Money
Millennial dan Jebakan Hiperealitas di Media Sosial, Pantaskah Disebut Generasi Halu?

2 Nov 2017


Foto: 123RF

YOLO – you only live once – menjadi salah satu simbolisasi yang lekat dengan generasi millennial yang besar di era digital. Nikmati saat ini, esok punya kehidupannya sendiri. Namun, bicara soal pengeluaran alias belanja, sejauh apa spirit gaya hidup ini dipahami dan dijalani oleh para generasi millennial?

Benarkah mereka lebih rela keluar uang, bahkan berutang, untuk traveling daripada mencicil untuk beli rumah atau apartemen? Lebih suka menyeruput kafein dengan harga berkali lipat di kedai-kedai kopi kekinian daripada berinvestasi?

Baca juga:
Survei Femina: Millennial Rela Hidup Irit Bahkan Berutang Demi Traveling
Memicu Penggunanya Hidup dalam Hiperealitas, Instagram & Snapchat Dituding Paling Berbahaya Bagi Kesehatan Jiwa

“Sebagai generasi millennial, saya merasa kebingungan dan hilang arah. Sebab, generasi di atas kami tidak mendapatkan paparan informasi digital dan media sosial semelelahkan ini. Mereka tidak punya kompas yang bisa membimbing kami supaya tidak oleng,” ungkap Caroline Anastasia (29), yang besar dalam asuhan generasi baby boomers.

Menurut pengamat konsumen & pakar marketing Yuswohady, ada fakta unik yang menjadi benang merah antara euforia generasi Y dengan media sosial. Terutama karena sebagian dari generasi ini masih berada dalam kategori digital migrant atau peralihan, bukan digital native seperti generasi Z yang murni lahir dan besar di era digital.

“Jiwanya terbelah antara dunia fisik dan digital. Munculnya media sosial membuat mereka kaget dan mengalami euforia. Apabila tidak disikapi dengan bijak, kekuatan visual media sosial bisa membuat orang jadi konsumtif,” ungkap Yuswo.

Banyak maunya, tapi sumber terbatas. Seperti yang juga diakui oleh Nadzira Alfiani (27). Staf perpajakan ini merasa paling susah menahan diri kalau sedang ada hujan diskon di mal. Apalagi saat mendapat bonus dari kantor. Sudah pasti ia akan membelanjakannya untuk barang-barang fashion merek premium.

“Saya sering over budget gara-gara nafsu belanja. Pernah, saldo di rekening bank sampai hanya tinggal Rp40.000,” cerita Nadzira, yang juga rajin mengunggah segala hal yang ia nilai sebagai ‘Instagram material’.

Tak heran jika fenomena ini memunculkan banyak paradoks antara keinginan dan kenyataan. Misalnya, hasil survei HSBC terhadap lebih dari 18.000 responden di 16 negara, termasuk Indonesia, dalam periode November 2016 hingga Januari 2017. Rata-rata responden generasi millennial berencana untuk pensiun sebelum mencapai usia 65 tahun.

Bahkan, responden Indonesia ingin pensiun di usia 56 tahun. Namun, 90% dari seluruh responden pesimistis bahwa generasi millennial ini akan menikmati pensiun indah yang mereka impikan: tinggal menikmati hasil kerja keras dan tidak mengalami penurunan kenyamanan ataupun gaya hidup.

Survei femina terhadap 639 responden usia 18-36 tahun, yang dilakukan di tahun 2016, mengungkap bahwa 25% generasi millennial mengaku tidak memiliki tabungan investasi.

Yuswohady menyayangkan bahwa spirit menikmati hari ini khas YOLO masih disikapi dengan kurang bijak. Bahwa di era digital ini, menjadi sukses dan kaya bisa diraih dengan mudah. Kebanyakan masih terkesima oleh kesuksesan beberapa generasi millennial awal, seperti Mark Zuckerberg (Facebook), Nadiem Makarim (Go-Jek), Ahmad Zacky (Bukalapak), atau duo pengusaha muda William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison (Tokopedia).

Mereka ini dalam hitungan waktu kurang dari 4 tahun berhasil meraih sukses besar. Semangat ini pula yang kemudian mendorong banyak millennial dalam 10 tahun terakhir ramai-ramai membuat start-up. Seperti yang juga tercermin dalam hasil survei HSBC, bahwa 64% generasi millennial Indonesia termasuk yang aktif memutarkan uang. Namun, angka pertumbuhan start-up saat ini mulai terkoreksi oleh ‘seleksi alam’ kekuatan daya juang.

“Keindahan yang terlihat itu hanyalah 2%-5% saja dari seluruh perjuangan dan kegagalan yang harus dilalui oleh masing-masing tokoh bisnis millennial ini,” ungkap Yuswohady, ingin mengembalikan perspektif awam yang memandang instan kesuksesan di era digital.

Bagaimanapun, Yuswohady tidak ingin memakai kondisi-kondisi di atas untuk menyimpulkan karakteristik generasi millennial secara umum. “Ada perbedaan budaya dan peristiwa-peristiwa sosial politik yang terjadi di suatu negara, termasuk peristiwa personal dalam rentang hidup pribadi yang ikut membangun karakter sebuah generasi.

Sehingga, generasi millennial yang ada di Amerika Serikat, tentu akan berbeda dengan yang ada di Asia atau Indonesia,” paparnya.

Apa kata psikolog Roslina Verauli tentang hal ini? Cek di laman selanjutnya.
 


Topic

#gadget, #mediasosial, #millennial

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?