Profile
Eunice Sari, Semangat Membagi Ilmu Teknologi

30 May 2016


Foto: Dok. Pribadi

Hidup Eunice Sari terbagi antara perusahaan dan keluarganya yang berpusat di Perth, Australia, aktivitas edukasinya di Jakarta, serta proyek pekerjaannya yang lintas negara dan benua. Menggeluti bidang user experience atau UX, Co-founder dan Principal UX Consultant dari UX Indonesia ini tidak hanya fokus mengembangkan bisnisnya semata, namun juga giat mengembangkan komunitas yang menyosialisasikan pemanfaatan e-learning bagi para guru di seluruh Indonesia.
 
Semangat Membagi Ilmu
Mungkin UX istilah yang tidak lazim didengar oleh masyarakat umum. Tapi, sebagai manusia yang hidup di abad ke-21 dan tidak bisa hidup tanpa teknologi, kita sebenarnya sudah sering berurusan dengan hal ini.

“UX atau user experience mengacu pada kepuasan seseorang ketika menggunakan produk berbasis teknologi, seperti website atau mobile apps. Kepuasan itu biasanya muncul karena kemudahan penggunaan teknologi tersebut atau pengalaman menyenangkan yang diperoleh ketika menggunakannya. Selain itu, ada juga UI atau user interface yang merupakan desain atau tampilan muka dari produk berbasis teknologi,” papar Eunice, yang telah menggeluti bidang ini sejak tahun 2000.

Keahliannya itu membuatnya kerap digandeng sebagai juri, pembicara, maupun mentor dalam kompetisi dan workshop untuk start-up, dan juga konsultan oleh perusahaan-perusahaan yang ingin meluncurkan produk atau website. Tahun 2015, ia menjadi juri Google Launchpad Week, ajang penggodokan dan pemilihan start-up pemula terbaik, di Jakarta.

Pada awal tahun 2016, ia juga bertandang ke Google Headquarters di Mount View, Silicon Valley, California, Amerika Serikat, untuk menjadi mentor UX/UI pada Google Launchpad Accelerator. “Menyenangkan melihat semangat kaum muda dalam membangun dan mengembangkan bisnis mereka. Semangat serupa juga saya temukan pada start-up di Indonesia. Perkembangannya luar biasa, terutama dalam satu setengah tahun terakhir,” tuturnya, antusias.

Ia pun teringat masa-masa ketika membangun perusahaan start-up-nya pada tahun 2000. Kala itu, semua orang terheran-heran dengan kenekatannya. Terlebih lagi, UX/UI adalah bidang yang masih asing di telinga orang Indonesia. “Mereka bilang saya gila. Ha... ha... ha.... Tapi lihat sekarang, anak-anak muda menjadi CEO (chief executive officer), CTO (chief technology officer), CFO (chief finance officer), dan membangun mimpi serta mengejar passion-nya. Mereka bangga mengatakan, saya membuat atau bekerja untuk start-up, lho,” papar Eunice, yang banyak mengerjakan proyek dari berbagai perusahaan di Asia, Australia, Timur Tengah, hingga Eropa.

Menurutnya, saat ini memang masa kejayaan start-up. Begitu banyak institusi yang memberi perhatian dengan membuatkan bootcamp dan program inkubasi, serta menginvestasikan sejumlah dana untuk pengembangan start-up. Dari segi teknologi, start-up  di Indonesia tidak kalah dibandingkan start-up di luar negeri.

“Hanya, kebanyakan masih fokus pada bidang teknologinya saja dan alasan pembuatan produknya masih personal, belum mampu melihat kebutuhan pasar dengan objektif. Sehingga, produknya kurang memiliki daya jual,” tutur peraih gelar Doctoral of Art dari Aalto University, Finlandia, serta gelar PhD Philosophy dari Edith Cowan University, Perth, Australia, ini.

Hal ini mendorongnya untuk aktif membuat training mengenai UX/UI kepada masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa, akademisi, maupun praktisi untuk mendalami bidang ini. “Pengalaman sebagai praktisi, akademisi, dan peneliti membuka mata saya bahwa masih ada gap antara apa yang diajarkan atau diteliti di universitas dengan yang terjadi di dunia profesional,” jelasnya.

Karena itu, ia berusaha menempatkan diri di tengah-tengah dengan tetap aktif melakukan riset dan juga kegiatan profesional. “Sehingga, saya bisa mengerti apa yang terjadi di dua dunia itu. Dengan begitu, saya bisa mendapatkan knowledge dan menciptakan strategi inovasi baru yang bisa saya bagikan kembali di dunia profesional maupun akademis,” ujar dosen dan staf riset di The University of Western Australia, Perth, Australia, ini.
 
Interaksi Manusia dan Komputer
Ketertarikannya menggeluti dunia teknologi, khususnya UX, dimulai pada tahun 1999, ketika ia sedang menjalani studi Diploma Bahasa Jepang, Budaya, dan Humanistik di Kwansei Gakuin University, Jepang. Dulu, ia melihat teknologi sebagai bidangnya pria. Hingga suatu saat, ia melihat mahasiswa-mahasiswa Jepang yang berhasil mengatasi kecanggungan dan meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris lewat chatting.

