Travel
Berbaur dan Merasakan Kehidupan Penduduk Desa Mae Kam Pong, Chiang Mai

21 Apr 2018


Foto: Des


Pengantar: Atas undangan Tourism Authority of Thailand (TAT), Jakarta, Redaktur Feature femina, Desiyusman Mendrofa, mengunjungi Propinsi Chiang Mai dan Mae Hong Son, Thailand pada 17-23 Maret 2018 lalu. Destinasi pilihan untuk wisata keluarga dan kuliner.

Berangkat dari Jakarta pada Sabtu, 17 Maret 2018, siang. Setelah tiga jam penerbangan, kami sampai di Bandar Udara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok. Di bandara udara terbesar Negara Gajah Putih ini kami transit untuk menuju ke Propinsi Chiang Mai. Perjalanan dari Bangkok ke Chiang Mai sekitar 50 menit.

Sesampainya di Chiang Mai, kami langsung menuju salah satu restoran yang populer yaitu The River Market Restaurant untuk makan malam. Esoknya, Minggu, 18 Maret 2018, kami kembali meneruskan perjalanan. Tujuan kami adalah Propinsi Mae Hong Son, salah satu propinsi di Thailand bagian udara yang juga memesona.

Bila menggunakan transportasi udara dari Bangkok, kita harus transit di Chiang Mai. Dari Chiang Mai ke propinsi yang berdekatan dengan negara Myanmar ini butuh waktu sekitar 45 menit penerbangan. Memang ada transportasi darat seperti bus, namun itu akan sangat jauh melelahkan karena jalanannya berkelok-kelok.

Mendarat di Bandar Udara Internasional Chiang Mai dari Propinsi Mae Hong Son pada Senin, 19 Maret 2018, hari sudah cukup sore. Saya dan rombongan jurnalis dari Jakarta, langsung bergegas menuju sebuah perkampungan wisata bernama Mae Kam Pong dengan berkendara.

Dari balik jendela mobil, saya mengamati pemandangan alam, pepohanan yang rindang dan perbukitan, hingga rumah-rumah penduduk yang berjejer di pinggir jalan. Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam, kami mulai memasuki jalanan yang sempit, jalur berkelok dan menanjak. Itu tandanya kami akan sampai di tempat tujuan.

Sekitar pukul 5 sore waktu setempat, kami sampai di Mae Kam Pong, sebuah desa yang damai yang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Hari masih sangat terang, saya pun bisa menikmati keindahan dan kedamaian kampung wisata yang diapit oleh perbukitan yang hijau. Dari celah-celah daun pepohonan, terlihat rumah-rumah kayu dengan warna coklat tua yang khas berjejer di lereng bukit.

Saya pun berjalan melewati jembatan dan rumah penduduk, ditemani suara air mengalir yang berasal dari sungai kecil tak jauh dari pinggir jalan. Air sungainya jernih, lengkap dengan bebatuan yang cukup besar.

Mae Kam Pong adalah kawasan homestay pertama di Thailand. Di sini, para wisatawan dapat menginap di rumah penduduk. Sebuah kesempatan dan pengalaman menyenangkan untuk bisa mempelajari budaya dan gaya hidup penduduk lokal.

Ada sekitar 60 rumah yang bisa ditempati dengan biaya per malam rata-rata sekitar 800 Bath (Rp353 ribu), sudah termasuk makanan yang lezat dan minuman. Dari beranda homestay, kita bisa menghirup udara pegunungan yang segar.

 

Foto: Des
 
 

Konon, leluhur desa ini berasal dari daerah Doi Saket yang juga masih berada di wilayah provinsi Chiang Mai. Mereka berpindah dan mendiami Mae Kam Pong karena daerah ini lebih subur. Nama Mae Kam Pong diambil dari nama bunga yang indah yang tumbuh di sepanjang sungai di kawasan ini.

Penduduk setempat terkenal sebagai petani teh dan kopi. Selain dari pertanian, dahulu masyarakat setempat menambah penghasilan mereka dengan membuat bantal dari daun teh. Bantal daun teh tersebut dipercaya akan membuat tidur lebih nyenyak. Kami pun mencoba membuat bantal dari teh, yang menjadi salah satu atraksi menarik yang bisa dilakukan bersama keluarga.

Setelah berhasil membuat bantal berukuran kecil, agenda selanjutnya adalah mengeksplor setiap sudut kampung. Di salah satu rumah, saya izin untuk menengok ke bagian dalam, dari pintu dapur. Rumah panjang dengan model rumah panggung itu tampak bersih dan rapi. Penghuninya pun ramah menyambut saya dengan senyuman.
 

Foto: Des
 
Perjalanan berlanjut ke sisi lain, melewati jalan menurun, kami tiba di sebuah kuil. Ini adalah satu-satunya kuil Budha yang terdapat di Mae Kam Pong. Dibangun bersamaan dengan hadirnya penduduk serta permukiman mereka.
 
Kuil ini terdiri dari dua bagian, satu berukuran besar berada di pinggir jalan, di depannya terdapat museum Mae Kam Pong. Sedangkan bagian kuil lainnya, cukup unik, berada di tengah sungai dimana air mengalir dari depan melewati sisi kiri dan kanan. Bangunan kuil didominasi oleh kayu jati. Yang menarik adalah bagian atapnya yang dilengkapi dengan ukiran kayu khas Kerajaan Lanna.
 

Foto: Des

Selain kuil, Pud Pa Peng Coffee House dengan dinding kayu yang tinggi adalah salah satu tempat ikonik di Mae Kam Pong. Saya pun tidak melewatkan untuk berfoto di sana. Masih banyak spot foto lainnya yang sengaja dibuat untuk memuaskan hasrat berfoto para pengunjung. Satu lagi yang tak boleh terlewatkan adalah menikmati kuliner lokal, pisang kepok bakar. Penutup hari yang menyenangkan di Mae Kam Pong.

Baca Juga:
Coba Pengalaman Baru Mencicipi Sajian Thailand Utara

Cita Rasa Lezat Thailand di Open] Restaurant


Topic

#wisatathailand, #chiangmai, #maekampong, #travel

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?