Profile
Wirausaha Sosial, Gerakan Pemberdayaan Komunitas

29 Jun 2016


Foto: Fotosearch

Sejarah Indonesia mencatat, anak-anak muda yang berperan dalam membuat perubahan. Hal ini tidak bisa kita sangkal. Dari sejarah pendirian republik ini misalnya, salah satu yang menjadi pondasi adalah sumpah pemuda yang baru saja kita peringati.

Tapi, Billy Boen, entrepreneur dan penulis buku Young on Top mengingatkan, memang benar anak-anak muda adalah agent of change. Tapi sebetulnya, mereka yang memiliki kepedulian itu secara persentase sangat kecil dibanding anak-anak muda pada umumnya yang cuek, nge-drug, atau tipe-tipe yang selesai kuliah pulang. Atau selesai jam kantor, pulang.

“Meski begitu, secara kuantitas belakangan ini muda yang peduli dan ingin melakukan sesuatu bagi masyarakat semakin meningkat,” imbuhnya. Tentu saja ini adalah kondisi yang positif.

Salah satunya, seperti yang dilakukan Yovita Salysa Aulia. Pada tahun 2010, demi mengerjakan proyek sosial Indonesia Leadership Development semasa masih menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia, Yovita pertama kali berkenalan dengan para mantan penderita kusta di Tangerang. “Hidup mereka susah karena masyarakat tidak mau menerima mereka karena takut tertular. Padahal, bila sudah sembuh penyakit ini tidak lagi menular,” tutur Yovita, prihatin.
           
Bersama beberapa rekan, Yovita membentuk Nalacity Foundation, dengan tujuan utama ingin memandirikan kalangan mantan penderita kusta dengan produk kreatif. Apa produknya? Jilbab dan kerudung cantik yang diproduksi dan dijual lewat bendera Nalacity Shop. Dengan modal Rp2,5 juta, kini Nalacity sudah memberdayakan 40 perajin. 
          
Sementara di sebuah desa di Malang, Jawa Timur ada Dewi Tanjung yang memberdayakan wanita-wanita di desanya agar bisa mendapatkan penghasilan. Dewi yang dibesarkan dalam kemiskinan, berhasil keluar dari jerat kemiskinan setelah sukses berbisnis kerajinan tangan dari daun-daun dan bunga kering.
           
Miris melihat banyak tetangganya yang kesulitan untuk menyekolahkan anak-anak mereka, Dewi kemudian mengajak ibu-ibu tetangganya untuk menjadi karyawannya. Hebatnya, karena produknya berhasil menembus pasar luar negeri, ibu-ibu yang berjumlah lebih dari 50 orang itu per dua minggu bisa mendapatkan sekitar Rp500 ribu hingga Rp1 juta.
           
Bila dilihat dari model yang dilakukan Liam, Dwi maupun Putri Sentanu dan kawan-kawan, memang berbeda dengan model gerakan yang dilakukan Yovita dan Dewi Tanjung. Bila golongan pertama, tidak mengambil profit bisnis, sementara golongan yang kedua mendapatkan profit. Mana yang lebih baik? Dua-duanya ok, semua punya segi positifnya masing-masing.
           
Bahkan bila ditanya, apakah gerakan-gerakan anak muda seperti ini bisa bertahan lama, Ricky menyebut akan ada seleksi alam dan rejuvenasi. Maksudnya, seiring dengan perubahan zaman, maka dengan sendirinya bentuknya akan beradaptasi atau sisi ektremnya gerakan tersebut akan mati di tengah jalan.

“Misalnya saja, ketika founder-nya mengalami fase perubahan dalam hidup. Misalnya kemudian dia sibukan dengan urusan keluarga, bisa jadi komunitasnya akan terabaikan bila dia tidak memiliki orang lain untuk meneruskannya,” tutur Ricky. Atau, bisa juga disebabkan karena masyarakat kelak memang sudah tak lagi membutuhkan gerakan tersebut. Misalnya untuk nebengers, bisa jadi nanti transportasi massal sudah diperbaiki sehingga macet bisa terurai karena orang-orang sudah menggunakan kendaraan umum. Dengan demikian gerakan tersebut sudah tak lagi diperlukan.
           
Karena itu,  Billy kembali menekankan untuk berpikir ala masa kini, yaitu mengembangkannya menjadi social entrepreneurship. Tetapi, yang harus pertama kali dilihat adalah apakah benar gerakan atau usaha yang dilakukan itu memang ada tujuan mulianya? “Karena terus terang banyak orang yang memulai sesuatu hanya demi uang,” ujarnya.

Sekedar sharing, dulu ketika menulis buku Young on Top, Billy mengaku ingin berbagi atas apa yang ia punyai. Dan untuk sharing bisa didengarkan orang itu berarti seseorang harus punya pencapaian secara riil, karena kalau tidak, mereka hanya terjebak pada teori. Dalam konteks dirinya, Billy menjadi GM PT Oakley pada usia 26 tahun, sebuah posisi yang tak mudah untuk diraih.

“Tetapi, ketika saya mendapatkan email dari orang-orang yang mendapat manfaat dari buku saya, saya seperti mendapat titik balik, bahwa saya mendapatkan kebahagiaan yang tak ternilai,” tuturnya. Setelah itu, Billy menyakini bahwa apapun gerakan kita, bila memang tujuannya memang mulia maka bisa jalan terus.
           
Namun, meski memiliki tujuan mulia, tidak tabu bila gerakan itu menghasilkan uang. Mengapa? Yaitu agar tidak tergantung pada donatur atau sponsor. “Jangan takut untuk menjadi kaya, karena bila kita sudah cukup secara finansial maka kita bisa membantu orang lain,” pungkasnya. (f) 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?