Profile
Debby Susanto: Menjadi Atlet Bukan Hal Mudah

17 Aug 2016


Foto: Dok. Femina

Di ajang All England 2016 yang berlangsung di Barclaycard Arena, Birmingham, Inggris, nama Debby Susanto (27) dan rekan seperjuangannya, Praveen Jordan (23), tak pernah diunggulkan untuk naik ke podium. Namun, nasib berkata lain, mereka justru menjadi satu-satunya atlet bulu tangkis Indonesia yang menembus final. Pasangan ganda campuran ini pun berhasil menekuk lawannya kala itu, pasangan Denmark, Joachim Fischer Nielsen dan Christinna Pedersen, dalam dua game langsung. Kejutan yang mereka bawa berhasil menyelamatkan pamor bulu tangkis Indonesia di kancah internasional yang belakangan terkesan meredup. Ini merupakan piala All England pertama sekaligus pencapaian karier tertinggi Debby di dunia bulu tangkis yang sudah ia geluti sejak masih duduk di kelas lima sekolah dasar.

Bermain bulu tangkis bukanlah bakat alami wanita kelahiran Palembang ini. Dalam keluarganya tidak ada mengalir darah atlet. Ayahnya, Susanto Darmawan, seorang dokter sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Sementara ibunya, Subiyati Budiman, ibu rumah tangga.

Ayahnyalah yang memperkenalkan Debby kecil pada dunia bulu tangkis. Saat itu, Debby yang mengidap penyakit asma, harus berolahraga rutin untuk mengembalikan kesehatannya. Lama-kelamaan ia justru jatuh cinta pada olahraga bermodal kok dan raket ini. Ia pun mulai memupuk mimpinya untuk menjadi atlet bulu tangkis kelas dunia.

Melihat keseriusannya berlatih, sang ayah berniat memasukkan Debby ke klub bulu tangkis junior di kotanya. Di usia 15 tahun, ia diberi pilihan, yaitu meneruskan sekolah atau fokus di bulu tangkis. “Papa tidak pernah memaksa saya. Saat itu saya pilih bulu tangkis karena saya tidak suka sekolah. Saya merasa enjoy dengan bulu tangkis,” ujar anak ketiga dari empat bersaudara ini, tertawa.

Tahun 2004, Debby resmi berlatih dengan Persatuan Bulutangkis (PB) Dharmajaya, Palembang. Selang satu tahun kemudian ia pindah ke Pusdiklat Pusri. Di sini, porsi latihannya terus digenjot. Belum lagi tempaan yang diberikan sang ayah yang juga memberikan latihan tambahan  tiap hari. Dalam sehari, di lapangan ia bisa melawan lima pria sekaligus.

Baca Juga: Lee Yong-dae, Jonatan Christie, dan Ihsan Maulana Mustofa Menjadi Magnet di BCA Indonesia Open Super Series Premier 2016

Porsi latihan yang banyak dengan frekuensi rutin rupanya sempat membuat Debby berpikir ulang untuk menjadi atlet. Apalagi, ia jadi tak punya banyak waktu untuk berkumpul dengan teman dan keluarga. Ia pun sempat stres, hingga merasa muak dan kerap muntah-muntah, bahkan sampai menangis,  tiap kali akan latihan.

Saat itu, ia sempat berpikir untuk pulang dan kembali meneruskan sekolah, tapi Debby mengurungkan niatnya itu. Ia merasa  sudah jauh melangkah dan akan ada banyak hal yang terbuang sia-sia, jika ia berhenti di tengah jalan. “Saya tidak ingin mengecewakan orang tua. Daripada mundur, saya lebih baik maju. Berhasil atau tidak, itu urusan nanti, yang penting saya sudah berusaha,” katanya.

