Profile
Kiprah Vinora Ng di Dunia Fashion: Biarkan Karya yang Bicara

7 Feb 2017


Foto: Dachri Megantara
 
Menjadi ‘kesatria’ dalam Dewi Fashion Knight (DFK) 2016, show yang dinanti para fashionista selama ajang Jakarta Fashion Week 2017, merupakan salah satu pencapaian desainer Vinora Ng (27). Meski tahun ini bukan yang pertama, dua tahun lalu, ia juga menjadi kesatria DFK.

Lewat label luxury ready-to-wear, Vinora, pemenang Lomba Perancang Mode (LPM) yang diselenggarakan Femina Group tujuh tahun lalu ini semakin menancapkan posisinya di dunia fashion Indonesia.
 
Menunjukkan Personality
Saat bertemu di butik Vinora di Jalan Barito, Jakarta Selatan, yang dibuka sejak tahun 2014,   Vinora seperti membentangkan garis pemisah. Unapproachable. Kalimat-kalimatnya pendek, wajahnya ‘lempeng’. Namun, ketika ia menawari kopi sebagai peneman wawancara, ketulusan yang terasa dalam suaranya seperti melelehkan garis pemisah. “Saya penggemar kopi Indonesia, tetapi teknik penyajiannya ala Italia. Kopi ini hasil gilingan mama saya,” ujarnya, sambil meniup secangkir espresso yang masih mengepulkan uap.

 Memilih menjadi fashion designer sebagai jalan hidup, secara tidak langsung ada peran sang mama yang cukup besar bagi wanita kelahiran Jakarta ini. “Mama dan Papa adalah fashion enthusiasts. Mereka penggemar busana dari avant-garde designer, seperti Vivienne Westwood atau Martin Margiela,” ujarnya, sambil menutup rapat nama kedua orang tuanya itu.
 
Berbeda dengan selera orang tuanya, label Vinora terkenal dengan desain kontemporer yang clean, cutting yang pas dengan lekuk tubuh, material yang berkualitas dengan mayoritas warna-warna monokromatik. Investasi berharga bagi orang yang ingin memiliki professional look.

Harga tampaknya bukan masalah bagi konsumen Vinora.  “Klien saya kebanyakan dari art world, mereka yang sudah bisa mengonsumsi seni setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kalangan ini yang bisa menghargai craftsmanship, material dan kualitas,” ujar wanita yang mengaku tidak stylish untuk dirinya sendiri ini.

Karena itu, menurut Vinora, konsumennya bukan tipe yang ingin tampak lebih kurus, lebih seksi saat mengenakan pakaiannya, melainkan mereka yang berpakaian bukan hanya untuk mempercantik diri tetapi juga untuk menunjukkan personality. Sebagai informasi, Vinora pernah menjadi nominee di ajang Woolmark Prize International 2016 Asia Regional untuk Menswear Category.

Di balik prestasinya, ada proses panjang dan kerja keras mewujudkannya. Sejak dari ide itu ditemukan, dimatangkan, hingga diwujudkan dalam koleksinya. Ada hari-hari Vinora menjalani hidup bagai kelelawar: malam bekerja, dan tidur setelah matahari keluar. Meski, tidak menyehatkan, justru di saat itulah ia bisa bekerja efektif karena tidak ada gangguan.

“Ide bisa saya temukan kapan saja dan dari mana saja,” tuturnya. Termasuk bagaimana ia terinspirasi membuat koleksi berdasarkan diet yoyo (problem klasik yang berat badan gampang naik dan gampang turun) yang ia alami selama ini. Atau ketika ia mengolah kegelisahannya sebagai manusia global yang tidak bisa mengakar kuat di satu kultur tertentu yang kemudian ia jadikan ide koleksinya di DFK 2016 yang bertajuk 3rd Culture Kids.

“Lewat koleksi itu saya ingin ngomong, ok, kita adalah part of a community system. Mau tidak mau kita mengikuti sistem itu, tapi bagaimana caranya agar kita tetap memiliki esensi diri. Karena, menurut saya, meski bagian dari sistem, kita perlu memiIiki suara sendiri tanpa harus membuat konflik,” terangnya.
Seperti apakah ia menerjemahkan ide yang filosofis itu? Vinora lalu mengambil salah satu koleksinya. “Saya mengikuti sistem, apa itu kemeja? Disebut kemeja bila memiliki kerah, kantong, kancing, manset, di bagian belakang ada lipatan. Tapi, baju saya bentuknya seperti ini (atasan putih itu berbentuk kemeja yang melebar bagian bawahnya- Red). Jadi, saya tetap mengikuti sistem, tetapi esensi diri saya tetap ada. Saya juga tidak akan menciptakan konflik, karena orang akan sepakat, sebab semua unsur kemeja itu ada,” paparnya.
 
