Foto: 123RF

Ibarat fashion, tren diet atau pengaturan pola makan di dunia juga selalu berubah. Setiap tahun muncul diet-diet baru yang dipercaya dapat menurunkan sekaligus menjaga berat badan. Belakangan, yang banyak dibicarakan adalah diet ketogenik atau sering disingkat diet keto. Diet tinggi lemak ini dipercaya dapat menurunkan berat badan secara drastis. Tertarik mencoba diet ini? Cermati dulu.


Lemak VS Karbohidrat

Kunci dari diet ketogenik yang pertama kali ditemukan oleh dua profesor dari Prancis ini adalah pola makan rendah karbohidrat, dengan menu dominan adalah lemak serta protein hewani. Tujuannya adalah untuk membuat tubuh ketosis, saat tubuh tidak mendapat cukup energi dari karbohidrat sehingga mengambil keton sebagai bahan bakar.

Edwin Lau, praktisi kebugaran yang kini tengah mendalami diet ketogenik, mendeskripsikan diet keto lebih sederhana. Yaitu diet rendah karbohidrat yang mengandalkan lemak sebagai sumber energi utamanya. Dalam menjalani diet ketogenik, seseorang akan mengalami kekurangan karbohidrat dan gula dalam sistem metabolismenya, sehingga tubuh memecah asam lemak dan trigliserida untuk membentuk keton sebagai sumber energi. Proses ini disebut ketogenesis.

“Diet ini berasal dari tahun 1920-an, ketika para ilmuwan menerapkan diet ini bagi para penderita epilepsi untuk mengurangi kejang. Kemudian pada perkembangannya diterapkan juga pada atlet dan selebritas untuk program weight loss dan mengurangi faktor risiko diabetes,” ungkap Edwin.

Bisa dibilang diet ketogenik ini menjadi sumber inspirasi bagi lahirnya diet terkenal lainnya seperti Atkins dan Paleo diet. Bedanya, diet ketogenik asli memiliki pendekatan yang ekstrem dalam pemilihan sumber makanannya. “Mayoritas memang memakan lemak padat dan cair, protein berlemak, serta menjauhi segala jenis karbohidrat termasuk produk tepung, kemasan, dan bahkan beberapa jenis buah,” jelas Edwin.

Dengan konsumsi makanan tersebut, kondisi gula darah akan selalu rendah sehingga tubuh berada di dalam status ketosis. Pelaku diet ini juga memiliki tingkat endurance yang lebih tinggi, karena sudah bisa memanipulasi cadangan lemaknya sebagai sumber energi ketimbang karbohidrat. Karena  per kalorinya, lemak lebih besar dua kali lipat daripada kalori protein dan karbohidrat. “Dalam versi aslinya, komposisinya adalah 80% lemak, 15% protein, 5% karbohidrat,” terang Edwin.

Untuk membuat tubuh lebih cepat masuk dalam kondisi ketosis, aturan utamanya adalah menghilangkan konsumsi karbohidrat dalam segala bentuk. Hal ini bisa dilalui secara bertahap atau seketika. Kondisi ini juga bisa dipercepat atau dipertahankan dengan cara puasa (ketofastosis) atau melalui olahraga dalam status zero-carbs. “Jadi bisa dibilang pelaku diet ini harus bisa mengerti mengenai nutrisi dan kandungan makanan serta minumannya. Sebaiknya mengonsumsi makanan dan minuman yang dimasak sendiri setiap hari,” kata Edwin.  

Dalam diet ini, selain karbohidrat, segala bentuk gula, sirup, produk tepung, makanan olahan, soft drinks, liquer, kue, jajanan, snack ringan, buah cair dan manis, makanan tinggi transfat, serta minyak dan lemak olahan pabrik, pantang dikonsumsi, karena akan mengacaukan proses ketogenesis dan membuat diet ini tidak efektif.

Meski begitu, Edwin hingga kini diet ketogenik masih diperdebatkan ahli nutrisi. Ada yang pro dan ada juga yang kontra. Adanya pandangan yang menyalahkan lemak sebagai biang kerok masalah kesehatan membuat diet ketogenik sangat berisiko bagi kesehatan. Edwin menyebut adanya kepentingan ekonomi di balik pro dan kontra itu. “Kasus obesitas, kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskular lainnya yang paling banyak penderitanya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, disebabkan pola konsumsi karbohidrat dan gula yang berlebih. Jadi mungkin ini saatnya lemak diberi kesempatan untuk bersinar dan masyarakat harus ‘putus’ dulu dengan karbo dan gula,” kata Edwin.

Namun ia juga melihat banyak kekurangan dan bahaya dalam diet ini, sama seperti diet ekstrem lainnya. Karena itu ia memodifikasi konsep diet ketogenik menjadi versi yang lebih aman. “Saya menurunkan sedikit persentase lemaknya dan meningkatkan proteinnya, serta stop karbohidrat dalam segala bentuk. Komposisi ini baik untuk program fat-loss tanpa kehilangan massa otot yang tinggi,” tambahnya.

Saat memilih sumber lemak dalam diet ketogenik, Edwin menyarankan untuk menyeimbangkan antara sumber makanan berasam lemak tak jenuh tunggal dan yang ber-lemak jenuh tinggi. “Jenis makanan yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh ganda dikurangi karena bisa menekan tingkat koresterol baik. Saya memilih sumber lemak dari lemak protein (bukan bagian kulit), minyak zaitun, avokad, kacang, biji, serta dari dairy products sesekali. Banyak konsumsi sayuran hijau, tapi hindari buah-buahan dan sayuran berwarna,” jelas Edwin.

“Diet ini tidak terlalu memikirkan jam makan karena mencerna lemak lebih lama sehingga rasa lapar juga lebih lama datangnya. Selama tubuh berada di dalam status Ketosis, tubuh akan menjadi lebih aktif dan nafsu makan lebih terkendali,” tambahnya. Ia juga bilang, olahraga dapat dilakukan untuk menggantikan puasa untuk membuat tubuh ketosis dan mempercepat proses detoksifikasi.

Dengan konsep menggunakan lemak sebagai energi tubuh, diet ini menurut Edwin terbilang efektif bagi mereka yang berada dalam kondisi kelebihan berat badan dan lemak menumpuk di perut. Sedangkan bagi, seseorang yang memiliki berat badan normal, diet ini biasanya ditujukan untuk mencegah obesitas dan resistensi insulin yang memicu diabetes. “Beberapa kasus seperti kanker juga bisa menjalankan diet ini karena sel kanker bisa mati jika pasokan gula di dalam tubuh sangat rendah. Meski begitu, menurut Edwin, diet ini tidak cocok bagi penderita penyakit ginjal dan alergi protein. Apapun kondisi tubuh Anda, diet ini perlu dipantau nutritionis. (f)