Health & Diet
Menelusuri Peredaran Vaksin Palsu

16 Aug 2016


Foto: Fotosearch

Berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan BPOM Juni lalu, vaksin yang tidak sesuai persyaratan secara sporadis sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 2008. Namun, kasusnya hanya terjadi dalam jumlah kecil dengan modus pelaku pada umumnya adalah melakukan penjualan vaksin yang telah melewati masa kedaluwarsa.

Tahun 2013, BPOM juga mendapatkan laporan pemalsuan vaksin dari perusahaan farmasi Glaxo Smith Kline yang dilakukan oleh dua distributor yang tidak memiliki kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian. Laporan ini telah ditindaklanjuti dan tersangka dikenakan sanksi sesuai Pasal 198 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berupa denda sebesar Rp1.000.000.

Selanjutnya tahun 2014, BPOM kembali mendapatkan laporan dan menghentikan sementara kegiatan 1 pedagang farmasi besar resmi yang terlibat penyaluran produk vaksin ke distributor ilegal atau tidak berwenang yang diduga menjadi sumber masuknya produk palsu.

Kasus vaksin palsu yang belakangan marak ini pun terungkap setelah BPOM dan Barekskrim Mabes Polri menerima laporan dari PT Sanofi-Aventis Indonesia terkait adanya peredaran produk vaksin Sanofi yang dipalsukan. Berdasarkan penelusuran, CV  AM (perusahaan milik tersangka HT & RH) diduga melakukan pemalsuan menggunakan alamat fiktif.  Temuan vaksin palsu ini merupakan kriminal murni yang dilakukan tersangka yang dilakukan di lima wilayah, yaitu Subang, Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Semarang.

Sebagai salah satu produk biologi yang dikategorikan sebagai produk berisiko tinggi, menurut Arustiyono, peredaran vaksin sudah diawasi BPOM secara ketat jika dibandingkan dengan produk obat pada umumnya. Pengawasan vaksin pun dilakukan secara berkesinambungan mulai dari hulu hingga hilir.  “Tapi, dari skema jalur produksi hingga distribusi vaksin tersebut ada celah yang digunakan untuk hal-hal ilegal,” katanya.

Seperti yang terjadi pada kasus vaksin palsu baru-baru ini, vaksin dibuat secara ilegal di industri rumahan, kemudian dipasarkan door to door. “Untuk yang ilegal seperti ini BPOM sulit menjangkau. Itu sebabnya, kami bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengungkap kasus-kasus seperti ini,” tambahnya.
Meski kasus vaksin palsu terus bergulir, menurut Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif IPMG (International Pharmaceutical Manufacture Group), dalam acara  Diskusi Media IPMG: Solusi menuntaskan Masalah Peredaran Vaksin Palsu, akhir Juli lalu,   tidak ada data pasti tentang kerugian yang diderita industri farmasi akibat dari pemalsuan ini.

Selama ini, untuk menemukan obat atau vaksin baru, menurut penelitian yang dilakukan oleh Tufts Center for The Study of Drug Development dari Tufts University, Boston, Massachusetts, kira-kira dibutuhkan dana penelitian mencapai  2,6 miliar dolar Amerika Serikat (sekitar Rp34 triliun). Dengan dana sebesar ini biaya pembuatan obat tentu menjadi lebih mahal. Beban biaya ini masih ditambah dengan adanya ongkos distribusi serta pajak.

“Sementara masyarakat kita masih mementingkan harga ketika membeli obat atau vaksin untuk kesehatan. Pengetahuan tentang obat dan vaksin palsu serta dampaknya masih sangat minim,” ungkap Parulian. Di lain sisi, law enforcement yang lemah dan hukuman yang ringan makin mendorong orang-orang yang tidak bertanggung jawab membuat vaksin palsu dengan harga jual murah, sedikit di bawah harga obat asli.

Diakui dr. Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, peredaran obat dan vaksin palsu masih menjadi pekerjaan rumah terbesar dunia kesehatan Indonesia. Dari hasil pengamatannya selama ini, ada banyak produk kesehatan yang ternyata abal-abal. Mulai dari minyak telon, obat untuk penyakit jantung, hingga vaksin.

Aturan yang lemah dan minimnya pengawasan disinyalir Marius membuka banyak ruang bagi pelaku kejahatan. “Produk-produk ini bahkan sulit dibedakan mana yang asli dan palsu karena sudah sangat mirip. Baik dari sisi kemasan, label, hingga nomor seri. Salah satu cara untuk mengetes ya dengan melakukan uji coba terhadap isi vaksin dan obat-obatan tersebut,” jelasnya.

Marius juga mengkritik tentang mudahnya para pelaku ini mendapatkan kemasan yang sama dengan vaksin dan obat asli. Padahal, menurutnya, sudah menjadi tanggung jawab rumah sakit untuk menangani limbah medis dengan baik sehingga tidak merugikan masyarakat dan lingkungan.

Dari hasil penyelidikan kasus vaksin palsu memang ditemukan bukti bahwa para pelaku menggunakan ampul daur ulang. Hal ini tentu saja menyeret persoalan baru dalam hal penanganan limbah medis dari rumah sakit yang sepertinya kurang pengawasan. Drs. Arustiyono, Apt, M.P.H., Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT BPOM, menilai, untuk menangani kasus ini perlu kolaborasi berbagai pihak, dari industri farmasi, rumah sakit, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Lingkungan Hidup.

“Tiap sarana layanan masyarakat wajib memiliki sistem pengolahan limbah medis dan pengawasan yang baik terhadap hal ini. Karena yang terjadi sekarang, limbah medis ini didaur ulang oleh para pemalsu,” ungkap Arustiyono. (f)


Baca juga: Vaksin Palsu dan Perlunya Memilah Informasi tentang Vaksin

Faunda Liswijayanti


Topic

#Vaksin, #imunisasi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?