Bisnis yang Berat
Usia memang bukan ukuran kedewasaan seseorang, Vinora mungkin bagian dari generasi millennial, yang disebut-sebut sebagai generasi instan. Namun, apa pun yang ia kerjakan selalu dengan pemikiran yang mendalam dan riset yang panjang. Untuk 3rd Culture Kids misalnya, ide itu datang dari percakapan dengan Wiyu Wahono, seorang art collector yang ia sebut sebagai muse-nya.

“Suatu kali saya bilang kepadanya bahwa saya agak ‘marah’ atau kurang pas dengan kultur. Kami kemudian sampai pada kesimpulan, apa yang saya rasakan itu karena pengaruh globalisasi. Biasanya, anak-anak yang lahir setelah tahun ‘89, hidup dan bertumbuh dengan internet. Kita juga sudah biasa tinggal berpindah-pindah negara,” ujar wanita kelahiran 1989 ini.

Vinora memang menghabiskan banyak masa dalam hidupnya di luar negeri. Ia pernah tinggal di Beijing untuk belajar bahasa, lalu belajar seni di Mod'Art, Paris, kemudian ke Amerika Serikat dan Italia. “Mama menyarankan saya mengambil desain. Saya coba-coba, ternyata I am good at it, so, ya, sudahlah, ya,” ujarnya, sambil tertawa.

Secara natural saja Vinora menjadi seorang fashion designer. “Padahal, saya sendiri enggak gitu stylish. Tapi untungnya bisa bikin baju,” katanya, lagi-lagi dengan tawa.

Seni memang mengalir dalam darah Vinora. Ia pernah diajari melukis di media yang berbeda-beda oleh kakeknya yang pelukis. “Tapi, saya tidak terlalu suka,” kenangnya. Meski begitu, ia tak meninggalkan dunia seni, ia tetap melakukan kegemarannya, membaca buku-buku sejarah seni.

Kini, sebagai desainer, ia merasakan bakat saja tidak cukup. Menjadi desainer itu butuh skill, determinasi, rajin riset, dan harus mengikuti apa yang sedang terjadi di dunia. “Fashion itu bukan hanya gambar-gambar, bukan cuma membuat pola, bukan cuma menciptakan produk yang bagus. At the end fashion is a business,” katanya.

 Seorang desainer juga harus mengerti bagaimana memasarkan produknya, termasuk keuangan dan bisnisnya. “Ada orang yang dilahirkan kreatif, ada yang jago hitung-hitungan. Karena saya kreatif, saya harus belajar dari sisi bisnisnya,” kata Vinora, yang menjabat sebagai creative director di label Vinora.
Sejak awal memulai labelnya, Vinora sudah memiliki tim bisnis sendiri, meski saat itu ia lebih banyak terlibat. Kini semua dikerjakan tim bisnis, meski ia masih tetap terlibat.

Ada tantangan tersendiri mengembangkan luxury ready to wear bagi desainer lokal. Meski ceruk pasar ini baru mulai bergeliat beberapa tahun belakangan, Vinora melihat masa depan yang cerah. “Menurut saya, Indonesia paling bagus kondisinya dibandingkan negara sekitar. Mungkin saya dan kita semua beruntung dengan gaya konsumerisme masyarakat, ha ha ha…,” ujarnya.

Vinora punya cara tetap dekat dengan konsumennya. “Kami punya personal relationship, ketika anniversary pertama kami membuat kaus yang ada personalized initial mereka. Baju saya bukan sekadar baju, tetapi ada bagian diri mereka di sana,” kata Vinora.

Meski begitu, Vinora tetap Vinora yang cenderung menghindari perhatian. Ketika orang-orang (termasuk desainer) tampil dan menjadi representasi brand mereka, terutama di media sosial, Vinora tidak terbawa arus besar itu. Ia tidak bermain media sosial.

“Secara teori seharusnya saya suka media sosial, ya. Tapi, menurut saya, mungkin apa yang dilihat di medsos itu tidak sepenuhnya benar. Bukannya sombong atau apa, kalau saya, biarlah produknya saja yang bicara lewat konsep dan konteks yang saya berikan di dalam setiap koleksi,” ujarnya, perlahan. (f)

Baca juga:
Lie Kuang, Dari Salon Sederhana Menjadi Penata Rambut dengan Prestasi Internasional
Tentang Passion, Sweet Bully dan Dokter Kulit Versi Ira Koesno
Nursyda Syam, Menebarkan Budaya Membaca Melalui Klub Baca Perempuan
Melissa Sunjaya, Berani Membisniskan Seni


Topic

#WanitaHebat

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?