Sex & Relationship
Batasi Hubungan dengan Keluarga Pacar untuk Kurangi Drama Saat Putus

13 Jan 2018


Foto: 123RF


Hubungan cinta memang seharusnya membuat dua insane saling bahagia. Namun, ketika hubungan tersebut cenderung membuat stres, bisa jadi ada yang salah. Dan saat berusaha keluar dari hubungan yang tak berjalan lancer dengan memutuskan cinta, tak lantas menjadi perkara mudah. Terlebih bagi pihak yang memutuskan hubungan, harus siap menerima konsekuensi terburuk.
 
Menurut riset dari Brigham Young University dan University of South Alabama, sebagian besar orang memilih pendekatan langsung ketika menerima berita buruk, termasuk putus cinta. Jika disampaikan dengan terbuka dan jelas, berita buruk akan lebih mudah diterima. Seperti pengalaman Poppy (30, Bankir, Bandung) yang sukses memutuskan hubungan dengan kekasih tanpa banyak ‘drama’.

Bagi saya, satu hal penting dalam menjalin hubungan adalah menghindari berkenalan dengan keluarganya dan batasi kedekatan ia dengan keluarga kita sebelum benar-benar yakin ia orang yang kita pilih. Sebisa mungkin saya akan mengulur-ulur kesempatan untuk datang ke rumah pacar atau berkenalan dengan keluarga saat pacaran. Sebab, itu akan menjadi beban ketika di tengah jalan kita ingin putus.
 
Prinsip ini yang selalu saya jalani saat berpacaran dengan seseorang, termasuk dengan Denny. Hubungan kami berjalan kurang lebih dua tahun sebelum akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan karena hal yang prinsip. Ketika itu, Denny dipindah tugas ke luar kota dan saya bukanlah
penganut hubungan jarak jauh.
 
Di lain sisi, selama berhubungan dengan Denny, saya tidak merasakan percikan cinta yang besar. Entah mengapa, saya selalu merasa hubungan kami datar-datar saja. Mungkin karena Denny sosok pria yang selalu mengikuti apa kemauan saya. Hubungan cinta memang butuh kompromi dan kerjasama untuk membuatnya berjalan mulus, tapi ketika ini terjadi, saya justru jadi tidak melihat sosok Denny yang seutuhnya.
 
Semua keraguan itu pula yang menyebabkan saya berusaha menjaga jarak dengan keluarga Denny. Sebaliknya, saya juga tidak memperkenalkan Denny sebagai kekasih kepada orang tua saya. Hingga keraguan saya itu berakhir pada keputusan untuk mengakhiri hubungan kami. Dan moment kepindahan Denny ke luar kota menjadi alasan yang paling masuk akal. Meski begitu tidak serta merta saya memutuskan
 
Denny karena alasan kepergiannya. Karena, sebelum memutuskan untuk menerima jabatan baru di luar kota, Denny mengajak saya berbicara. Saat itu ia juga membuka kemungkinan kami untuk membawa hubungan menjadi lebih serius.
 
Tapi memang tak dipungkiri, saat itu kami berdua sama-sama sedang berada dalam kondisi puncak ingin mengejar karier. Maklumlah usia saya baru 25 tahun dan Denny 27 tahun, sehingga ‘ide’ menikah masih terasa jauh. Akhirnya kesepakatan bersama, kami mengambil langkah untuk masing-masing berpikir selama beberapa waktu. Tapi saat itu saya berpikir buat apa berlarut-larut. Toh, mengakhiri hubungan secara psikologis akan membuat rasa tidak nyaman bagi kedua pihak.
 
Tepat satu minggu dari waktu tersebut, saya mengajak Denny untuk bertemu dan mengirimkan pesan singkat ‘kita perlu bicara’. Sengaja hal tersebut saya lakukan, untuk memberi tanda pada Denny. Saya percaya, kami sudah sama-sama dewasa dan bisa menerima. Mungkin saya terlihat tidak sensitif, tapi menurut saya masuk dalam pembicaraan dengan cara yang berlarut-larut justru hanya akan menimbulkan masalah.
 
Memiliki waktu berpikir seminggu penuh membuat kami berdua datang dengan pikiran yang lebih jernih. Denny, tidak mungkin menolak tawaran jabatan baru yang bagus untuk kariernya. Dalam kondisi seperti ini, hubungan jarak jauh bukan lah hal yang ingin saya jalani. Meski saat itu saya yang memutuskan hubungan kami, Denny tidak merasa ego-nya sebagai laki-laki terusik.
 
