Profile
Okky Madasari, Melawan Ketidakadilan Lewat Sastra

11 Nov 2018



“Menjadi pengarang, kita harus bisa menjadi apa saja, melahirkan karakter apa saja, tidak hanya orang baik. Kalau menulis dari sisi yang baik saja, kita justru tidak berkembang,” tutur Okky. Baginya, menulis adalah proses dalam perjalanan hidup.

Banyak orang menyebut Okky sebagai ‘The Next Pramoedya Ananta Toer’. Walau tak seperti sang legenda yang pernah dibungkam pemerintah Orde Baru karena kegamblangannya melawan ketidakadilan lewat sastra, keberanian Okky untuk melakukan hal serupa juga tak bisa dianggap remeh. Ia berharap, melalui tulisan-tulisannya yang sarat kritik dapat memengaruhi cara pandang publik terhadap masalah tertentu.

Bagi Okky, sastra tak ubahnya seperti senjata melawan ketidakadilan. Bedanya, ‘senjata’ yang satu ini begitu cantik dan disampaikan secara halus, tapi menohok. Pun tak ada ketakutan dalam dirinya kala menyampaikan kritik tentang ragam isu dengan cara gamblang, tapi penuh estetika.

Bukannya membuat orang bingung atau terasa berat dengan isu-isu serius yang menjadi ide ceritanya --membahas korupsi, kesetaraan gender, hingga kegagapan masyarakat menghadapi dunia serba digital- Okky justru menyajikan cerita dengan bahasa yang mudah dimengerti, bahkan bagi yang bukan penikmat sastra sekalipun. Gaya bahasanya yang cair bisa dengan mudah dipahami kalangan muda, kendatipun isu yang diceritakan terkesan serius.

“Mungkin karena dulu latar belakang saya adalah jurnalis, saya jadi terbiasa membuat tulisan yang mudah dimengerti oleh pembaca. Saya rasa itu jadi salah satu kelebihan saya,” tutur istri dari Abdul Khalik, yang juga berprofesi sebagai jurnalis di media massa nasional, ini.

Tak hanya dinikmati oleh para penikmat sastra lokal, vokalnya Okky dalam mencurahkan kritik sosial dalam karya novel juga menjadi incaran banyak orang di berbagai negara. Tak ayal, situasi ini membuat beberapa novelnya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, beberapa di antaranya dalam bahasa Jerman.

Tahun 2013, Entrok dialihbahasakan dengan judul The Years of the Voiceless. Begitu juga dengan Maryam yang diberi judul The Outcast, Pasung Jiwa dengan tajuk Bound, dan Kerumunan Terakhir sebagai The Last Crowd. Karya-karyanya telah banyak dipasarkan di sejumlah negara, seperti Jerman, Malaysia, hingga Mesir. Ia berharap kelak bukunya dapat masuk dalam pusat industri perbukuan global, yaitu pasar di Amerika Serikat.

Perhatiannya yang besar pada kemajuan dunia sastra telah mendorongnya untuk menggelar acara tahunan, ASEAN Literary Festival, yang sudah dilakukan sejak tahun 2014. Ia ingin festival berskala internasional ini menjadi wadah untuk mengakrabkan sastra dan budaya kepada publik secara lebih luas, dengan menggelar diskusi-diskusi kritis bersama penulis-penulis dari negara-negara ASEAN yang dihadirkannya.
 


Topic

#profil, #okkymadasari, #sastra

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?