Profile
Khofifah Indar Parawansa, Konsisten Berjuang Di Jalur Sepi

7 Jan 2019


 

MENGABDI DENGAN HATI
 
“Khofifah bukan anak pengusaha, bukan anak pejabat, bukan anak jenderal atau guru besar, bukan anak kiai besar. Ini harus dijadikan bagian dari perspektif perempuan untuk bisa berjuang, bekerja keras, dan tetap punya harapan terjun ke dunia politik,” ungkap Khofifah.
 
Usianya baru 27 tahun saat ia mengawali karier politiknya sebagai anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (1992-1997). Pada awal tahun ‘90-an, di usia yang masih muda, dan bergender wanita bukanlah sebuah preferensi yang menjanjikan perjalanan karier politik yang mulus. Namun, sejak awal, ini bukan menjadi sebuah penghalang baginya.
 
Khofifah merupakan bagian dari rintisan jejak karier politik wanita di parlemen, ketika upaya afirmasi 30 persen wanita di parlemen belum diterapkan. Bahkan, sejak upaya afirmasi ini ditetapkan melalui Undang-Undang No.10/2008, hingga saat ini persentase kehadiran wanita di parlemen belum juga terpenuhi. Sebaliknya, justru menurun! Bisa dibayangkan, betapa sepinya jalur perjuangan yang harus dilalui Khofifah waktu itu.
 
“Saat mengawali karier politik tahun 1992, Khofifah bukanlah siapa-siapa. Saya juga tidak memiliki jejaring strategis di Jakarta. Kita sendiri yang harus bergerak membangun jejaring, membangun komitmen, dan kepercayaan. Ini sangat penting,” lanjut wanita yang sempat berprofesi sebagai dosen di Universitas Wijaya Putra (1991-1992) dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Taruna (1989), di Surabaya, ini.
 
Selain membekali diri dengan ilmu politik, sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga ini juga mendalami ilmu komunikasi dan agama di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah, di Surabaya. Sejak kelas 2 SMP ia punya tradisi melakukan salat Tahajud dan menghafal satu atau dua ayat Quran dan hadis.
 
 
“Siapa yang melayani manusia, maka Allah akan melayani dia. Siapa yang melayani masyarakat, Allah yang akan melayani kita. Kalau kita berbuat baik, dengan seikhlas-ikhlasnya, Allah akan membalasnya dengan kebaikan pula. Sebab, tidak ada yang luput dari catatan malaikat, entah kita berbuat baik atau tidak baik. Ini harus dipercaya betul,” kata Khofifah, mengungkapkan hadis dan ayat Quran yang menjadi pegangannya.
 
Ketulusan yang dibekali dengan niat kuatnya membela nasib rakyat ini pula yang membuatnya berani merombak naskah pidato di Sidang Umum MPR 1998. Dalam pidato tersebut ia melontarkan kritik terhadap pemilihan umum 1997 yang penuh kecurangan. Ia juga memakai waktu itu untuk mengungkapkan nilai-nilai demokrasi yang diyakininya. Sejak saat itu pula namanya makin dikenal dan mendapat respek di percaturan politik tanah air.
 
Mengikuti lengsernya jabatan Presiden Abdurrahman Wahid, berakhir pula jabatan Khofifah sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan. Usai menjabat sebagai menteri, ia langsung terjun sebagai aktivis di organisasi Muslimat, organisasi sayap perempuan Nahdlatul Ulama (NU). Empat kali berturut-turut ia dipercaya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU, yang masa jabatannya baru berakhir tahun 2021 nanti.
 
Khofifah mengaku bahwa bukan hal yang mudah untuk menjaga hati agar tetap ikhlas dan bersih. Untuk memberi, tanpa mengharapkan imbalan. “Lupakan kalau kita memberi. Ingat kalau kita diberi orang. Harus menjaga dan mengolah hati kita, karena dinamika internal dan eksternal kita relatif bisa memengaruhi. Oleh sebab itu, saya selalu mengajak hati saya berdialog dan berdiskusi agar selalu dimurnikan,” ungkap wanita yang pernah bercita-cita sebagai pembalap ini.

Selajutnya: Bebaskan Diri Dari Penjara Mental
 


Topic

#profil, #politikus, #wanitakarier

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?