Kami pun bisa berpisah dengan baik-baik. Dan tanpa kedekatan dengan keluarga masing-masing, rasanya mengakhiri hubungan pacaran jauh lebih mudah dan lapang hati.
Bagi saya, satu hal penting dalam menjalin hubungan adalah menghindari berkenalan dengan keluarganya dan batasi kedekatan ia dengan keluarga kita sebelum benar-benar yakin ia orang yang kita pilih. Sebisa mungkin saya akan mengulur-ulur kesempatan untuk datang ke rumah pacar atau berkenalan dengan keluarga saat pacaran. Sebab, itu akan menjadi beban ketika di tengah jalan kita ingin putus.
 
Prinsip ini yang selalu saya jalani saat berpacaran dengan seseorang, termasuk dengan Denny. Hubungan kami berjalan kurang lebih dua tahun sebelum akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan karena hal yang prinsip. Ketika itu, Denny dipindah tugas ke luar kota dan saya bukanlah penganut hubungan jarak jauh.
 
Di lain sisi, selama berhubungan dengan Denny, saya tidak merasakan percikan cinta yang besar. Entah mengapa, saya selalu merasa hubungan kami datar-datar saja. Mungkin karena Denny sosok pria yang selalu mengikuti apa kemauan saya. Hubungan cinta memang butuh kompromi dan kerjasama untuk membuatnya berjalan mulus, tapi ketika ini terjadi, saya justru jadi tidak melihat sosok Denny yang seutuhnya.
 
Semua keraguan itu pula yang menyebabkan saya berusaha menjaga jarak dengan keluarga Denny. Sebaliknya, saya juga tidak memperkenalkan Denny sebagai kekasih kepada orang tua saya. Hingga keraguan saya itu berakhir pada keputusan untuk mengakhiri hubungan kami. Dan momen kepindahan Denny ke luar kota menjadi alasan yang paling masuk akal. Meski begitu tidak serta merta saya memutuskan
 
Denny karena alasan kepergiannya. Karena, sebelum memutuskan untuk menerima jabatan baru di luar kota, Denny mengajak saya berbicara. Saat itu ia juga membuka kemungkinan kami untuk membawa hubungan menjadi lebih serius.
 
Tapi memang tak dipungkiri, saat itu kami berdua sama-sama sedang berada dalam kondisi puncak ingin mengejar karier. Maklumlah usia saya baru 25 tahun dan Denny 27 tahun, sehingga ‘ide’ menikah masih terasa jauh. Akhirnya kesepakatan bersama, kami mengambil langkah untuk masing-masing berpikir selama beberapa waktu. Tapi saat itu saya berpikir buat apa berlarut-larut. Toh, mengakhiri hubungan secara psikologis akan membuat rasa tidak nyaman bagi kedua pihak.
 
Tepat satu minggu dari waktu tersebut, saya mengajak Denny untuk bertemu dan mengirimkan pesan singkat ‘kita perlu bicara’. Sengaja hal tersebut saya lakukan, untuk memberi tanda pada Denny. Saya percaya, kami sudah sama-sama dewasa dan bisa menerima. Mungkin saya terlihat tidak sensitif, tapi menurut saya masuk dalam pembicaraan dengan cara yang berlarut-larut justru hanya akan menimbulkan masalah.
 
Memiliki waktu berpikir seminggu penuh membuat kami berdua datang dengan pikiran yang lebih jernih. Denny, tidak mungkin menolak tawaran jabatan baru yang bagus untuk kariernya. Dalam kondisi seperti ini, hubungan jarak jauh bukan lah hal yang ingin saya jalani. Meski saat itu saya yang memutuskan hubungan kami, Denny tidak merasa ego-nya sebagai laki-laki terusik.
 
Kami pun bisa berpisah dengan baik-baik. Dan tanpa kedekatan dengan keluarga masing-masing, rasanya mengakhiri hubungan pacaran jauh lebih mudah dan lapang hati.(f)


Baca juga:
6 'Mantra' Buat Sembuhkan Patah Hati
7 Cara Cowok Bebas Patah Hati
20 Tip Untuk Mengobati Sakit Hati


 

Faunda Liswijayanti


Topic

#putuscinta

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?