Profile
Pendeta Merry Kolimon, Memimpin dengan Semangat Feminisme di Kupang

22 Apr 2017


Foto: Dok. Pribadi
 
Pendeta Merry Kolimon patut berbangga, profesi sebagai pelayan rohani yang ditekuninya tak lagi menjadi dominasi pria. Sebaliknya, jumlah pendeta wanita kini lebih besar dari pendeta pria. Namun, Merry enggan terjebak pada politik angka. Terlebih, saat ia melihat masih banyak wanita dan anak menjadi korban kekerasan di kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih lekat dengan budaya patriarkat.

Berbekal kepemimpinan feminis, wanita pertama Ketua Sinode Gereja Majelis Injili Timur (GMIT) ini perlahan berhasil membawa pembaruan dengan membangun pemahaman tentang kesetaraan gender di tengah jemaatnya. Dalam kunjungan media bersama Oxfam ke Kupang, NTT, Pendeta Merry menuturkan perjalanan panjangnya mengubah budaya kolot patriarkat.
 
Memberi 'Mata Baru'
Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih menjadi isu utama di NTT. Riset pengajuan kasus LBH Apik NTT mencatat, pada tahun 2013 lebih dari separuh korban perdagangan orang adalah anak-anak. Bahkan, 83% korban pencabulan juga terjadi pada anak-anak. Sementara itu, dari tahun 2011-2017 tercatat sekurangnya 326 kasus kekerasan fisik terhadap perempuan. Angka statistik ini hanyalah puncak gunung es!

Kenyataan ini mengusik dan membuat duka Merry Kolimon, baik sebagai seorang wanita maupun sebagai seorang pelayan rohani yang dipercaya menggembalakan jemaatnya.

“Kekristenan sudah 400 tahun di sini. Namun, sampai saat ini masyarakat NTT masih berada di nomor 3 termiskin di Indonesia. Kita mesti bertanya, di tengah masyarakat yang religius ini, kalau korban perdagangan orang terus berjatuhan, masalah gizi buruk tak ada habisnya, kematian ibu dan bayi tinggi, ini semua menjadi gugatan pada gereja,” ungkapnya, dalam ketegasan seorang pemimpin.

Budaya patriarkat di NTT, yang lekat dengan konsep maskulinitas yang digambarkan dalam kegarangan, perilaku kasar, kekuasaan yang dominan, dan kearoganan, menurut Merry menjadi salah satu kunci melanggengkan permasalahan di atas. Oleh sebab itu, membangun pemahaman nilai maskulinitas yang baru sangat penting dilakukan di dalam gereja.

“Menjadi laki-laki tidak harus garang dan tukang pukul istri. Peran dalam rumah tangga bisa dibagi antara perempuan dan laki-laki dalam relasi yang lebih adil,” ungkap wanita yang ditahbiskan menjadi pendeta pada tahun 1990 ini.

Pasalnya, kuatnya paham machismo kuno di NTT ini tak urung ikut membangun persepsi yang salah terhadap tafsir Alkitab oleh orang awam. Melalui cara pemahaman yang benar terhadap tafsir pengajaran di dalam Alkitab, Merry ingin menyadarkan bahwa nilai kasih dan iman seorang wanita tidak dinilai dari seberapa kuat ia menanggung segala bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, maupun verbal, dalam diam. “Banyak wanita korban KDRT yang takut melapor karena dianggap sebagai pengkhianat keluarga. Sebagai gantinya, mereka mencari kekuatan dan penghiburan melalui pembacaan kitab suci,” cerita Merry.

Demi mengawal permasalahan ini, dosen di Fakultas Teologi & Direktur Pascasarjana di Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, ini melengkapi para calon pendeta anak didiknya dengan ilmu teologi dan gender. “Berita Alkitab adalah tentang pembebasan, tentang keselamatan, tentang saling menghargai antara perempuan dan laki-laki. Kami berkonsentrasi pada aspek-aspek pengajaran yang seperti itu,” lanjut Merry, yang meraih gelar doktornya dari Universitas Kampen, Belanda, dengan judul disertasi A Theology of Empowerment.

Tidak hanya itu, ia juga berjejaring dengan LBH Apik NTT untuk membekali para rohaniwan awam (bukan lulusan teologi) dengan pelatihan sebagai paralegal. Dengan begitu, mereka tidak hanya fasih membaca Alkitab dan berkhotbah, tapi juga peka terhadap masalah umat. Termasuk mendampingi dan memberikan saran solusi terhadap permasalahan umat dari sisi rohani dan hukum.
 
Berutang Pada Wanita Timur
“Ibu Pendeta, urusan gereja hanya dari pusar ke atas. Dari pusar ke bawah (seksualitas), jangan diurus,” ujar Merry, menirukan ucapan seorang pendeta senior kepadanya. Teguran ini didapatkannya saat ia bertugas melayani umat di gereja suku pedalaman Bajawa, di Desa Bijeli, Mollo Timur. Ia dinilai terlalu lancang karena berani mengintegrasikan isu-isu kesetaraan gender melalui kurikulum pendidikan umat.  

Mereka juga sempat beradu argumentasi. Merry tetap kokoh dengan pendirian. “Gereja tidak hanya mengurusi masalah spiritual, tapi melingkupi persoalan holistis, seperti isu sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dan gender,” tegas Merry.

