Health & Diet
Menjaga Kesehatan Dengan Menertibkan Otak Lewat Teknologi Neurofeedback

14 Sep 2017


Foto: Dok.Better Being Hospital



Functional Medicine seharusnya tidak lagi dianggap sebagai alternatif, tapi sebagai jalan menuju model perawatan penyakit kronis yang lebih efektif,” ungkap Dr. Worawit Kitisakronnakorn, saat membawakan topik Functional Medicine di ajang Amazing Thailand Health and Wellness Tourism Showcase 2017.
 
Ucapan Direktur Better Being Hospital dan Pendiri Thai Institute of Functional Medicine (TIFM) ini tergambar dari 44 penyedia layanan medis Thailand yang ikut dalam pameran di Centara Grand & Bangkok Convention Centre (11 Agustus 2017). Masing-masing penyedia saling berlomba untuk memamerkan terobosan teknologi medis tercanggih mereka.
 
Salah satu dari teknologi yang mendukung kerja kedokteran fungsional ini adalah teknologi Neurofeedback, atau yang biasa dikenal dengan istilah EEG Biofeedback. Sebab, alat yang berbentuk kapsul ini bekerja berdasarkan aktivitas elektrik otak, yaitu electroencephalogram (EEG). Sebenarnya, teknologi Neurofeedback ini telah cukup lama digunakan. Bermula di Amerika Serikat di tahun 1970-an, kemudian beranjak ke benua Eropa, Australia, dan Asia di tahun 1990-an.
 
Teknologi ini terbukti mampu membantu pasien ADHD, autisme, gangguan kecemasan dan emosi, insomnia, migrain, sampai proses pemulihan stroke. “Teknologi ini bekerja untuk membangun ‘jalan’ baru bagi otak. Dengan alat ini otak dilatih untuk bisa menjalankan fungsinya secara lebih baik dan efisien,” jelas Debbie Xie, Marketing Manager dari Better Being Hospital, saat menerima jurnalis Indonesia dalam sesi kunjungan media yang difasilitasi oleh Tourism Authority of Thailand (TAT), beberapa waktu lalu di Bangkok, Thailand.
 
Stimulus Neurofeedback ini dilakukan melalui suara dan visual dari film atau game komputer. Pada saat mereka melakukan aktivitas mendengar atau bermain video game inilah otak dilatih memberikan rangsang balik yang diinginkan. “Untuk mengetahui gangguan, sebelum terapi praktisi akan melakukan brain mapping atau pemindaian otak. Barulah setelah itu dokter akan mendesain program yang sesuai dengan kondisi pasien,” terangnya lagi.
 
Salah satu pasien anak dengan spektrum autisme yang awalnya sama sekali tidak bicara, mengalami 85% kemajuan setelah 20 sesi terapi. “Dia bisa pergi ke sekolah umum, dan bisa melakukan banyak hal seperti anak-anak lainnya,” cerita Debbie, senang.
 
Baiknya lagi, terapi Neurofeedback ini tidak menimbulkan ketergantungan. Jadi, Anda tidak perlu takut kerja otak akan memburuk ketika terapi selesai. Sebab, ketika terapi yang ditentukan telah usai, otak terus bekerja untuk melakukan perbaikan. “Jadi, seperti belajar berenang, Anda akan tetap bisa melakukannya walau telah lama berhenti. Paling hanya sesekali saja untuk mempertahankan kerja otak agar tetap fit,” lanjut Debbie.(f)
 


Topic

#kesehatan

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?