Sex & Relationship
Marital Rape, Sebuah Fenomena Gunung Es

24 Nov 2017


Foto: 123RF

Saat hubungan intim menjadi pemaksaan di dalam rumah tangga (marital rape), tentu hanya penderitaan yang dirasakan. Meski telah sah di bawah hukum perkawinan, marital rape adalah sebuah pemerkosaan. Tidak hanya melukai fisik, perbuatan itu juga menyebabkan luka psikis berkepanjangan.
 
Saat wanita dan pria memiliki suara yang sama dalam politik, ketika puncak organisasi/perusahaan diduduki wanita sudah bukan sesuatu yang asing, sungguh ironis, sebagian wanita masih berjuang untuk memiliki kemerdekaan sepenuhnya atas tubuh mereka sendiri. Marital rape atau pemaksaan hubungan seks, yang umumnya dilakukan pria terhadap wanita, masih banyak terjadi di dalam perkawinan.
 
Hal ini terbukti lewat Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan United Nations Population Fund (UNFPA). Dari sekitar 9.000 responden, berusia 15-64 tahun, ditemukan bahwa seperempat wanita menikah pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami.
 
Kekerasan terhadap istri bahkan mendominasi kekerasan terhadap wanita di ranah rumah tangga/relasi personal yang ditemukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang dilaporkan dalam Catatan Tahunan Maret 2017.
 
Angka yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Pengadilan Agama, rumah sakit, dan laporan langsung ke Komnas Perempuan itu  menemukan, sepertiga dari kekerasan yang dilakukan di ranah rumah tangga dan relasi personal adalah kekerasan seksual. Data tersebut juga menyebutkan, ada 135 kasus pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape.
 
“Yang masuk dalam istilah marital rape bisa sangat luas. Intinya, ketika hubungan seksual dipaksakan melalui berbagai cara, dan akhirnya terjadi, meskipun salah satu pihak tidak menginginkan, merasa terpaksa, merasa sakit, diperlakukan dengan tidak hormat dan sekadar sebagai alat untuk pemuasan kepuasan pasangannya, tidak menikmati, baik dibarengi kekerasan fisik maupun tidak,” ujar Kristi Poerwandari, psikolog dari Yayasan Pulih, lembaga nonprofit yang berfokus pada pemulihan dari trauma dan penguatan psikososial bagi masyarakat.
 
Marital rape adalah hal serius, tapi masih belum banyak dikenali. Angka 135 tentu hanya sebuah titik tanda. Besaran angka kekerasan terhadap wanita yang tercatat oleh Komnas Perempuan merupakan fenomena gunung es. Hanya sedikit yang terlihat di permukaan daripada yang tersembuyi di bawah permukaan. Masih banyak wanita korban tidak mampu dan tidak berani menceritakan pengalaman kekerasannya, apalagi berani mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan.(f)
 

Konsultan:  Kristi Poerwandari, psikolog dari Yayasan Pulih


Baca juga:
Kekerasan Seksual terhadap Anak, Apa yang salah dengan Pendidikan kita?
Kepuasan Seks = Orgasme?
Lawan Pelecehan Seksual di Dunia Kerja


Topic

#maritalrape

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?