Profile
Setelah Tujuh Tahun, Mata Najwa Berhenti Tayang, Najwa Shihab: Saya Bangga Jadi Wartawan

10 Aug 2017


Saya Dekat dengan Keluarga
Tiap orang dalam keluarga saya berpengaruh besar dalam hidup saya. Dari Abi, saya belajar ketekunan. Abi memang sangat tekun, rendah hati, dan low profile. Sementara Mama, yang lebih outspoken dan adventurer, telah mendorong saya lebih aktif dan lebih berani.

Hubungan saya dan kakak sangat dekat. Dari kecil hingga ia menikah di usia 19 tahun, kami selalu sekamar. Saya betul-betul merasa kedekatan itu ketika ikut pertukaran pelajar AFS di Amerika. Bayangkan, setahun tinggal di negeri orang, tinggal bersama orang asing, dan enggak kenal siapa pun! Rasanya home sick dan kangen Kak Ela.

Yang juga punya pengaruh besar dalam hidup saya tentunya suami, Ibrahim Syarief Assegaf. I think I grew up with him. Dia adalah pacar serius saya pertama. Kami menikah di usia muda, saya 20 dan dia 26.Tahun ini berarti sudah 17 tahun usia pernikahan kami. We grow and change together. Banyak memang penyesuaian yang harus kami lakukan. But, we’re looking forward to do it more.
 
Saya Mudah Terharu
Saya selalu berusaha all out melakukan sesuatu. Jika sampai ada penyesalan, saya yakin sudah melakukan semaksimal mungkin. Saya memang orang yang persistence, ngotot, he…he…he… mungkin ini bawaan wartawan. I will take no for an answer. Narasumber akan berusaha saya kejar jawabannya hingga memuaskan.

Hanya Bapak Wakil Presiden Boediono yang sempat membuat saya berkeringat dingin di 15 menit pertama karena jawaban-jawabannya yang singkat. “Aduh, bisa gawat ini kalau pertanyaan saya lebih panjang dari jawabannya,” begitu pikir saya waktu itu. Mungkin yang menjadi penyesalan saya adalah saya belum sempat mewawancarai almarhum mantan presiden, Bapak Soeharto.

Kelihatannya tough, ya? Padahal, saya orang yang mudah menangis.Banyak hal yang bisa membuat saya terharu. Nonton film kartun saja bisa nangis. Apalagi kalau topiknya tentang anak, pasti saya tersentuh. Mungkin karena ingat Izaat (putra Najwa-Red), ya. Belum lagi kalau mendengar isu-isu tentang orang-orang yang haknya terlanggar, orang kecil yang sulit mengakses hukum, hingga orang yang salah tangkap. Hal itu mungkin karena ‘darah’ hukum saya juga kental. Setelah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, saya juga menerima beasiswa S-2 di University of Melbourne, Faculty of Law.

Saya ingat ketika bertugas meliput bencana tsunami di Aceh. Dengan menumpang pesawat milik Jusuf Kalla (waktu itu wakil presiden- Red), sehari setelah bencana, saya menginjakkan kaki di Banda Aceh. Meski sempat shock melihat skala bencana yang begitu besar, selama 6 hari saya bekerja sudah seperti robot. Sibuk banget. Dari mencari narasumber, membantu para korban maupun relawan di dapur umum, hingga mencari tumpangan kendaraan. Bahkan saya sempat ikut truk PMI yang membawa tumpukan jenazah. Saat itu saya enggak berpikir apa-apa, yang penting kerja dan kerja.

Namun, ketika harus melaporkannya di depan kamera, barulah emosi saya pecah. Mungkin, karena baru itulah kesempatan membicarakannya di depan publik. Yang terbayang di kepala saya adalah pemandangan yang menyedihkan, seperti tumpukan ratusan jenazah, anak kecil yangmencari orang tuanya, hingga seorang ibu yang hanya bisa duduk diam dan menatap kerusakan dahsyat di depannya. Semua drama kemanusiaan yang terbuka di depan mata.

Selanjutnya: Saya Bangga pada Indonesia
 


Topic

#NajwaShihab, #presenter

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?