Menu populer bagi para pemula berkat rasanya yang mudah diterima lidah universal. Sudah biasa menyantap salad mangga, saya mencoba nộm hoa chuối, salad jantung pisang yang dipercaya masyarakat Vietnam sebagai makanan sehat. Rasanya segar! Thịt bò nướng ống tre atau daging sapi yang dimasak dalam bamboo menjadi pamungkas acara makan siang saya di Koto.

Restoran yang menghadap Temple of Literature --salah satu objek wisata paling terkenal di Hanoi-- ini menyajikan masakannya dengan tampilan berkelas untuk menunjukkan hasil belajar anak-anak didiknya. Mayoritas restoran di kota ini menempati bangunan ruko dengan jumlah lantai yang terkadang tidak masuk akal, bahkan hingga enam lantai. Menggunakan bagian roof top demi mendapatkan pemandangan spektakuler Kota Hanoi. Tak terkecuali Koto yang menempati bangunan empat lantai yang semuanya menjadi area santap. Di rooftop, kebun Temple of Literature dengan pepohonannya menjadi pemandangan luar biasa. Cocok menjadi tempat ngopi di sore hari. Perdalam pengetahuan memasak kuliner Vietnam dengan mengikuti kelas masaknya. Jika ingin, Anda juga bisa ikut sang chef belanja ke pasar tradisional.
 

GAYA MODERN KULINER TRADISIONAL

Ada pula restoran Quan An Ngon yang menawarkan rasa tradisional dalam bungkusan modern. Jika ingin merasakan street food khas Vietnam di tempat yang nyaman dan bersih, di sinilah tempatnya. Pertama kali menginjakkan kaki, saya terpesona dengan suasananya.  Walau konsepnya seperti food court, meja-meja makan, bangku-bangku panjang, dan kursi-kursi kayu ditata di ruang terbuka. Keriuhannya menyajikan suasana makan yang sangat khas.

Di malam hari, suguhan matanya lebih spektakuler. Kain tenda tergantung pada tiang-tiang yang tak lain adalah batang-batang pohon rindang. Pendar lampu temaram menciptakan suasana romantis. Angin sepoi-sepoi dari kipas angin yang dipasang di tiap sudut menjamin kenyamanan pengunjung sekaligus membuat suasana lebih alami.

Kios-kios ‘berdandan’ dalam tampilan kayu tradisional. Tampah-tampah bambu dicat  warna-warni dengan menyematkan nama-nama makanan yang dijual di tiap kios. Pemandangan segunung mi beras dalam bakul bambu mendominasi. Beberapa kios menggelar setumpuk bahan masakan dalam panci-panci mengilap yang dilapisi daun pisang segar. Lemari-lemari kaca berkilau memamerkan kesegaran dan kebersihan bahan-bahan makanan berkualitas.

Seporsi hidangan dalam piring dan mangkuk yang menjadi contoh penyajian dipajang cantik. Semua tertata rapi dalam aneka warna, diiringi aroma menggoda yang membuat perut mendadak kosong minta diisi. Cita-cita sang chef dalam membawa masakan rumahan Vietnam dengan tampilan kontemporer berhasil meraih perhatian warga lokal, ekspatriat, dan wisatawan asing.

Segala jenis masakan tradisional dari seluruh penjuru Vietnam ada di sini, termasuk yang tak pernah saya dengar sebelumnya. Di antara sekian banyak yang dijajakan, saya terpincut mien luon, salah satu masakan khas utara Vietnam. Masakan berupa bihun kuah ini dilengkapi daging belut rebus yang lembut dan daging belut goreng renyah. Dibanding makanan berkuah khas Vietnam lainnya, entah mengapa rasanya sup mien luon ini terasa lebih kompleks.

Banh cuon salah satu yang juga harus dicoba, yakni semacam lumpia basah dari tepung beras yang dibuat segar saat dipesan. Untuk Anda yang muslim, sebaiknya memilih banh cuon isi sayuran, karena umumnya sajian ini berisi daging babi. Sebagai penutup, che pilihannya. ‘Che’ adalah kata untuk menyebut segala minuman manis tradisional Vietnam. Walau bisa dibuat dari aneka macam bahan, seperti buah-buahan dan kacang hijau, kali ini saya mencicipi che yang dibuat dari bijinya teratai yang kerap disebut chạt sen. Segar!