“Saya menjadi tertarik karena teknologi ternyata bisa membantu orang untuk belajar,” tutur wanita yang menyelesaikan pendidikan S-1 Pendidikan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah,  tahun 2001, ini.

Tahun 2002, ia pun melanjutkan pendidikan S-2 di program studi IT Product Design (Interaction Design and Human Computer Interaction), Syddansk Universitet, Denmark. Program studi tersebut terdiri dari orang-orang interdisipliner yang berusaha mengolaborasikan keahliannya untuk membuat suatu produk atau layanan berbasis teknologi. “Di situ saya belajar tentang desain serta interaksi manusia dan komputer. User research adalah hal penting dalam proses penciptaan suatu produk sehingga produk yang dihasilkan akan lebih user friendly,” ujarnya.

Passion menghubungkan manusia dan teknologi juga ia salurkan melalui kegiatan pengembangan komunitas yang ia gagas. Salah satunya adalah CHI UX Indonesia, yaitu chapter atau versi lokal dari SIGHCI (Special Interest Group in Human Computer Intraction) yang berbasis di AS. Komunitas ini merupakan bagian dari ACM (Association for Computing Machinery), organisasi computing engineering terbesar di dunia, yang berpusat di Tiongkok.

Setelah didirikan pada tahun 2014, komunitas ini mengadakan Human Computer Interaction and User Experience Conference pertama. Konferensi kedua juga akan diadakan pada pertengahan April 2016. Selain itu, komunitas akademisi HCI (Human Computer Interaction) dan praktisi UX terbesar di Indonesia ini juga rutin mengadakan seminar-seminar untuk akademisi, praktisi, mahasiswa, maupun start-up untuk meningkatkan awareness dan pemahaman masyarakat Indonesia mengenai HCI atau UX.

Tak hanya itu, pada tahun 2008 Eunice juga membentuk komunitas lain, yaitu OLC4TPD (Online Learning Community for Teacher Professional Development). Tahun 2004, ia mendapatkan dana dari Departemen Luar Negeri Finlandia untuk membuat visibility study mengenai pemakaian mobile technology dan pembelajaran. “Ketika itu, saya melihat masih banyak guru dan orang tua di Indonesia yang gaptek (gagap teknologi- Red). Jadi saya berpikir, bagaimana caranya agar guru-guru dan ibu-ibu yang ada di desa bisa memakai teknologi untuk mendidik murid-murid atau anak-anaknya,” ujarnya.

Kini, komunitas yang berbasis di Facebook ini telah memiliki anggota aktif dan nonaktif sebanyak 2.500 orang. Untuk meningkatkan pengetahuan anggotanya, Eunice kerap menggelar online meeting lewat Skype bersama mentor dari Asia Tenggara, Australia, hingga Eropa.

“Bagi guru-guru di daerah, pengembangan profesi adalah hal yang langka. Lewat komunitas ini, saya ingin memberi mereka kesempatan membuka wawasan,” tuturnya. Berkat keberhasilan mengubah cara pandang dan berpikir guru-guru yang menjadi anggotanya, komunitas ini mendapat penghargaan Impactful Community Based Activity dari Edith Cowan University, Perth, Australia.

 Seperti kata pepatah ‘walk the talk’, Eunice juga menerapkan pola didik yang sama kepada kedua putrinya yang berusia 13 dan 8 tahun. Bukannya melarang anaknya menggunakan teknologi karena khawatir terhadap dampak negatifnya, ia justru mengajarkan anak-anaknya untuk bersikap kritis terhadap pesan-pesan yang mereka terima melalui medium teknologi komunikasi dengan metode plugged-in parenting.

“Salah satu bentuk plugged-in parenting adalah mendampingi anak ketika menonton lewat media digital agar mereka tidak hanya menjadi penonton pasif, tapi juga aktif berpikir sehingga anak memiliki kemampuan untuk memilah mana yang baik dan buruk secara mandiri,” papar wanita yang gemar memasak ini.

Menariknya, aktivitas keseharian keluarga yang tinggal di Perth ini juga sangat erat dengan penggunaan teknologi. Misalnya, untuk mengajarkan anak-anaknya disiplin,  mandiri, dan bekerja keras, Eunice menggunakan mobile apps ClassDojo. Sementara untuk aktivitas keluarga, ia menggunakan Google Calenders yang ia share bersama suami dan kedua anaknya.

“Teknologi adalah hal yang menyenangkan dan jika digunakan dengan tepat justru dapat membantu tugas kita sebagai orang tua serta mendekatkan kita dengan keluarga. Namun, sejak dini anak-anak perlu dilatih untuk menggunakan teknologi untuk hal yang sifatnya produktif dan bukannya konsumtif,” ungkapnya.  (f)

Eka Januwati


Topic

#wanitahebat

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?