Sex & Relationship
Psikolog Kristi Purwandari: Ini Efek Psikologis yang Dialami oleh Wanita yang Mengalami Marital Rape

26 Nov 2017


Foto: Pixabay

Saat hubungan intim menjadi pemaksaan di dalam rumah tangga (marital rape), tentu hanya penderitaan yang dirasakan. Meski telah sah di bawah hukum perkawinan, marital rape adalah sebuah pemerkosaan. Tidak hanya melukai fisik, perbuatan itu juga menyebabkan luka psikis berkepanjangan.
 
 
Kristi Poerwandari, psikolog dari Yayasan Pulih, lembaga nonprofit yang berfokus pada pemulihan dari trauma dan penguatan psikososial bagi masyarakat menganalogikan, hidup bersama pasangan yang melakukan marital rape, seperti setiap hari bekerja sama dengan partner kerja (misal di kantor), yang tidak menghormati kita, bersikap menuntut (tidak saling mendukung timbal balik).
 
“Kemungkinannya kita tertekan dan tidak bahagia. Apalagi ketika harus memiliki pasangan hidup yang tidak matang, sibuk dengan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, bersikap kurang menghormati, dan sebagainya. Jadinya, perkawinan dan kehidupan seksual dalam perkawinan bukan hal yang membahagiakan, tetapi malahan menjadi sumber stres,” ujar psikolog asal Universitas Indonesia itu.
 
Keliru jika berasumsi efeknya lebih ringan karena melibatkan pasangan yang resmi dalam perkawinan. Pemerkosaan tetap pemerkosaan. “Yang membuat korbannya lebih menderita bahwa ia terikat dalam perkawinan, maka kemungkinan akan terjadi berulang kali sangatlah besar. Yang juga membuatnya berbahaya adalah kerap kali ini juga disertai tindak kekerasan fisik,” ujar Kristi.
 
Marital rape bisa menimbulkan trauma berat. Efeknya bisa sangat lama dan menyiksa. Korban bisa mengalami gangguan rasa cemas (anxiety), ketakutan, insomnia, post-traumatic stress disorder, hingga depresi.
 
Untuk mencegah marital rape, sangat penting mengenali hal apa yang melatarinya. Menurut Kristi, ini mungkin terjadi karena suami merasa berhak dilayani dan dipenuhi kebutuhan seksualnya oleh istri, dan ia tidak peduli apa yang terjadi pada istrinya atau apa yang membuat istrinya merasa nyaman.
 
Padahal, bagi seorang istri, kenyamanan dan kesediaan berhubungan seksual itu berkaitan dengan banyak faktor lain. Sementara suaminya hanya berpikir, istri wajib melayani suami, tanpa mencoba mengerti berbagai faktor lain, misalnya apakah istri sudah dimudahkan dan didukung oleh suami dalam menangani berbagai tugas majemuknya sebagai ibu, pengelola rumah tangga, pengurus anak, sekaligus pencari nafkah,” jelas Kristi.
 
Menurutnya, marital rape merefleksikan cara pandang yang mengutamakan kepentingan superioritas laki-laki atau suami. “Bila suami dibiasakan menganggap dirinya lebih penting sehingga kebutuhannya harus diutamakan, dengan sendirinya ia mungkin menjadi kurang sabar, mudah marah, sulit mengelola emosi, penuntut, dan tidak mencoba berempati terhadap situasi istri,” kata Kristi.
 
Tanpa disadari, pasangan juga ikut member andil dalam membuat hubungan posisi tidak setara. Meski pasangan bersikap merendahkan, tidak menghargai, atau menghina, ia tidak berani melepaskan diri dari pasangannya.
 
Lantas, bisakah marital rape dicegah? Kuncinya, menurut Kristi, adalah membuat masalah tidak sampai berkembang menjadi sangat kompleks dan tertumpuk-tumpuk oleh berbagai emosi yang telanjur sangat negatif. “Biasanya, bila ada masalah yang tidak dibahas, akan bertumpuk dengan masalah lain lagi. Demikian seterusnya. Bahkan kemudian ada persoalan kekerasan dan lain sebagainya yang menjadi sangat sulit dan mungkin terlambat untuk ditangani,” ungkapnya.
 
Konseling akan sangat membantu, bila dilakukan sedini mungkin. Berbagai hal dapat dibereskan sejak dini. Misalnya, suami diberi pemahaman mengenai kondisi istri, dan istri dapat belajar mengenai bagaimana mengomunikasikan ketidaknyamanannya dengan cara yang tidak enyinggung
perasaan suami. Konseling dengan konsultan pernikahan akan membantu, bila kedua belah pihak bersedia terbuka dan memiliki niat baik untuk memperbaiki hubungan.
 
Psikolog perlu menyampaikan kepada pihak wanita bahwa ia adalah pribadi yang berharga. Bila wanita sudah telanjur ada dalam hubungan tidak setara selama masa pacaran, sebaiknya ia mencari pertolongan untuk membebaskan diri, bukan membiarkan diri terus ada dalam hubungan yang penuh kekerasan, yang dalam perkawinannya nanti bisa dipastikan akan mengalami marital rape.
 
Kristi menyarankan agar kita melakukan pencegahan sejak masa pacaran. “Kenali karakternya seperti apa. Bila sejak pacaran sudah terlihat sibuk dengan kepentingan sendiri, banyak menuntut, kurang memberikan perhatian terhadap kebutuhan kita, kita perlu terbuka membahas hal ini. Bila tidak ada perubahan, sebaiknya hubungan tidak perlu diteruskan. Saat pacaran saja sudah banyak tekanan dari pasangan, bagaimana kita berharap dalam perkawinan nanti hubungan akan membaik?” katanya, mengingatkan.(f)
 

Baca juga:
Kekerasan Seksual terhadap Anak, Apa yang salah dengan Pendidikan kita?
Marital Rape, Sebuah Fenomena Gunung Es
Hukum Marital Rape


Topic

#maritallrape

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?