Sangat sulit menemukan bangku-bangku kosong pada jam-jam makan terutama pada malam hari. Ramainya pengunjung yang mengisi tiap meja membuat hawa dinamisnya terasa hingga ke luar restoran. Menggoda siapa pun untuk mencoba!
 
LEGENDA YANG TAK TERBANTAHKAN
Berdiri sejak 1871, Cha Ca La Vong adalah restoran tempat pelanggan lokal dan asing menjadi bagian dari sejarah kuliner Hanoi yang panjang. Cha ca (baca: cha ka) adalah satu-satunya hidangan di restoran legendaris ini. Saking terkenalnya, jalan tempat berdirinya restoran ini pun dinamai Cha Ca. Tak terhitung berapa stasiun televisi dan buku travel internasional yang mencantumkannya sebagai destinasi wajib!


Banyak restoran lain yang meniru konsep masakan Cha Ca La Vong, namanya pun mirip karena nama Cha ca merupakan nama sebuah masakan. Wisatawan asing yang tidak mengetahuinya terkadang mendatangi restoran yang salah.

Jangan patah semangat dengan interior ruang yang sederhana dan redup. Tampilan kursi dan mejanya seperti warung di kampung terpencil. Hawa di dalamnya pun sedikit pengap. Mungkin karena cat dinding berwarna suram serta lemari dan dekorasi serba berjelaga. Hati-hati saat  naik ke lantai 2 karena tangganya sangat curam. Walau begitu, atmosfer muram terkalahkan oleh cerita mulut ke mulut yang mengiringi perjalanan sajian yang sangat khas ini. Karenanya, pengunjung tetap memadati  tiap sudut ruangan.

Cha ca adalah sajian daging ikan yang digoreng lalu ditumis. Setelah menunggu beberapa saat,  potongan snakehead fish (sejenis ikan gabus) akhirnya tersaji dalam wajan berisi minyak panas di atas kompor portable. Saya harus meraciknya sendiri. Caranya, tambahkan daun dill dan bawang daun yang disediakan ke dalam wajan. Aduk rata, tunggu hingga daun layu.

Ambil mi beras, masukkan ke dalam mangkuk makan. Taburi daun ketumbar dan potongan cabai merah untuk kejutan pedas penambah selera. Lalu, siram dengan ikan tumis beserta dedaunan dan minyaknya. Beri saus ikan, saus terasi (mắm tôm),, dan kacang sebagai sentuhan akhir. Ah… sedap! Pastikan semua elemennya ada dalam tiap suapan. Rasa tipis gurih yang nagih menjadi daya tarik sajian ini. Pengunjung lokal biasanya menggeprek kacang di meja menggunakan tangan menjadi potongan-potongan kecil agar  renyahnya merata dalam mulut.

Harga paket per orangnya sekitar VND170.000. Lebih mahal dibanding restoran lain yang menyajikan menu serupa. Namun, jika Anda   ingin mencicipi kelezatannya dan menjadi bagian dari sejarah kuliner Hanoi, harga bukanlah masalah.
 

IKON KULINER RAKYAT

Selain ikan goreng ala Cha Ca La Vong, belum afdal rasanya bila tidak mencicipi pho di negara asalnya. Apalagi, Didier Corlou --juru masak paling terkenal seantero Vietnam, pemilik beberapa restoran dan sekolah masak-- mengatakan bahwa seseorang yang mengunjungi Vietnam dan tidak mencoba pho, maka dia belum merasakan pengalaman kuliner Vietnam yang sebenarnya.

Corlou pernah menyatakan bahwa pho adalah salah satu alasan mengapa ia menetap di Vietnam. Jika dianalogikan, pho layaknya mi bakso di Indonesia. Makanan rakyat yang tak luput dari lidah semua kalangan. Pho dijajakan di berbagai tempat, mulai dari warung dengan dingklik plastik yang dijejer seenaknya di pinggir jalan, hingga hotel bintang lima. Tiap daerah memiliki cita rasa tersendiri dalam membuat pho.


Banyak versi mengenai asal muasal pho. Konon, istilah pho diambil dari kata feu dalam bahasa Prancis yang berarti api. Pengucapan yang sama ketika menyebut feu dalam bahasa Prancis dan pho dalam bahasa Vietnam (yaitu: fe, dengan e seperti menyebut kera). Ada yang mengatakan bahwa pho merupakan adaptasi masyarakat Vietnam dari hidangan Prancis pot-au-feu yang diperkenalkan pada masa okupansi Prancis di Vietnam. Pot-au-feu merupakan sup daging dan sayuran.