Dengan niat yang teguh, ia menjalani hari-hari di pelatnas tanpa patah semangat. Terbukti, beragam prestasi tingkat lokal berhasil ia ukir. Namun, ketika kariernya di Kota Pempek itu mentok, sang ayah memindahkan Debby ke Jakarta. “Papa salah seorang yang sangat mendukung karier saya. Dia selalu melihat perkembangan saya. Saat itu Papa berpikir bahwa kemampuan saya tidak akan berkembang, jika terus di Palembang, sebab lawan serta fasilitas latihan sangat terbatas. Akhirnya saya dimasukkan ke PB Tangkas di Jakarta,” ujar wanita yang mengagumi pasangan ganda campuran asal Tiongkok, Zhao Yunlei dan Zhang Nan, ini.

Rupanya, di Jakarta,  tanpa banyak cakap Debby menunjukkan prestasi memuaskan. Ia pun dilirik klub terbesar di Indonesia, PB Djarum. Tahun 2006, ia bergabung bersama PB Djarum dan kariernya kian melesat. Hanya satu tahun, tepatnya di ajang German Junior 2007, ia berhasil mengukir prestasi internasional pertamanya sebagai semifinalis di nomor tunggal putri.

Tahun 2008, Debby masuk pelatnas untuk pertama kalinya. Saat itu ia bermain dalam nomor ganda putri, pernah berpasangan dengan beberapa pemain, seperti Komala Dewi, Pia Zebadiah, dan Richi Puspita. Bersama Pia, ia pernah menjuarai Vietnam International Challenge 2009.

Baca Juga: 10 Fakta Turnamen Bulu Tangkis Indonesia Open

Makin tinggi tingkatannya,  makin tinggi pula tantangan yang harus ia dihadapi. Sejak masuk pelatnas, jadwal latihannya  makin padat, ia harus berlatih dua kali sehari. Sesi pertama pukul 7.00 hingga pukul 10.00. Kemudian dilanjutkan dengan sesi kedua yang dimulai sore hari, dari pukul 15.00 hingga pukul18.00. “Biar enggak bosan, kami sering kumpul ngobrol usai latihan pagi. Kalau malam lebih sering dimanfaatkan untuk beristirahat,” ujarnya. Akhir pekan lebih sering  ia manfaatkan untuk pulang ke rumah, bertemu orang tua dan kekasih.

Di tahun yang sama, ia mulai dimainkan pada nomor ganda campuran, berpasangan dengan Muhammad Rijal. Mereka berhasil menjadi juara Sea Games XVII tahun 2013. Sayangnya, ini menjadi pencapaian terakhir Rijal dalam kariernya sebelum ia gantung raket. Debby pun berganti pasangan dengan Praveen, yang telah menjadi rekannya selama 3 tahun terakhir.

“Berpasangan dengan Praveen, saya perlu penyesuaian yang cukup lama karena tipe permainan dia berbeda dengan Rijal. Praveen lebih menggebu-gebu, dia tipe pemain yang menyerang. Apalagi usia Praveen jauh lebih muda, semangatnya  tinggi. Perlu adaptasi, tapi lama-kelamaan kami  makin kompak,” ujar Debby.

Menurut Debby, sifat humoris Praveen mampu menjembatani jenjang usia mereka yang terpaut empat tahun. Di lapangan, Praveen yang selalu semangat menjadi motor pembangkit Debby, demikian juga saat bertanding. “Dia selalu bersemangat. Kami sudah seperti kakak dan adik. Kalau sedang bertanding, kami saling menyemangati dan mengingatkan. Kini kami sudah tahu karakter masing-masing. Prinsip bermain kami adalah bermain enjoy, tapi tetap memiliki target menang,” ungkap Debby.    

Kini, prestasi demi prestasi internasional perlahan ia raih. Meski tak semuanya berakhir menang, Debby yakin ini merupakan sebuah proses yang harus dihargai. “Mencapai titik saat ini saja sudah merupakan prestasi yang harus saya syukuri. Semua berawal dari mimpi, maka jangan takut bermimpi. Pilihan menjadi atlet bukan hal yang mudah, tetapi sekali memutuskan, saya harus berkomitmen,” katanya, yakin. (f)

Baca Juga: Miralti Firmansyah Terpilih Berkolaborasi dengan Studio Komik Marvel

 


Topic

#wanitahebat

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?