Travel
Cerita 3 Wanita Tentang Asyiknya Solo Traveling

5 Oct 2018

 

SalliSabarrang, Marketing Communication, Jakarta
Menghibur & Menguji Kemampuan Diri Sendiri

 
Jalan-jalan sudah mulai saya kenal sejak masih SD. Ayah saya yang berprofesi sebagai pegawai pemerintah kerap berpindah tempat tugas. Pulang ke kampung halaman nenek saya yang berada di Bulukumba, Sulawesi Selatan, sudah menjadi agenda rutin kami tiap liburan tiba.
 
Pulang kampung ke Bulukumba ini secara tidak langsung menumbuhkan kecintaan saya pada traveling. Tidak seramai Kota Makassar tempat kami tinggal, walau jaraknya hanya sekitar 4 jam perjalanan darat. Namun, tetap saja memberikan pengalaman yang tidak biasa seperti di kota.

Kecintaan saya pada traveling ini makin kuat ketika saya pindah dan kuliah di Bandung, Jawa Barat. Bersama teman-teman, kami pernah beberapa kali mengunjungi destinasi wisata di Indonesia, salah satunya Bali.
 
Saya memang bukan tipe orang yang menyukai traveling ramai-ramai. Salah satu alasannya, tidak mau ribet dengan sikap sebagian teman-teman yang terkadang mengacaukan agenda liburan dan akhirnya tidak seru dan kurang menikmati. Belum lagi ketika mengatur rencana perjalanan, seperti memilih penginapan dan lainnya, pasti sangat repot, karena harus disepakati.
 
Pernah suatu kali, saya dan empat teman kuliah melakukan perjalanan ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Salah seorang teman saya ternyata tidak suka cuaca panas. Ketika yang lain seru-seruan di malam hari sebelum istirahat, dia lebih memilih di kamar hotel saja. Setelah itu, sekitar tahun 2012, saya pun merasa bahwa solo trip itu lebih bagus.
 
Saya senang traveling yang sifatnya adventure di tempat-tempat atau negara yang unik, tidak terlalu populer bagi wisatawan, serta tempat yang memungkinkan saya mengeksplorasi kearifan lokal. Negara-negara yang pernah saya kunjungi adalah Mongolia, Rusia, Kenya, Ethiopia, India, dan Nepal.
 
Saya suka tracking, climbing, dan road trip. Saya pernah ke Gurun Gobi dan menginap di tempat tinggal suku yang hidup nomaden di Mongolia. Tahun 2017 lalu, saya juga pernah ke Ethiopia, mengunjungi salah satu gereja yang berada di tebing, yang untuk menuju ke sana harus mendaki tebing dengan kemiringan hampir lebih dari 90 derajat tanpa alat keselamatan.
 
Melakukan perjalanan seorang diri membuat saya merasa lebih merdeka. Bebas memilih ke mana saja saya pergi dan kegiatan apa saja yang saya inginkan. Saya juga bisa berinteraksi dengan orang-orang baru, baik orang lokal maupun traveler dari negara lain. Memang terkesan egois, tapi solo trip mengajarkan saya banyak hal, seperti kemandirian, keberanian, dan survive dalam keadaan buruk sekalipun.
 
Selama solo trip, saya belajar bersyukur, bahwa ada yang hidupnya lebih sulit dibandingkan dengan kesulitan dan keruwetan di Jakarta. Ethiopia termasuk wilayah paling kering di dunia. Dengan suhu udara mencapai 42 derajat Celsius di malam hari. Untuk mendapatkan air minum saja harus berjalan kaki berkilo-kilo meter.
 
Bagi saya, traveling merupakan sarana untuk menghibur diri. Juga refresh hidup, setelah hampir tiap hari menghadapi kemacetan Kota Jakarta. Apalagi dengan solo trip, saya memiliki kesempatan untuk menenangkan pikiran. Ada kalanya kita ingin bebas dari gangguan orang lain, bahkan teman sekalipun.
 
Saya menganggap solo trip adalah sarana untuk menguji kemampuan dalam menghadapi berbagai keadaan, baik cuaca, bahaya, maupun budaya masyarakat setempat yang jauh berbeda dengan saya.
 
Begitu menyenangkan ketika saya menginap di tempat penduduk yang tidak paham bahasa Inggris. Saya mampu menyesuaikan diri, walau berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Ternyata, dengan memakai bahasa isyarat pun, kita bisa saling memahami.
 
Traveling memberikan saya energi baru. Bahkan, ketika memikirkan suatu negara dan merencanakan untuk berkunjung ke sana saja, saya sudah merasa senang dan memiliki semangat yang luar biasa.
 
Saya traveling di dalam negeri sekitar tiga kali dalam setahun, sedangkan ke luar negeri saya lakukan minimal sekali dalam satu tahun dengan durasi sekitar 2-3 minggu. Untuk menemukan rumah-rumah penduduk yang bisa ditumpangi, saya biasanya mencari referensi di TripAdvisor forum. (f)
 
REYNETTEFAUSTO, DESIYUSMANMENDROFA

Baca Juga:


Destinasi Kuliner: Surga Ikan Bakar di Kota Ambon
5 Alasan Berlibur Lebih Lama di Sanur!
Kearifan Lokal di Balkondes, Desa Wisata Binaan BUMN di Kawasan Candi Borobudur
 


Topic

#travel, #solotraveling

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?