Ada juga yang mengatakan, pho dibuat oleh koki asal Kota Nam Dinh, daerah industri tekstil dengan banyak pekerja warga Prancis dan buruh Vietnam. Sang koki berpikir bahwa sup adalah makanan yang bisa diterima kedua bangsa. Dengan menggabungkan mi  beras ala Vietnam dan daging ala Prancis, jadilah resep pho yang bisa diterima lidah semua orang.

Cerita lain menyebutkan, pho dibawa oleh orang-orang dari kampung Van Cu di bagian utara, yang diduga telah membawa makanan ini ke Hanoi. Pemilik usaha pho yang hampir seluruhnya berasal dari kampung ini, merupakan alasan di baliknya.

Pho dibuat dari mi beras dengan kuah yang sebenarnya berbumbu minimalis. Walau demikian, kekuatan pho justru terletak pada kuahnya. Variasi daging juga menentukan kelezatannya. Ada dua jenis daging yang digunakan, yaitu daging ayam (phở gà) dan daging sapi (phở bò). Daging ayam biasanya hadir dalam bentuk suwir. Tidak demikian dengan daging sapi. Walaupun bagian daging sapi yang digunakan bermacam-macam (daging tanpa lemak, daging berlemak, urat, dan kaki), semua diiris tipis.

Taoge, bawang bombay, cabai merah, daun mint, dan irisan jeruk nipis mengiringi pho. Sebelum mulai makan, masukkan semuanya ke dalam mangkuk jumbo pho berkuah panas. Ada yang menambahkan cakwe dan bakso sebagai variasi. Biasanya, pho di pinggir jalan hanya mengenal cakwe sebagai tambahannya, sedangkan bakso adalah variasi yang dikenal pada restoran kelas menengah.  
           
Restoran waralaba Pho 24 yang juga ada di Indonesia, tersebar di penjuru Kota Hanoi. Tapi, mumpung sedang di Hanoi, saya ingin mencoba rasa pho yang lainnya. Untuk sekelas tempat makan atau restoran, Pho 10 adalah salah satu resto yang wajib dicoba. Menempati bangunan permanen dengan meja-meja dan kursi yang selalu penuh terisi orang lokal bercampur wisatawan,  restoran ini bukan tempat untuk bersantai-santai menikmati suasana. Tempat ini didedikasikan hanya untuk makan, kemudian pergi.

Bagian dapurnya dilapisi kaca sehingga pelanggan bisa melihat aktivitas dapur yang didominasi oleh kepulan uap panas dari rebusan mi dan kuah pho. Panci-panci besar, tumpukan mangkuk, dan peralatan masak yang bergelantungan adalah pemandangan yang biasa di sini. Para pegawainya mengenakan seragam warna oranye. Kerinduan pada suasana ‘rumah’ sedikit terobati dengan hadirnya sambal seperti yang tersedia di warung bakso di Indonesia.

Rasa pho di sini tidak seringan restoran pho waralaba lain yang pernah saya coba. Dagingnya gurih, kuahnya kaya bumbu yang aromanya sangat kentara seperti kebanyakan pho yang ditujukan untuk masyarakat lokal.

Namun, bagi yang ‘tega’ makan sambil nongkrong di trotoar, coba pilih salah satu yang pas di hati. Jujur, pengalaman seperti ini justru yang saya cari. Duduk di dingklik sambil melihat si penjual meracik. Hiruk pikuk jalanan membuat suasana lebih autentik. Keramahan si penjual hingga seruputan panas kuah pho pinggir jalan akan  makin mengukuhkan pengalaman kuliner yang sebenarnya di Hanoi. 
 

Tip berburu kuliner Hanoi:
  • Siapkan saputangan sendiri. Selain lebih terjamin kebersihannya, mayoritas restoran di Hanoi tidak menyediakan tisu. Jika ada, tisu yang disediakan adalah tisu basah yang akan dikenakan biaya tambahan.
  • Restoran Koto, Cha Ca La Vong, dan Pho 10 berada di kawasan Old Quarter Kota Hanoi. Restoran Quan An Ngon berada di pinggiran Old Quarter. Lebih mengasyikkan menyusuri kawasan ini dengan berjalan kaki di sore atau malam hari.
  • Jika bepergian saat puncak musim kering (Mei-Agustus), siapkan topi, tabir surya, kacamata hitam, dan air minum karena cuaca bisa sangat panas.
WIWIK MAHDAYANI 
 


Topic

#WisataVietnam

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?