Travel
Berkunjung ke Rumah Charlie Chaplin di Switzerland

24 Oct 2018


Manoir de Ban, rumah kediaman keluarga Charlie Chaplin di Vevey, Swiss.
/Foto: Chaplin's World
 

Smile though your heart is aching. Smile even though it’s breaking
When there are clouds in the sky, you’ll get by…

Suara merdu Nat King Cole saat menyanyikan Smile, mengalun, memenuhi ruang atmosfer Manoir de Ban, kediaman Charlie Chaplin, di kota Vevey. Sejak dari halaman depan rumah, lantunan musik ini terdengar ke seantero kebun seluas 14 hektar.

Sebuah chandelier cantik menjuntai dari salah satu dahan pohon ek berusia ratusan tahun yang meneduhi halaman depan rumah bercat hijau menta itu. Sinar lampunya yang keemasan mengaksentuasi langit lembayung senja yang berarak pergi berganti malam. Menghadirkan suasana syahdu dan melankolis.

Atas undangan Jungfrau Railway, saya, Naomi Jayalaksana, mendapat kesempatan mengenal sisi pribadi komedian humanis itu di seperempat babak terakhir hidupnya di Swiss.

Di ruma ini lah saya berjumpa Eugene Chaplin, putra bungsu komedian pantomim Charlie Chaplin, salah satu “pahlawan” saya sejak dari masa kecil. Bisa bertemu dengan salah satu keturunan Chaplin, dan bertanya banyak tentang sisi pribadi ayahnya, menjadi sebuah kemewahan yang tak ternilai dengan uang.

 

Agar tetap bisa mandi sambil menonton TV, Charlie melengkapi TV nya dengan wiper untuk menghapus embun air.
/Foto: NJL
 
Chaplin adalah salah satu pahlawan saya. Dari dia saya belajar untuk meyakini bahwa mimpi bisa menjadi nyata, dan bahwa keajaiban itu ada.

Menjadi sebuah keajaiban, sebab meski tak ada suara, akting dan mimik Chaplin berbicara jauh melebihi kedalaman kata-kata. Dengan tingkah konyolnya yang menerbitkan tawa, tokoh the Tramp ini mengajak orang untuk tidak menyerah pada kehidupan. 

Pria yang hidup hingga usia 88 tahun ini berhasil menangkap kelucuan di balik tragedi, bahkan bersahabat dan tertawa bersamanya. Persis seperti lirik lagu Smile. Saya baru tahu dari Eugene kalau lagu ini bukan ciptaan Nat King Cole, seperti yang selama ini saya pikir, tapi oleh ayahnya untuk film Modern Times.

Pria kelahiran East Lane, Walworth, Inggris 16 April 1889 itu tumbuh dan besar dalam kemiskinan dan lingkungan hidup yang keras.

“Seumur hidupnya, ia adalah adalah seorang pekerja keras,” ungkap pria delapan bersaudara ini. Kepada anak-anaknya, Chaplin sering berpesan, “Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau jika mau mengusahakannya sekeras mungkin. Jika kamu memiliki fokus tujuan yang pasti, kamu akan sampai ke tujuan.”

Pengalaman hidup ini pula yang menurut Eugene membuat Chaplin dengan ketat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Eugene menjadi salah satu yang pernah kena sasaran saat pulang sekolah dengan nilai buruk. “Ini Karena kamu tidak belajar cukup keras,” tegur Chaplin.

Meski bukan ayah yang keras, tapi sindiran tajam ini bisa berlanjut hingga berhari-hari. “Sampai-sampai, ibu meminta saya sembunyi setiap kali ayah muncul,” kenang Eugene tertawa, mengingat akal-akalan ibunya, Oona Chaplin.

 

Foto keluarga Chaplin selalu mencerminkan jiwanya yang nyeni dan eksentrik. Kata "wajar" tak ada dalam kamusnya./Foto: NJL
 
 
Tumbuh dan besar dalam ketidakteraturan, agaknya membuat Chaplin cukup disiplin dalam membimbing anak-anaknya. Segala kegiatan di rumah mereka berjalan secara terjadwal. Saking teraturnya, tepat pukul 19:45 mereka sudah harus duduk di meja makan dengan sopan untuk makan malam bersama.

“Tidak ada satu orang pun yang pergi meninggalkan meja sebelum waktunya. Jika terpaksa, mereka harus minta izin dengan sopan,” lanjut Eugene.

Meski terkesan cukup ketat, Chaplin tetaplah figur ayah yang menyenangkan bagi anak-anaknya. Terlebih, karena sikap humoris itu tidak hanya berlangsung di layar kaca, tapi juga di dalam keseharian.

Melalui potongan rekaman video buatan Oona, kami menyaksikan bagaimana Chaplin selalu berhasil membuat anak-anaknya tertawa. Ia bermain sulap, bercanda sampai mereka terguling-guling di rumput.

Chaplin juga gemar bertingkah konyol, mengurutkan kedelapan anaknya berdasarkan tinggi badan dan usia. Apakah itu saat mereka berfoto bersama, atau saat mengantre karcis di gedung pertunjukan.     

“Tawa adalah minuman tonik pelega, penghapus lara. Sehari tanpa tawa, adalah hari yang sia-sia,” ungkap Chaplin. (f)



Baca Juga:

“Terbang” Melintasi Pegunungan di Swiss
Menjejakkan Kaki di Puncak Eropa


Topic

#Travel, #Profil, #Tokoh

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?