Profile
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Siaga 24 Jam untuk Perlindungan WNI

6 Sep 2017


Dok. Femina

Belakangan sepak terjang Menteri Luar Negeri ke-18 Indonesia, Retno Marsudi (54), dalam menyelesaikan krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar membuat mata publik menyorotnya. Media internasional seperti Reuters, Al Jazeera juga memberitakan pertemuan Retno Marsudi dengan Aung San Suu Kyi di kota Nay Pyi Taw, Myanmar pada awal September lalu.
 
Dalam pertemuan tersebut ia menyampaikan pesan bangsa Indonesia dan dunia internasional agar kondisi di Rakhine State bisa kembali aman, menghentikan penggunaan kekerasan dan perlindungan terhadap semua orang, serta bantuan sosial. Langkahnya tidak berhenti di sana, ia juga terbang ke Dhaka, Bangladesh untuk melobi pemerintah Bangladesh agar bersedia melindungi pengungsi Rohingya yang mengungsi ke sana. 
 
Seperti diketahui, dilaporkan sekitar 58.600 warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar demi menghindari konflik yang kembali pecah di Rakhine. Konflik tersebut dipicu bentrokan militer Myanmar dengan militan lokal yang bernama Pasukan Penyelamat Arakan Rohingya (ARSA).
 
Rangkaian diplomasi Indonesia melalui Menlu Retno Marsudi tentu saja atas perintah dari Presiden Joko Widodo yang sebelumnya telah memberikan pernyataan resmi mengecam terjadinya krisis kemanusiaan di Myanmar tersebut. Apa yang dilakukan oleh Retno Marsudi dengan bergerak cepat untuk krisis ini menunjukkan kepiawaiaannya dalam hal diplomasi. Berkarier sebagai diplomat selama tiga dekade, tentu membuatnya kaya pengalaman menangani masalah internasional.
 
Tahun ini adalah tahun ke-31-nya berkarier di dunia diplomasi. Di matanya, diplomasi bukan wilayah pria, wanita pun bisa melakukannya dan mendapatkan banyak pengalaman berharga. Dalam kesempatan wawancara eksklusif beberapa waktu lalu bersama femina di ruang kerjanya di Taman Pejambon, ia banyak bercerita tentang diplomasi dan bagaimana ia mengimplementasikan peran aktif Indonesia dalam urusan perdamaian dunia. Berikut petikannya.
 
Selama hampir tiga tahun menjabat sebagai Menlu, apa tantangan yang ibu hadapi?
Tantangan yang mengemuka di beberapa tahun terakhir adalah perlindungan WNI. Kalau ada satu nyawa WNI terancam atau mengalami masalah, membuat kami betul-betul berkonsentrasi untuk menyelamatkan dan membantu. Komunikasi itu bahkan sampai ke level saya, sama sekali tidak berjarak. Siapapun bisa langsung berkomunikasi dengan perwakilan kita di luar negeri.
 
Belum lagi, kasus-kasus TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) yang jumlahnya banyak sekali dan mayoritas korbannya wanita. Ada korban TPPO yang pernah kontak, mengaku dipekerjakan di tempat hiburan malam. Konjen kami langsung kontak otoritas setempat dan saat itu juga langsung diambil. Sedekat itu upaya kami dalam melakukan perlindungan WNI, yang makin hari kasusnya makin banyak.
 
Pengalaman berkesan apa saja yang pernah ibu temukan selama menjabat?

Maret lalu, saya mengunjungi TKI kita di Johor Bahru. Saya satu-satunya Menlu yang sampai masuk ke ladang sawit. Untuk apa saya ke sana? Ternyata manfaatnya besar sekali. Pada saat saya datang menemui 200-an TKI, di hadapan perusahaan, saya titipkan langsung pada perusahaan mengenai hak-hak TKI kita. Saya bilang, kalau ada apa-apa dengan warga negara dan TKI kami, Anda berhadapan dengan saya.
 
Tahun 2015, kami juga pernah melakukan upaya evakuasi WNI di Yaman saat terjadi konflik. Itu adalah evakuasi terbesar yang pernah kami lakukan dan prosesnya sangat pelik. Di negara yang sedang berperang, kami harus mengambil WNI, mengurus izin pendaratan pesawat, dan mengorganisir evakuasi 2000-an warga yang posisinya tercecer di Barat dan Timur Yaman. 
 
Menurut Anda bagaimana peran wanita di dunia diplomasi saat ini?
Angkatan saya, kami ber-70, wanitanya delapan, atau sekitar 10 persen. Hanya enam yang bertahan sampai sekarang. Dulu, wanita memang minoritas. Sejak satu dekade terakhir, komposisi wanita diplomat sudah makin banyak, jumlahnya fifty fifty. Malah pernah 51:49, lebih banyak wanitanya. Sistem rekrutmen sudah seimbang. Banyak yang bilang, dunia diplomasi itu dunia pria. Sebab, dianggap dinamikanya tinggi sekali. Pekerjaan sebagai diplomat memang seperti itu, tidak mengenal waktu dan tempat.
 
Bayangkan, waktu Indonesia tidur, Eropa bangun. Lebih parah lagi, Amerika waktunya terbalik dengan kita. Tadi pagi, misalnya, saya ditelepon dubes Amerika pukul 4.45 pagi. Perbedaan waktu itu tidak bisa dihindari.
 
Belum lagi traveling. Kapan pun harus siap berangkat. Dalam kondisi normal, saya berkantor di Jakarta. Dalam kondisi sibuk, mungkin di Jakarta hanya beberapa hari. Kondisi seperti ini sering dianggap lebih cocok dilakukan pria daripada wanita, karena wanita selalu terkait dengan keluarga. Dari pandangan saya, wanita juga bisa melakukannya, asal ada komunikasi yang matang dengan keluarga. (f)

Baca juga:
Diplomasi Membumi ala Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Wanita Pertama Indonesia

Faunda Liswijayanti


Topic

#profil, #wanitahebat, #RetnoMarsudi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?