Money
Memicu Penggunanya Hidup dalam Hiperealitas, Instagram & Snapchat Dituding Paling Berbahaya Bagi Kesehatan Jiwa

1 Nov 2017


Foto: Pixabay
 
Menurut pengamat konsumen & pakar marketing, Yuswohady, ada dua kata kunci yang menurutnya mewakili perilaku konsumen dari generasi millennial, yaitu present atau ‘kini/ sekarang’, dan experience atau ‘pengalaman’.

“Lebih daripada produknya, mereka lebih berorientasi pada pengalaman atau experience,” ungkap penulis buku produktif ini. Nongkrong di kafe usai jam kerja sambil menyesap kopi beraroma sedap yang menenangkan. Apalagi dilatari ambiens musik dan interior yang nyaman, serta obrolan hangat bersama sahabat atau kolega, adalah sebuah pelepasan yang sepadan. Sebuah pengalaman yang memberikan stimulan spontan bagi seluruh indra mereka. Lepas dari radiasi layar laptop, deretan data, angka, grafis, dan pola komunikasi serba digital.

“Makanya, dalam tiga tahun terakhir banyak tumbuh kedai kopi artisan yang menawarkan pengalaman berbeda untuk menjawab kebutuhan generasi millennial yang satu ini,” ungkap Yuswo. Tak peduli jika mereka harus membayar mahal atau merelakan jam tidur untuk mendapatkan ini. Hal yang terpenting adalah saat ini, besok punya masalahnya sendiri. Lagi pula, mereka masih muda dan terbiasa hidup di jalur cepat digital yang membuat sekat waktu dan tempat tidak lagi menjadi masalah.

Maraknya media sosial, menurut Yuswo, membuat generasi millennial sangat sadar dengan keakuannya. Di medium inilah mereka bebas mengekspresikan diri, bahkan membangun image diri yang ingin diperlihatkan kepada peers-nya.

Ketika generasi X harus keluar dana besar dan menunggu kesempatan spesial untuk bisa memublikasikan diri secara luas melalui radio atau televisi, tidak demikian dengan generasi millennial. Tiap orang bisa menjadi bintang, setidaknya di lamannya sendiri, di tengah lingkungan pergaulannya masing-masing, atau di hati para follower-nya.

Tidak mengherankan jika Instagram menjadi pilihan nomor satu si millennial, seperti yang juga digambarkan dari hasil survei femina. Berbeda dengan Twitter yang tak cukup ruang untuk mengekspresikan eksistensi mereka,di Instagram mereka tidak hanya bisa memajang foto-foto dalam versi terbaik, tapi juga bermain kata dan tagar untuk mendapat atensi dari khalayak yang menjadi sasarannya, #wiwt (what I wore today, versi baru dari #ootd) #instatravel, #instagood #myteamisbetterthanyours #instafashion #couplegoals #lyfe #weekendvibes #travelandshare #ngopidikebun, dan banyak lagi.

Pengamat budaya digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, menilai bahwa fenomena Instagram juga menjadi bagian dari spirit YOLO. “Karena ‘you only live once’, maka spontanitas itulah yang menjadi inti dari pencapaian generasi millennial. Pencapaian ini kemudian mesti didokumentasikan untuk membangkitkan impresi pihak lain,” jelas pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI ini.

Menurut Firman, dunia digital/media sosial menawarkan mitos yang kuat, agar tiap orang bisa berkata, “Saya juga bisa dan saya lebih hebat,” bagaimanapun caranya. Logika persaingan yang dipakai adalah makin unik dan berbeda, maka akan makin memenangkan perhatian.

Ia mengatakan, sebetulnya hal ini positif saja. Memacu kreativitas dan tak menyia-nyiakan hidup dengan sesuatu yang membosankan. “Hanya, dalam banyak hal, logika persaingan ini mendorong perilaku generasi millennial yang ekstrem dan terkadang membahayakan,” lanjut doktor filsafat UI yang disertasinya mengupas Manusia dalam Masyarakat Jejaring. Banyak orang lupa bahwa informasi di Instagram banyak yang tidak utuh. Dengan bantuan teknologi, segala sesuatu bisa diedit dan dipoles seindah dan sesuka hati.

“Instagram itu menyajikan kebenaran yang tidak ada acuan mutlaknya. Kebenaran yang melampaui kebenaran itu sendiri, atau hiper-realitas,” ujar Firman, mengutip teori sosiolog dan filsuf asal Prancis, Jean Baudrillard.

Salah satu yang masih sangat membekas adalah kasus Fransisca Paisal, yang pertengahan tahun ini sempat viral di media sosial dengan #BacotSispai. Di balik unggahan foto-foto indah liburan keliling dunia dan rekaman gaya hidupnya yang bak sosialita, ia harus berhadapan dengan lilitan utang yang jumlahnya menembus angka Rp100 juta dari 17 orang!

Beberapa pemberi utang, yang dikenalnya melalui jejaring hobi traveling di media sosial ini, bahkan sampai mengejarnya ke bandara karena pemilik akun Instagram @sisspai ini terkesan sulit dimintai pertanggungjawaban pembayaran.

Sebenarnya, femina ingin menggali lebih dalam tentang seberapa besar tuntutan arus kuat media sosial yang dialami Fransisca hingga ia terbelit dalam masalah ini. Sayang, setelah beberapa kali menyanggupi untuk wawancara, di saat akhir ia tidak merespons.

Royal Society for Public Health (RSPH) dan Young Health Movement (YHM) bulan Mei lalu merilis hasil studi terhadap 1.500 generasi millennial usia 14-24 tahun di Inggris. Studi bertitel #StatusOfMind ini mengategorikan Instagram dan Snapchat sebagai media sosial paling membahayakan bagi kesehatan dan kesejahteraan mental kaum muda.

"Hashtag Instagram itu racun banget!” kata Caroline Anastasia (29), seorang karyawati swasta. “One thing lead to another. Apalagi sekarang ini kita bisa beli apa pun di Instagram. Dengan mengklik #ootd, saya bisa menemukan macam-macam barang fashion ‘lucu’ yang terhubung dengan online shop,” ceritanya. Pernah, dalam sebulan ia membuat rekan kerjanya geleng-geleng kepala karena belanjaan online yang mengalir ke meja kerjanya.

Mulai dari sepatu, lipstik beragam merek dan warna, baju, tas, aksesori, dan banyak lagi. Belanja barang fashion & beauty termasuk dalam daftar pengeluaran generasi millennial. Hasil survei dari Charles and Schwab mencatat bahwa 69% generasi Y ini mengaku membelanjakan uang mereka untuk baju-baju yang pada akhirnya hanya teronggok di lemari. Survei femina juga mengungkap bahwa barang fashion & beauty ada dalam tiga besar pengeluaran tertinggi setelah makan di luar dan traveling. (f)

Baca juga:
Survei Femina: Millennial Rela Hidup Irit Bahkan Berutang Demi Traveling
10 Tempat Terseram di Dunia Rekomendasi Local Guides dari Google Maps
Hindari Pemakaian Kartu Kredit untuk 3 Hal Ini!


Topic

#instagram, #Snapchat, #gadget, #mediasosial, #millennial

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?