Profile
Seri Kisah Sineas: Yong Shuling, Membangun Empati Lewat Film Dokumenter

8 May 2017


Foto: Honda Tranggono

Kamis (4/5) lalu, Jakarta menjadi tuan rumah Good Pitch2, sebuah gerakan yang memertemukan pembuat film dokumenter dengan para calon mitra untuk bersama-sama menciptakan perubahan sosial yang berdampak, yang diadakan di Asia Tenggara untuk pertama kalinya. femina berkesempatan untuk berbincang dengan Yong Shuling, sutradara iNTuition, satu dari empat film yang mengikuti pitching untuk menggalang dukungan. 

iNTuition adalah sebuah upaya menghapus stereotip bagi para siswa berprestasi akademik rendah di Singapura, di mana kisah-kisah sukses peraih nilai tertinggi diagung-agungkan, dan stres karena belajar telah dianggap lumrah. "Sangat mudah untuk jatuh sayang pada anak-anak di kelas," tutur Shuling, yang memutuskan untuk memerpanjang masa syuting hingga mereka lulus SMP, dan hal ini diamini pula oleh Chia Hai Siang, sang mantan kepala sekolah yang turut hadir dalam pitching. Proses pengambilan gambar, yang dimulai pada tahun 2013, sudah 85% rampung, dan Shuling berharap film ini bisa diluncurkan paling lambat awal tahun depan. 
 
Seberapa personal tema film iNTuition bagi Anda?
Saya dan produser saya, Lisa Teh, dibesarkan di Singapura, dalam masyarakat yang terobsesi pada nilai akademik. Kami ingat rasanya, di usia 12 tahun, kami harus mengikuti Primary School Leaving Examination (PLSE), ujian yang dianggap menentukan masa depan akademik dan kesuksesan kami kelak. Bertemu Meixi Ng, yang berupaya mengembalikan arti belajar di sekolah lewat metode Tutoriá (Tutorial Relationships) dari Meksiko, merupakan pengalaman yang menyegarkan. Kami merasa bahwa ini adalah kisah yang perlu diceritakan, untuk mengubah keadaan para siswa yang kesulitan bertahan dalam sistem pendidikan di Singapura. Bagi saya, film dokumenter adalah alat hebat untuk membangun empati lewat perjalanan hidup seseorang.
 
Seperti apa rasanya menjalankan sebuah proyek selama bertahun-tahun?
Ini adalah proyek film panjang pertama saya sebagai sutradara, dan setiap hari selalu ada hal baru yang saya pelajari. Ini sebuah proses panjang yang tak lepas dari rasa kesepian dan upaya menyeimbangkan waktu dengan pekerjaan. Tapi, saya selalu mengingat para siswa, guru, dan orang tua yang telah membuka diri untuk terlibat dalam film ini, karena kami melakukan ini demi mereka. Ketika berjumpa dengan tim setelah seharian lelah bekerja, kami bisa berkarya dengan penuh semangat. Sesudahnya, saya dan Lisa akan pergi membeli es krim, hahaha!
 
Anda mengangkat tema yang lekat dengan stereotip yang meminggirkan suatu kelompok. Bagaimana orang-orang merespon tema ini?
Orang-orang yang menjadi korban stereotip jarang digambarkan di media atau berkesempatan untuk menyuarakan nasib mereka. Kita tidak bisa membicarakan sesuatu tanpa melibatkan orang-orang yang mengalaminya secara langsung. Tanggapan orang-orang atas trailer film ini menunjukkan bahwa itulah yang selama ini mereka rasakan, tapi tak pernah benar-benar bisa diutarakan. Semua ini meyakinkan saya bahwa kami berada di jalan yang semestinya.
 
Apa tantangan dalam mempresentasikan proyek film dokumenter Anda untuk menggalang dukungan yang lebih luas?
Saya pertama kali mendengar tentang Good Pitch2 ketika menjadi juru kamera untuk sebuah proyek film di Chicago, Amerika Serikat. Berbeda dengan kebanyakan pitching forum di mana kami akan panen kritik, di sini kami justru kebanjiran dukungan, dan tak hanya dalam bentuk dana. Ini seperti sebuah upaya urunan (crowdsourcing) yang dilakukan secara tatap muka. Tadinya, kami tidak tahu seberapa jauh orang-orang akan percaya pada kekuatan film untuk menciptakan perubahan di masyarakat. Kami dibuat takjub dengan berlimpahnya dukungan di acara kemarin.
 
Apa suka-duka Anda menjadi wanita bekerja di industri film?
Ada saja yang berkomentar, “Kapan kamu punya pekerjaan sungguhan?” (tertawa). Membuat keluarga memahami pilihan-pilihan hidup saya dimulai dari langkah-langkah kecil. Di sisi lain, industri film masih didominasi pria. Tapi, eksistensi saya di industri selama ini adalah hasil dari uluran tangan para senior saya, sesama wanita pembuat film, dan saya memilih untuk 'membalas budi' dengan menjadi mentor untuk bakat-bakat baru. Hidup terlalu singkat untuk tidak melakukan hal-hal yang kita sukai dan cita-citakan. Hidup dari melakukan hal yang kita sukai tidaklah mudah, tetapi layak diperjuangkan. (f)

Ingin tahu lebih banyak tentang GoodPitch? Simak video berikut ini.


 


Topic

#sutradara, #film

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?