Profile
Dewi Nur Aisyah, Pakar Epidemologi Moderen Wanita Satu-Satunya yang Dimiliki Indonesia

21 Dec 2020


Foto: Dok. Satgas Penanganan COVID-19


Sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia, wajah dan nama Dewi Nur Aisyah, SKM, MSc, DIC, PhD (32) kerap muncul di layar televisi dan pemberitaan media menerangkan berbagai persoalan terkait virus yang masih baru ini. Ilmu epidemiologi yang ia geluti sejak mengambil S1 hingga mendapat gelar Phd inilah yang membawanya menjadi salah satu pakar di Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19. Di balik penampilannya yang tenang dan bersahaja, Dewi menyimpan niat besar untuk membantu orang banyak lewat ilmu yang ia miliki.

Epidemiologi bukan bidang yang umum diminati anak muda, walaupun belakangan di tengah pandemi yang merebak, keilmuan ini naik daun dan ‘dicari’ orang. Namun, bagi Dewi, kecintaannya pada epidemiologi justru tumbuh sejak duduk di bangku perkuliahan, di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

“FKM sebenarnya pilihan kedua, pilihan pertama kedokteran. Tapi ketika saya diterima di FKM, saya berusaha untuk menerima dan mulai menyenangi bidang keilmuan ini. Dan, saya tertarik dengan epidemiologi yang merupakan salah satu ilmu dasar kesehatan masyarakat, karena ilmu ini menjadi proses penyelesaian masalah, serta kunci dari pelayanan kesehatan dan pencegahan penyakit,” ungkap Dewi dalam wawancara bersama Femina pada pertengahan November lalu. 

Epidemiologi mampu memaparkan asal mula penyakit, bagaimana penyakit dapat menyebar di masyarakat, seberapa besar kejadian penyakit pada spesifik populasi, faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit dan wabah, serta bagaimana cara mengendalikan penyakit tersebut. 

Secara sederhana, Dewi melihat epidemiologi sebagai kunci penting untuk memahami penyebaran penyakit serta menciptakan kesehatan pada masyarakat luas. Namun sayangnya, ketika kuliah S1, ia justru melihat sedikit mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat yang berminat pada epidemiologi. Hal yang justru mendorongnya untuk terus menggeluti dunia epidemologi secara konsisten.

Setelah lulus S1 dan sempat terlibat dalam penanganan kasus flu burung di Indonesia semakin memantapkan langkah Dewi untuk mendalami epidemologi moderen. Berbekal beasiswa, Dewi melanjutkan studi S2 dengan mengambil jurusan Moderen Epidmology 
di Imperial College London, Inggris pada tahun 2012.

Lulus S2, masih di London, dengan beasiswa dari Presiden Republik Indonesia, ia melanjutkan studi S3-nya dengan mengambil jurusan Infectious Disease Epidemology and Informatics 
di University College London dan lulus pada tahun 2018. “Tidak hanya belajar lebih dalam mengenai epidemiologi, pada saat S3 saya juga diberi kesempatan belajar mengenai informatika penyakit menular, bagaimana melakukan analisis whole genome sequencing, infectious disease modeling dan health economic analysis," jelas wanita kelahiran 1 Desember 1988 ini. 

Karena epidemiologi jualah, ia belajar mengenai standar profesionalitas, ketelitian, serta kedalaman riset dari banyak peneliti internasional. “Walaupun kerap kali saya menjadi peneliti termuda di antara yang lain,
alhamdulillah saya diberikan kesempatan untuk terus belajar,” kata wanta yang bersama tim Garuda45 mengembangkan sebuah alat diagnostik otomatis untuk mendeteksi Mycobacterium Tuberculosis pada penderita TB yang diberi nama TB DeCare. Penemuan tersebut berhasil mendapatkan penghargaan The National Winner.

Tamat kuliah, Mei 2019, Dewi kembali ke Indonesia dan bergabung menjadi team leader 
One Health Workforce di INDOHUN (Indonesia One Health University Network), sebuah jejaring universitas yang membawahi Satu Kesehatan (One Health). Satu Kesehatan berfokus pada peningkatan kapasitas sumber daya lintas sektor, termasuk di antaranya sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan.

Ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia, sebagai satu-satunya pakar epidemologi moderen yang dimiliki Indonesia, Dewi diajak untuk bergabung dengan Tim Pakar Satgas Penanganan COVID-19 dibawah pimpinan
Doni Monardo. “Prof. Wiku Adisasmito yang mengajak saya untuk terlibat di dalam Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 karena latar belakang saya di bidang epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Sejak saat itu, saya terus terlibat aktif, setiap hari berjibaku bersama dengan Kepala Gugus Tugas dan jajaran untuk menangani pandemi ini di Indonesia dengan cepat,” ungkap ibu dengan dua anak balita ini.

Bersama Tim Satgas penanganan COVID-19, Dewi memiliki tugas berat menganalisis data agar dapat digunakan sebagai landasan pengambilan kebijakan. Ia dan timnya juga harus mengukur situasi pandemi di level provinsi dan kab/kota, laju penularan, angka kematian, angka kesembuhan, jumlah kasus aktif, angka positif pemeriksaan kasus (positivity rate), yang keseluruhannya bertujuan untuk pengambilan kebijakan.

“Bagaimana menghasilkan evidences-based policy 
(kebijakan berdasarkan data). Memberikan alert jika terjadi peningkatan yang signifikan di suatu daerah, dan menganalisis cluster-cluster COVID-19 yang muncul di masyarakat,” jelas Ketua Bidang Data dan Informasi Teknologi Satgas Penanganan COVID-19. Data memang menjadi sumber informasi yang penting di tengah pandemi virus yang baru dan masih terus diteliti dan inilah yang dilakukan oleh epidemiologi modern.

“Tugas utama saya adalah membantu percepatan pencatatan dan pelaporan data yang bersifat interoperable
 lintas institusi dan lintas sektor, mengembangkan sebuah sistem informasi terintegrasi yang merupakan satu data COVID-19 nasional. Mencatat data COVID-19, bukan hanya data kesehatan tapi juga data lainnya termasuk mobilitas penduduk, logistik, jurnalis, monitoring kepatuhan pelaksanaan protokol kesehatan di tengah masyarakat, serta mobilitas penduduk,” tambahnya. 

Menjawab tantangan tugas tersebut, Dewi bersama timnya telah mengeluarkan berbagai aplikasi, salah satunya untuk monitoring perubahan perilaku dan sebelumnya juga ada sistem bersama Lawan COVID-19. “Harapannya dengan adanya tools ini kita bisa mengawasi protokol kesehatan di tempat umum dan kerumunan. Saat ini sudah terdapat lebih dari 33.000 relawan yang melakukan pengamatan dan melaporkannya di aplikasi ini,” ungkap Dewi. 

Kisah lengkap tentang sosok Dewi Nur Aisyah bisa dibaca di majalah Femina Edisi Desember 2020 - Januari 2021: Restart, Bersiap untuk Hidup Berbeda. (f)


Baca Juga: 

Catherine Hindra, Menjadi Pemimpin Bukan Bos
Diah Satyani Saminarsih Perjuangkan Isu Gender dan Pemuda di WHO
Prof. Dr-Eng. Eniya Listiani Dewi, B.Eng., M.Eng Profesor Energi yang Senang Lobbying






 


Faunda Liswijayanti


Topic

#profil, #ilmuwan, #covid19, #ingatpesanibu, #3m, #corona

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?