Di awal pelayanannya di suku pedalaman itu, ia melihat bahwa semua rohaniwan awam yang bisa naik ke mimbar untuk berkhotbah dilakukan oleh pria. Sementara para wanitanya berada di balik layar, sibuk dengan printilan urusan sosial. “Ini adalah bentuk konstruksi gender yang sangat kuat dalam gereja,” nilai Merry.

Ia mengakui, tidak mudah menggoyahkan budaya patriarkat kuno yang telanjur melekat. Gereja tidak bisa bekerja seorang diri. Dibantu oleh Sanggar Suara Perempuan, ia membekali jemaat dengan pemahaman tentang apa itu gender dan seksualitas, bagaimana kepemimpinan perempuan, dan penyuluhan tentang hak kesehatan reproduksi.

Walau menghadapi banyak tantangan, buah dari perjuangannya bisa dipetik dalam waktu yang tidak terlalu lama. Selama tiga tahun masa jabatannya (1997-1999), sebelum ia berangkat menempuh pendidikan beasiswa masternya di Belanda, hampir 50% wanita di gereja itu menjabat sebagai penatua gereja dan dengan percaya diri berdiri di mimbar untuk berkhotbah.

Secara perlahan, implikasi pemahaman kesetaraan gender ini meluas. Hingga di era ini, ketika Merry terpilih sebagai wanita pertama yang menjabat sebagai ketua sinode sejak Gereja Majelis Injili Timur berdiri pada  tahun 1947. Dengan bangga Merry menambahkan bahwa dari lima orang yang menjabat sebagai majelis di tingkat sinode (wilayah), empat di antaranya saat ini dipegang oleh wanita! Bahkan, 60% dari 1.300 pendeta di NTT juga adalah wanita.

Namun, pencapaian yang tergambar melalui figur angka ini tidak membuatnya cepat puas. Menurutnya, meski pendeta wanita  lebih banyak, kalau praktiknya masih menganut paham patriarkat, ya, tidak berubah juga.

Bagi Merry, kepemimpinan wanita saja tidak cukup, tapi harus kepemimpinan yang feminis. Menurutnya, ini berarti tidak lagi mengulang nilai-nilai patriarkat, seperti prinsip asal bapak senang, dan saya memegang seluruh kuasa.

“Kepemimpinan feminis adalah kepemimpinan yang partisipatif dan tekun memelihara komitmen bahwa kita semua setara. Oleh karena itu, ia harus bersedia melakukan auto-critic dan terbuka pada kritik membangun,” papar Merry, yang pernah menjabat sebagai Koordinator Jaringan Perempuan Indonesia Timur (periode 2009-2015).

Keteguhannya memperjuangkan kesetaraan gender, sejak dari lingkup jemaat gereja, ini terinspirasi dari almarhumah ibundanya, Sarlin. Sebagai bungsu dari empat bersaudara, Sarrin hanyalah tamatan SD. Ia dan kakak perempuannya harus berjualan sayur di pasar untuk ikut membiayai sekolah dua saudara laki-laki mereka.

“Sejak saat itu ibu saya bertekad untuk bekerja banting tulang agar anak-anak perempuan dan laki-lakinya memiliki kesempatan pendidikan yang sama. Saya beruntung lahir di keluarga seperti ini,” cerita sulung dari 7 bersaudara ini, bangga.

Sarrlin meninggal saat berobat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, menjelang Merry mendapat promosi gelar doktor dari Universitas Kampten, Belanda. “Dia berharap ikut hadir di promosi saya itu. Katanya waktu itu, ‘Kamu tidak usah pusing soal  biaya. Saya jual madu supaya bisa mendampingi kamu,’” kenang Merry, mengulang ucapan ibundanya. Saat menceritakan ini, air mata meluncur dari pelupuk mata wanita kelahiran Soe, 2 Juni 1972, itu.

Seperti janjinya di masa muda, Sarrlin berjuang jungkir balik mengusahakan biaya pendidikan bagi anak-anaknya. Ia mengumpulkan madu dari petani Timor untuk dijual ke Jawa. Dari Jawa, ia balik membawa baju-baju untuk dijual di kampungnya.

 Dari Sarlin juga, sejak kecil telinganya sudah akrab dengan kata ‘gender’. Meski hanya tamatan SD, pada tahun 1980-an ibunya mengikuti pendidikan pemberdayaan masyarakat dari Yayasan Alfa-Omega, yang membekalinya dengan pemahaman tentang isu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

“Saya berutang pada perempuan-perempuan Timur. Karena, mama-mama kami dengan sangat hebat menghadapi kerasnya hidup. Mereka banting tulang supaya kami bisa sekolah. Kami tidak boleh hidup untuk diri kami sendiri, tapi juga bisa menjadi berkat untuk anak-anak perempuan lainnya,” tutup Merry, mengulas senyum. (f)
 
Baca juga:
Meilina, Dosen yang Masih Belajar Lewat Mengajar
Nova Riyanti Yusuf, Terobsesi pada Kesehatan Jiwa
Sindy Asta, Pendiri Komunitas A Day To Walk, Mengajak Warga Malang Menelusuri Sejarah Kota

 


Topic

#wanitahebat

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?